Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Kasus Antre Makanan di Amerika Serikat

Bali Tribune/ Wayan Windia
Oleh Wayan Windia
 
Balitribune.co.id | Krisis ekonomi dunia, tampaknya sudah semakin dalam. Hari Kamis malam (14/1), saya mendengar wawancara penyiar RRI (Zaini) dengan koleganya di USA (Eva). Bahwa memang benar, sebagian dari masyarakat di sana sudah mulai antre makanan. Bahkan kini antreannya terus semakin memanjang. Mereka adalah orang-orang yang terkena PHK akibat Corona, dan tampaknya tidak memiliki lahan untuk bertani. 
 
Lalu, hidupnya tergantung dari belas kasihan orang lain. Ada LSM yang setiap pagi mendatangi pintu-pintu kamar/rumah penduduk. Untuk memungut sedekah dari pemilik rumah, yang digantungkan di pintu luar. Ada juga yang menyumbangkan uang. Hasil kumpulan sedekah itulah yang dibagikan kepada golongan miskin-baru tsb. Kasihan sekali. Negara yang demikian maju, tetapi sekarang ada penduduknya yang harus antre makanan.
 
Orang yang tuna wisma (gelandangan) juga semakin banyak. Karena mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk sewa kamar di rumah susun. Lalu, terpaksa mereka ter-usir dari kamarnya, dan menjadi gelandangan. Keadaan mereka semakin tertekan, karena adanya musim dingin. 
 
Bagi mereka yang masih bisa bertahan di kamar sewaan, maka banyak diantaranya yang tidak bisa membayar sewa listrik. Lalu mereka tidak bisa menghidupkan mesin pemanas ruangan. Mereka kemudian antre minta bantuan handuk. Gunanya, untuk menutup lubang pintu dan jendela kamarnya, agar udara dingin terhalang masuk.
 
Hal yang senada tampaknya juga terjadi di Singapore. Hal itu pernah saya baca di WA Grup. Apa pelajaran yang dapat kita petik dari kondisi di negara maju seperti ini? Bahwa sektor tersier tetap saja tidak kukuh, kalau tidak ditunjang oleh sektor pertanian yang kuat. Kiranya dapat dibayangkan, kalau tidak ada makanan yang dapat di makan. Mungkin orang-orang bisa mati kelaparan, apalagi di musim dingin seperti ini. 
 
Pengalaman di China juga demikian adanya. Pembangunan industri baja di sana juga gagal, karena tidak didukung dengan sektor pertanian yang tangguh. Kemudian, pola pembangunannya di rubah. Di mana pembangunan nasional di China tetap memperhatikan sektor pertanian dengan sistem insentif terhadap produksi. Sistem komunal ditinggalkan. Sekarang seluruh dunia memandang suksesnya sistem sospol dan ekbang di negara itu.
 
Oh ya, mari kita kembali ke Amerika Serikat. Negara ini tetap saja dipandang sebagai negara adikuasa. Karena luas daerahnya, banyak penduduknya, kekayaan alamnya, dan teknologinya. Mungkin juga karena sistem sospol-nya. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa kalau USA “menderita flu”,  maka negara lainnya, pasti paling tidak merasa “badannya meriang”.
 
Kasus tersebut, kini kita rasakan di Indonesia. Ketika harga kedele di USA naik, maka pengrajin tahu-tempe di Indonesia juga merasa kelabakan. Harga kedele di dalam negeri segera juga melonjak. Ketika harganya melompat dari  Rp.7500/kg, menjadi Rp. 10.000/kg, maka pengrajin tahu-tempe langsung menjerit. Mereka menyatakan mogok. Tenaga kerja banyak yang terlempar ke kancah pengagguran. Konsumen juga menjerit, karena harga makanan pokoknya melonjak.
 
Begitulah rasanya, kalau kita sangat tergantung dari produksi pertanian negara lain. Ini baru kasus kedele untuk tahu dan tempe. Bagaimana kalau saatnya yang naik adalah harga tepung terigu, bawang putih, gula, dan beras? Jelaslah, kita sama sekali tidak ada potensi untuk tanaman gandum. Oleh karenanya pemilik pabrik roti akan “berontak”. Untuk komoditas bawang putih, gula, dan beras, tentu saja tidak bisa segera kita produksi. Meskipun kita punya potensi. 
 
