BALI TRIBUNE - Perlahan namun pasti, museum lontar yang digagas oleh warga Desa Adat Dukuh Penaban, Karangasem akhirnya terwujud. Museum lontar dengan bangunan tradisional yang terbuat dari tatal (tanah liat,red) dengan dinding bide (anyaman bambu,red) dan beratap alang-alang ini nantinya akan menjadi museum lontar terbesar serta terlengkap di Bali.
Peresmian serta pemelaspasan museum lontar bernuansa klasik ini berlangsung di Bale Sang Kul Putih Museum Lontar Dukuh Penaban, Selasa (14/11) kemarin. Bale Sang Kul Putih ini sendiri berdiri di atas lahan seluas tiga are terdiri dari empat bangunan yaitu merajan, bale gede, puaregan dan bale dauh yang akan difungsukan sebagai tempat proses konservasi lontar.
Menurut Bendesa Adat Dukuh Penaban, I Nengah Suarya, saat ini pihaknya sudah mengantongi sekitar 400 cakep lontar yang merupakan koleksi dari warga Dukuh Penaban. Dari jumlah itu, baru sekitar 150 cakep yang telah dikonservasi sementara sisanya masih dalam proses.
“Untuk selanjutnya, proses konservasi akan dilaksanakan di Bale Sang Kul Putih ini,” ucapnya.
Dalam kesempatan kemarin, sejumlah pemerhati dan maestro lontar di Bali menyatakan kesanggupannya untuk membantu desa adat yang berpenduduk 457 KK tersebut.
Seperti disampaikan salah seorang maestro lontar asal Buleleng, Sugi Lanus menyatakan kesiapan untuk meminjam pakaikan 250 cakep koleksi lontar miliknya.
Selain itu, Sugi Lanus juga menyatakan kesanggupannya guna memfasilitasi agar museum lontar Dukuh Penaban bisa mendapatkan transkrip koleksi lontar yang menjadi koleksi Universitas Leiden di Belanda.
“Memang Universitas Leiden memiliki sekitar 2.800 koleksi lontar. Namun saya luruskan ya! Lontar di sana itu lebih banyak dalam bentuk transkrip atau salinan dalam huruf latin,” tegas pria yang juga tim kurator Museum Dukuh Penaban itu.
Dan untuk tahap awal disebutkannya Museum Dukuh Penaban diarahkan menampung koleksi lontar milik warga Desa Adat Dukuh Penaban sendiri. Melalui itu, nantinya museum diharapkan terus berkembang sehingga bisa menjadi contoh bagi daerah lain untuk mengembangkan potensi daerah secara mandiri.
“Ide awal dari museum ini adalah museum komunitas. Warga punya koleksi lontar, kita tempatkan di gedong pesimpenan atau dalam bahasa modernnya museum. Nantinya kita harapkan museum ini juga bisa menjadi pusat edukasi dan konservasi lontar,” ucapnya.
Selain Sugi Lanus sejumlah maestro dan kurator lontar ternama lainnya seperti Ida I Dewa Gede Cakra asal Karangasem dan Prof. Dr. Hedi Hinzler dari Universitas Leiden Belanda juga menyatakan kesiapannya untuk membantu museum lontar ini.
Kehadiran museum lontar pertama dan mungkin satu-satunya di Bali ini dinilai sejalan dengan Tagline “Karangasem the Spirit of Bali” dan bahkan setelah resmi beroperasi sejak kemarin, muncul cita-cita tinggi untuk menjadikan Desa Adat Dukuh Penaban ini sebagai Leiden-nya Bali.