Diposting : 6 January 2019 14:31
IGM Pujastana - Bali Tribune
BALI TRIBUNE - Batas moralitas rakyat adalah ‘garis equator suci’ yang memisahkan penerimaan dan penolakan rakyat terhadap pemimpinnya. Dulu Bung Karno melanggar batas itu, Juga Pak Harto. Keduanyapun jatuh terjerembab menimpa bumi. Bung Karno jatuh agak keras, Pak Harto lumayan pelan. Tapi kejatuhan seorang pemimpin, tak peduli pelan atau keras, dipastikan akan menimbulkan gejolak politik yang berdarah-darah atau setidaknya ‘darah imajiner’ yang menetes dari kegamangan politik - psikologis. Rambu lalu lintas pun bisa jadi lalu diobrak-abrik. Lalu lintas jadi chaos. Jalanan tak ubahnya ‘peta buta’ . Tak berpetunjuk. Tanpa rambu. Semua melanggar. Semua berkuasa. Polisi jadi sekadar patung yang berwibawa di sudut gelap. Kita tak ingin hal seperti itu terjadi lagi. Cukup sekali saja di 1998.
Tahun depan, Presiden Jokowi sama sekali tidak boleh lupa akan hal itu, akan pelajaran masa lalu. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Presiden Jokowi barangkali tidak akan lupa dan barangkali tidak akan pernah ada pemimpin yang lupa akan hal itu. Tapi tidak semua pemimpin ingat bahwa batas moralitas seringkali terpaksa dilangar tanpa sadar, Dilanggar secara halus dan perlahan. Tidak terjadi sekaligus dan terang-terangan, Sering tidak disadari.
Di masa jayanya dulu, Bung Karno dan Pak harto tidak pernah menduga bahwa rakyat akan berbalik menentangnya. Hal itu seperti mimpi di siang hari. Tapi toh rakyat akhirnya meninggalkan mereka. Tidak semua pelanggaran terhadap batas moralitas akan berakhir dengan kejatuhan politik yang dramatis dan berdarah-darah seperti Bung Karno dan Pak Harto. Tapi yang jelas, terjadinya pelanggaran moralitas akan membuat rakyat berling arah, dari yang sebelumnya mendukung secara membabi buta berbalik jadi anti pati sampai ke sum-sum. Entah karena alasan ekonomi atau psikologi keagamaan. Mungkin karena harga jadi mahal tak terjangkau. Atau karena hidupnya lagi hantu PKI yang tak jelas asal muasal dan juntrungannya. Atau hempasan ‘angin putting beliung anti Islam’ dan kriminalisasi Ulama tanpa bukti yang sahih. Pendek kata, semua isu yang tak menguntungkan sang juara bertahan tapi tak juga menguntungkan sang penantang. Hoax tak menguntungkan siapapapun. Bukan juara bertahan. Tidak juga sang penantang. Yang rugi tentu saja adalah akal sehat demokrasi dan peradaban politik manusia normal. Barangkali untuk mudahnya semua itu harus kita masukan ke dalam kategori kriminalisasi pemilu., Hoax adalah hoax, itu adalah pernyataan tipu-tipu yang menganiaya akal sehat dan logika pikir manusia beradab.
Di subuh 2019 ini Presiden Jokowi perlu ingat bahwa dia bukanlah sosok politik tanpa masalah. Lambannya, bahkan relative mandegnya, penanganan pelanggaran HAM masa lalu atau kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan pasti akan ditagih dengan kencang di masa ‘genting’ bulan-bulan kampanye. Sampai dengan hari ini cara Presiden Jokowi menangani masalah itu mau tidak mau telah membeberkan secara telanjang fakta bahwa presiden tidak bisa mengambil keputusan secara tegas sesuai hati nuraninya. Kuda-kuda harus dipasang, Jurus mengelak harus digelar sebelum keputusan dapat diambil. Masalahnya adalah, sampai berapa lama Presiden akan dapat melayani pertarungan politik di belakang layar? Dalam berapa jurus pertarungan itu akan digelar? Seberapa jauh kompromi politik akan ditoleransi sebelum keputusan akhirnya diambil? Keputusan dan jawaban belum lagi disuguhkan ke hadapan rakyat, sang empunya negeri. Sampai saat itu tiba, Presiden Jokowi terpaksa harus membuka diri atau terbuka terhadap serangan baru. Karenanya jurus tangkisan harus senantiasa disiapkan. Pedang pikiran harus selalu di asah. Kuda-kuda politik harus senantiasa disiagakan. Tak ada waktu bersantai
Memang hingga saat ini,dukungan terhadap Presiden Jokowi sangat besar. Sudah besar sejak dulu, jauh sebelum dicalonkan jadi Presiden oleh PDIP dan berlanjut sampai saat dicalonkan lagi. Barangkali sampai kini sebagian besar rakyat masih mencintai Jokowi. Tapi jangan lupa cinta dapat berubah jadi benci, baik secara perlahan maupun secara drastis. Lagi pula hanya dari rasa cinta dapat lahir kebencian yang membabi buta. Dalam salah satu pidatonya, pejuang hak asasi AS Martin Luther King Jr mengatakan: “Darkness cannot drive out darkness: only light can do that. Hate cannot drive out hate: only love can do that.” Kegelapan tidak lahir dari kegelapan. Hanya sinar terang yang dapat melahirkan kegelapan. Kebencian tidak lahir dari kebencian. Hanya cinta yang dapat melahirkan kebencian. Rasa cinta yang salah dikelola akan melahirkan kebencian yang massif dan dalam. Rasa cinta rakyat terhadap Presiden Jokowi tidak dimaksudkan untuk membuat Presiden tidur nyenyak sehingga melupakan ruang dan waktu. Cinta rakyat pada Presiden Jokowi adalah beban yang luar biasa berat. Beban yang terus mengejar seperti waktu atau genderowo. Beban semakin hari semakin terasa berat apalagi di tahun politik ini. Jangan sampai Presiden Jokowi menganggap rasa cinta rakyat sebagai sesuatu yang it taken for granted. Jangan sampai Presiden Jokowi melanggar batas moralitas rakyat lalu semuanya terlambat.