BALI TRIBUNE - Masyarakat Bali akan memilih pemimpinnya untuk lima tahun ke depan, pada 27 Juni 2018 mendatang. Masyarakat di Pulau Dewata hanya dihadapkan pada dua pilihan, yakni pasangan nomor urut 1 Wayan Koster dan Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Koster-Ace), atau pasangan nomor urut 2 Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra dan Ketut Sudikerta (Mantra-Kerta).
Siapapun di antara kedua pasangan calon ini yang tampil sebagai pemenang, masyarakat berharap agar gubernur dan wakil gubernur baru memiliki keberpihakan terhadap seluruh masyarakat, tanpa membeda-bedakan. Setidaknya, Ini pula yang diharapkan oleh masyarakat jasa konstruksi di Pulau Dewata.
Mereka menginginkan gubernur baru nanti, jangan sampai mengabaikan masyarakat jasa konstruksi, terutama kontraktor kecil. Apalagi faktanya, jumlah kontraktor kecil di Bali sangat besar.
"Kami inginkan pemimpin Bali ke depan, benar - benar berani menyatakan keberpihakan kepada seluruh kelompok masyarakat, termasuk pengusaha jasa konstruksi," kata Made Sumberjaya, salah satu pelaku jasa konstruksi Bali, di Denpasar, Rabu (14/2).
Menurut dia, ada beberapa fakta di lapangan, yang harus menjadi catatan serius kedua pasangan calon yang ada saat ini, apabila kelak mendapatkan kepercayaan masyarakat Bali. Salah satunya adalah, mayoritas pengusaha jasa konstruksi di Bali adalah pengusaha kecil.
Sayangnya, selama ini mereka kurang mendapatkan perhatian. Sumberjaya kemudian menyebutkan beberapa contoh, betapa pemerintah di daerah sejauh ini belum memberikan perhatian khusus kepada pengusaha jasa konstruksi, khususnya yang masuk kategori pengusaha kecil.
Pertama, syarat dalam setiap tender sering diperumit, untuk menjegal keterlibatan para pengusaha kecil. Kedua, proyek penunjukan langsung (PL) yang nilainya maksimal Rp 200 juta, memang diarahkan untuk membantu kontraktor kecil. Namun faktanya, keberadaan PL ini justru membebankan kontraktor kecil.
"Bahkan banyak kontraktor yang enggan mengerjakan proyek PL, karena malah merugi. Lebih baik bertarung saat tender, daripada mengejar proyek PL," ujar Sumberjaya.
Contoh lain, menurut dia, tidak adanya eskalasi harga saat ada situasi genting seperti bencana letusan Gunung Agung pada penghujung tahun 2017 lalu. "Selama erupsi Gunung Agung, harga material membumbung tinggi. Parahnya, malah tidak ada eskalasi harga. Ini sangat merugikan kontraktor," tegasnya.
Yang memprihatinkan, demikian Sumberjaya, kontraktor banyak didenda bahkan dimasukkan ke dalam daftar hitam (black list) karena terlambat merampungkan pekerjaan. Padahal, keterlambatan tersebut lebih karena kelangkaan material dan harga yang melonjak.
"Material susah dicari. Harga jelas mahal. Saat bersamaan, malah tidak ada eskalasi harga. Celakanya, karena proyek terlambat, kontraktor didenda, hingga di-black list," keluh Sumberjaya.
Mencermati kondisi ini, ia menaruh harapan besar kepada gubernur Bali terpilih kelak. "Harapan kami, Gubernur Bali yang baru nanti harus memperhatikan kontraktor kecil. Kalau ada proyek besar yang dikerjakan kontraktor besar, libatkan kontraktor kecil," tuturnya.
Selanjutnya soal PL, ia meminta agar Gubernur Bali terpilih mempertimbangkan kembali hal tersebut. Sebab, PL justru tidak bisa menghidupkan kontraktor kecil.
"Soal eskalasi harga, ini juga harus diperhatikan khusus. Apalagi eskalasi harga sangat bergantung pada Gubernur dan DPRD Provinsi Bali. Tanpa kebijakan Gubernur dan DPRD, susah dilakukan eskalasi," pungkas Sumberjaya.