Oleh karenanya, penting sekali kita harus segera mengimplementasikan konsep kemandirian pangan. Khususnya, untuk bahan makanan pokok. Caranya, dengan memberikan harga yang layak bagi petani kita. Kalau saja harga kedele terus bisa bertahan Rp. 10.000 atau lebih per kg, maka petani Indonesia akan terangsang untuk ber produksi. Dahulu mereka  tersisih, dan petani tidak mau menanam kedele. Kenapa? Karena harganya dikalahkan oleh harga kedele import (yang ditanam dengan bibit rekayasa genetika).
 
Hal ini berarti bahwa selama ini kita telah membesarkan petani yang ada di luar negeri. Yakni dengan mengimport produk-produknya. Dan kita merasa nyaman dengan harga yang agak murah. Karena kita sudah sangat tergantung, maka saat ini, meski dengan harga yang mahalpun tetap saja kita meng-import. Demi untuk kebutuhan pengrajin dan masyarakat. Sementara itu, untuk bisa menghasilkan kedele, kita memerlukan waktu  tiga bulanan.
 
Karena harga produk pertanian sangat rendah, dan tidak sesuai dengan nilai input yang dipergunakan, maka petani banyak sekali sudah menjual-jual lahan pertaniannya. Di Bali saja, konversi lahan sawah mencapai 2800 ha/tahun. Kiranya dapat dibayangkan, kalau saat ini kita tidak memiliki sawah untuk menanam kedele, padi, bawang putih, dan tebu. Yang ada hanya hutan beton. Lalu, dapatkah kita menanam tanaman yang kita butuhkan? Nah, pada saat seperti itulah kerusuhan sosial akan terjadi.
 
Banyak pengamat yang mengatakan bahwa ada baiknya kita bersiap untuk membeli produk pertanian dengan harga yang menguntungkan petani. Petani tidak perlu diberikan subsidi input. Belilah produk mereka dengan harga yang menggairahkan petani. Subsidi kepada petani diberikan secara langsung. Tidak perlu via pabrik pupuk, via pabrik pestisida, via bansos, via hibah, dll. Subsidi input, tampaknya hanya lebih banyak menguntungkan para pengusaha, dan menjaga agar kaum birokrasi memiliki proyek/pekerjaan.***
 
 
*) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.   
wartawan
Redaksi
Category
Iklan icon ads
Iklan icon ads

SOM-20, Momentum Memperkuat  Konservasi Laut dan Ketahanan Kawasan Terhadap Perubahan Iklim

balitribune.co.id | Mangupura - Pertemuan Tingkat Pejabat Senior ke-20 atau 20th Senior Officials’ Meeting (SOM-20) Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) yang berlangsung 10-11 Desember 2025 di Kabupaten Badung, Bali ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kerja sama regional dalam konservasi laut, pengelolaan perikanan berkelanjutan, dan peningkatan ketahanan kawasan terhadap perubahan iklim.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Tanpa Kantongi PBG, Bangunan Investor di Hutan TNBB Disegel

balitribune.co.id | Negara - Bangunan di kawasan hutan Balai Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang mencuat belakangan ini ternyata belum mengantongi dokumen Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Persoalan tersebut terungkap saat sidak yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Jembrana bersama instansi terkait ke lokasi bangunan tersebut berdiri.

Baca Selengkapnya icon click

Banjir Bandang di Manggis, Jalur Denpasar-Karangasem Lumpuh 2 Jam

balitribune.co.id | Amlapura - Banjir banjir bandang menerjang dua desa di Kecamatan Manggis, yakni Desa Antiga Kelod dan Desa Gegelang. Sejumlah rumah terendam banjir, lebih dari lima unit mobil milik warga juga terendam banjir, bahkan satu unit mobil yang terparkir di pinggir jalan di Desa Antiga Kelod juga nyaris hanyut, namun beruntung warga sigap dan langsung mengikat mobil tersebut dengan tali plastik.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.