Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Jerit Bumi yang Mulai Putus Asa

Drs. I Nengah Suardhana, M.Pd (Dosen Undiknas )
Bali Tribune / Drs. I Nengah Suardhana, M.Pd (Dosen Undiknas )

balitribune.co.id | Dalam sunyi malam tanah Sumatra Utara diselimuti jerit pilu, seorang ibu sedang  mencari anaknya di antara reruntuhan, “Kami mohon perlindungan-Mu. Peluklah jiwa-jiwa yang pergi dengan kasih-Mu. Sembuhkanlah luka fisik dan batin mereka yang tertinggal. Berilah kekuatan pada setiap hati yang hancur agar tetap tegak dalam kesusahan”.  

Dari puncak gunung hingga dasar sungai, bumi telah lama berteriak. Manusia memasang telinga namun namun tidak mendengar, hatinya angkuh dan egonya sangat tebal. Hutan ditebang, tanah dicabik, sungai dicemari, semua demi keuntungan sesaat para pebisnis yang serakah, yang tak pernah mengerti makna uang dan kekayaan. Jiwa mereka haus dan terus haus untuk meraup uang sebanyak-banyaknya, dan menggerus alam tanpa memikirkan dampak samping yang begitu dahsyat.  Alam bukanlah lawan untuk ditaklukkan, tapi ibu pertiwi yang memberi makan; namun keserakahan dan kebiadaban manusia telah mengakibatkan ribuan korban jiwa. Ketika banjir datang dan desa hanyut, jangan salahkan hujan tetapi salahkanlah tangan-tangan yang tidak memiliki hati nurani. Mereka nekat mencabik-cabik kulit bumi dan bahkan sampai ke akar-akarnya. Ini betul-betul perbuatan amoral. 

Hutan-hutan di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat sudah lama merintih pilu. Dahan-dahan mereka dipaksa tumbang oleh tangan-tangan manusia yang tak pernah puas. Dengan dalih pembangunan, manusia merobek pakaian hijau bumi demi sawit dan tambang. Sasarannya sudah jelas: mengubah hutan menjadi ladang uang. Tahap demi tahap, tingkat demi tingkat, pembabatan hutan terus berlanjut dan membabi buta. Mereka lupa bahwa hutan bukanlah sekadar kayu; ia adalah nadi kehidupan yang menjaga keseimbangan alam.  

Air mata sungai pun mulai mengalir deras. Bencana banjir datang tanpa ampun, menyapu rumah-rumah warga, merenggut nyawa orang tersayang, dan memutus jembatan penghubung desa. Para keluarga berteriak histeris melihat anak atau orang tua mereka hanyut terbawa arus. Rumah yang dibangun bertahun-tahun lenyap seketika. Perekonomian yang susah payah dibangun hancur berantakan. Inilah karya buruk dari tangan-tangan manusia serakah yang terus mencabik-cabik hutan tanpa belas kasihan.  Pengusaha dengan senyum dinginnya terus memangkas pohon, sementara rakyat kecil menanggung nestapa. Mereka berbicara tentang keuntungan bersama, tetapi tutup mata ketika banjir melanda. Dimanakah kini tanggung jawab mereka? Dimanakah mereka sembunyi? Mengapa mereka bebas merusak, sementara masyarakat yang tak bersalah harus kehilangan segalanya? Hukum seolah tumpul ketika berhadapan dengan uang. Tetapi bukankah keadilan harus ditegakkan? Siapapun yang pelaku yang berada di balik bencana ini, tidak bisa mengganti nyawa yang hilang dan ratusan manusia yang masih terkubur, dan mereka mungkin tidak bisa ditemukan. Pengusaha harus bertanggung jawab mengganti setiap kerugian, memulihkan setiap luka, dan mengembalikan hutan yang telah mereka rusak. 

Saat keserakahan mengalahkan akal sehat, dengan mata berkaca-kaca, hutan-hutan Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat memandang manusia penuh tanya. "Aku telah memberimu udara segar, air bersih, dan tempat tinggal bagi satwa. Mengapa kau tega mencabik-cabik tubuhku demi keuntungan pribadimu?" Setiap hari, mesin-mesin berat menggergaji habis ribuan pohon tua. Sasaran mereka jelas: menggantikan kerimbunan hijau dengan barisan sawit yang monoton. Walaupun pembabatan dilakukan secara bertahap namun sistematis-mulai dari pinggir jalan hingga masuk jauh ke jantung hutan, terus berlanjut tanpa henti demi keuntungan yang tak pernah cukup.  

