BALI TRIBUNE - Secara ragawi, Nyepi menunjuk kepada suasana; hening. Keheningan yang tak biasa. Keheningan yang terasa secara ragawi, juga terpancar dari ruang bathin yang suci. Jika ditelusuri berbagai referensi, ternyata Nyepi pada hakekatnya untuk mengenang dua kejadian; Kelahiran manusia (buana alit) dan terbentuknya semesta (buana agung).
Yang menarik adalah bahwa penciptaan alam semesta berlangsung dalam keheningan. Terjemahan kitab Nasadiyasukta (Terjadinya Alam Semesta) (Rigveda X.129.1-7) sebagaimana dikutip I Made Titip dalam buku “Ilmu, Etika dan Agama” tertulis dengan terang:
“Pada waktu itu, tidak ada mahkluk (eksistensi) maupun non mahkluk (non eksistensi; pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan dimana? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya(1)”
Berdasarkan kutipan Regveda X.129.1-7 di atas, dapat difahami bahwa rujukan histori peringatan Nyepi adalah pada saat semesta dibentuk dan manusia diciptakan.
Suasana yang hening, memungkinkan karya-karya besar terlahir dengan sempurna. Empat pantangan ketika menjalan Catur Brata penyepian, tampaknya menggambarkan betapa dalam keheningan, perasaan dan pikiran manusia menjadi lebih fokus kepada Sang Pencipta.
Amati Geni (pantang menyalakan api, lilin dan semacamnya), Amati Karya (pantang melakukan aktivitas fisik), Amati Lelanguan (pantang menghibur diri atau melakukan kesenangan), Amati Lelungaan(pantang bepergian), memberi ruang refleksi dan introspeksi.
Hakekat keempat pantangan tersebut sungguh-sungguh menjadi roh peringatan hari suci Nyepi. Mengkondisikan suasana bathin demi mengenang dua peristiwa besar; penciptaan manusia dan alam semesta.
Jika demikian, maka sisi paling dalam untuk memaknai kesucian Nyepi adalah ketertundukan jiwa. Bagaimana manusia mampu menundukkan jiwanya agar dengan mudah melaksanakan keempat pantangan tersebut demi baktinya kepada Yang Maha Pengatur.
Sampai disini, kita mulai bisa memahami mengapa majelis-majelis agama dan keagamaan Provinsi Bali menyerukan kepada umat dan seluruh warga Bali untuk menghentikan aktivitas “berselancar” di dunai maya alias mematikan internet. Seruan yang kemudian didukung Gubernur Bali, Made Mangku Pastika ini tak berlebihan sebagaimana dikritik sebagian orang.
“Bukankah menghidupkan internet berarti konsentrasi alam pikiran kepada Sang Hiyang Widhi menjadi terganggu?". Padahal hakekat semua ibadah di semua agama adalah ketertundukkan secara lahir bathin pada apa yang menjadi perintahNya, bukan hanya lahirnya saja.
Bahkan, di alam maya (internet), dimana manusia modern berselancar, mesti juga ditundukkan untuk melaksanakan Catur Brata. Dengan demikian, himbuan penonaktifan internet yang disampaikan majelis-majelis agama dan keagamaan Provinsi Bali hendaknya tidak lagi menjadi polemik di ruang public.
Mengapa demikian?, Oleh karena selain wajib melaksanakan Catur Brata, jika mampu, umat Hindu juga wajib melakukan tapa (latihan ketahanan menderita), brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan Tuhan) dan samadi (mendekatkan diri kepada Tuhan yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua aktivitas ini sungguh-sunggu berlangsung dalam ruang bathin yang tenang; baik di alam nyata maupun alam maya.