Tiba-tiba langit pun menangis! Hujan yang dahulu diserap akar-akar pohon kini mengalir liar, mengubah sungai menjadi monster buas. Banjir bandang menerjang tanpa peringatan, menyapu seluruh yang dilewatinya. Seorang ibu hanya bisa menjerit melihat anak semata wayangnya terlempar dari genggamannya. Seorang kakek tua terduduk lesu menyaksikan rumah yang dibangunnya selama 40 tahun hanyut dalam sekejap. Jembatan penghubung desa putus seperti tusuk gigi rapuh, memutus akses ratusan keluarga. Ekonomi yang susah payah dibangun bertahun-tahun luluh lantak dalam semalam. Sekarang mereka hidup dalam malam sepi hanya ditemani sinar bintang yang tidak mampu menembus dinding bedeng.   

Di balik semua ini, para pengusaha berdiri dengan dasi rapi dan kalkulator di tangan. Mereka menghitung keuntungan sambil menandatangani kontrak baru perluasan lahan. "Ini demi pembangunan," katanya. Tapi di manakah tanggung jawab mereka ketika masyarakat menjerit kehilangan segalanya? Ketika anak-anak tak bisa lagi bersekolah karena sekolahnya terendam lumpur? Ketika petani kehilangan sawah tempat mereka menggantungkan hidup? Hukum seperti pisau tumpul yang tak mampu memotong rantai keserakahan ini.               

Pertanyaan kritisnya adalah: Apakah pengusaha dan pemerintah masih buta tuli, menutup mata melihat penderitaan rakyat dan menutup telinga dari jeritan pilu dan tangis rakyat? Belum puaskah engkau dengan situasi seperti ini?  Ingat: Hukum alam akan bekerja dengan caranya sendiri yang tak terduga dan penuh misteri. Hari dan tanggalnya tidak bisa diprediksi tetapi pasti terjadi lagi jika ulah para pengusaha ini terus dilindungi. Bencana alam yang terjadi saat ini dan ke depan adalah bencana yang diciptakan oleh manusia sendiri yang telah melupakan arti "HATI NURANI". Hakikat manusia diciptakan Tuhan adalah untuk bisa memelihara, menyayangi dan mengelola alam dengan baik

wartawan
Drs. I Nengah Suardhana, M.Pd (Dosen Undiknas )
Category

Jerit Bumi yang Mulai Putus Asa

balitribune.co.id | Dalam sunyi malam tanah Sumatra Utara diselimuti jerit pilu, seorang ibu sedang  mencari anaknya di antara reruntuhan, “Kami mohon perlindungan-Mu. Peluklah jiwa-jiwa yang pergi dengan kasih-Mu. Sembuhkanlah luka fisik dan batin mereka yang tertinggal. Berilah kekuatan pada setiap hati yang hancur agar tetap tegak dalam kesusahan”.  

Baca Selengkapnya icon click

Ketua DPRD Badung Hadiri Paruman Madya MDA Kabupaten Badung

balitribune.co.id | Mangupura  - Ketua DPRD Badung I Gusti Anom Gumanti menghadiri Paruman Madya Majelis Desa Adat (MDA) Bali tingkat Kabupaten Badung Tahun 2025 yang digelar di Wantilan Desa Adat Padang Luwih, pada Senin (8/12).

Kehadiran Ketua DPRD Badung ini menjadi bentuk dukungan legislatif terhadap penguatan peran Desa Adat dalam menjaga adat, tradisi, budaya, serta kearifan lokal di Kabupaten Badung.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Unik, Akomodasi Wisata di Ubud Tawarkan Paket Lamaran Menikah

balitribune.co.id | Ubud - Selain menjadi tempat melangsungkan pernikahan atau mengikat janji suci bersama pasangan, di destinasi wisata Ubud Kabupaten Gianyar terdapat akomodasi wisata yang menawarkan paket lamaran menikah. Paket ini cukup menarik bagi wisatawan yang datang ke Pulau Dewata untuk melamar sang kekasih hati.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Dewan Badung Gelar Sidak, Periksa Perizinan Usaha di Kuta dan Kuta Selatan

balitribune.co.id | Mangupura - Komisi I, II, dan III DPRD Kabupaten Badung melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah lokasi usaha di Kuta Selatan dan Kuta, Badung, Senin (8/12). Sidak ini dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPRD Badung, I Gusti Lanang Umbara, dan melibatkan berbagai unsur terkait, seperti DPMPTSP, Satpol-PP, dan Dinas Pariwisata. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menegakkan tertib administrasi perizinan usaha di wilayah Badung.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.