Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Revolusi di Ujung Waktu

Bali Tribune

BALI TRIBUNE - Kekuasaan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) periode ini kurang dari setahun lagi. Artinya, dalam rentang waktu yang kian terbatas, rezim Jokowi-JK akan mengakhiri baktinya kepada bangsa dan negara. Meski peluang periode kedua masih terbuka, namun akhir periode pertama menjadi titik evaluasi paling realistis. Memang, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan  akhir 2018 hingga awal 2019 sebagai momentum mempertajam revolusi mental ideologi bangsa, setelah pembangunan infrastruktur sudah terasa manfaatnya. Namun, untuk menuju Indonesia modern yang egaliter dan rasional, tentu masih harus bekerja keras. Sebab, program itu masih berkontraksi dengan rintangan sosiologis yang belum ditemukan terapi yang pas. Seperti biasa, yang namanya revolusi selalu ada efek kejut atau dalam bahasa futorolog Alvin Toffler (1928), disebut cultur shock. Tentu saja yang mesti dikoreksi adalah prosesnya, bukan tujuannya karena tujuannya sudah baik. Bahwa mengelola negeri pluralisme Indonesia mesti berbasis kepada keadilan proporsional. Artinya, negara wajib adil dalam memberi akses warga yang pluralis namun tetap dengan kaidah keadilan proporsional. Ada hal lain yang perlu menjadi bahan refleksi. Bahwa selama ini tuntutan perbaikan kinerja selalu ditujukan kepada Pemimpin. Padahal, perubahan dalam sebuah organisasi, apalagi organisasi negara,  dimungkinkan jika follower (rakyat) juga meski memberi kontribusi kepada Pemerintah dalam menata bangsa agar Negara dan Agama tidak diposisikan secara subordinatif atau kontradiktif. Harusnya, usia kemerdekaan RI yang sudah mencapai 72 tahun, masalah hubungan Negara-Agama mesti sudah selesai. Sebab, sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa sudah terlibat amat serius mendiskusikan hal itu, termasuk menemukan format idiologis dan bentuk negara yang pas sehingga kita boleh bersatu dalam perbedaan sejak saat itu. Harus diakui, negara kebangsaan Indonesia memang unik. Dia terbentuk dari keping-keping perbedaan di hampir semua segi. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Yunani, yang menjadi negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara Timur Tengah, yang menjadi satu karena kesamaan ras. Indonesia, sebagaimana ditulis Siswono Yudohuso (KOMPAS, 2/6/2005), menjadi satu negara bangsa meskipun terdiri atas banyak bahasa, etnis, ras dan terserak di puluhan ribu pulau. Hal ini terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu; memiliki kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya, 300 tahun kerajaan Majapahit, dijajah Belanda selama 350 tahun dan diduduki Jepang 3,5 tahun. Dengan demikian, debat tentang pluralisme Indonesia, hubungan negara dengan agama, dan ideologi penyatu bangsa harusnya sudah selesai. Tinggal bagaimana Pemerintah sebagai pengelola negara yang mendapat mandat rakyat, mesti memiliki kemampuan yang memadai untuk menata negeri pluralis ini. Dan, tampaknya rizim Jokowi-JK tidak memiliki itu. Tentang ideologi Pancasila misalnya, setelah disepakati dan diputuskan melalui rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, ada begitu banyak ujian yang dialami baik secara fisik maupun konsep, namun semua itu akhirnya selesai juga dan kita kembali kepada komitmen awal, Pancasila. Demikian juga hubungan Negara-Agama seharusnya sudah selesai. Bahwa Negara-Agama dalam negeri Pancasila terjalin erat sejak negara ini berdiri. Lihatlah faktanya; Negara ikut mengatur dan memberi kontribusi pada pendirian rumah ibadah semua agama, terlibat dalam dan memfasilitasi hajat-hajat agama seperti MTQ, Pesparawi, kegiatan-kegiatan keagamaan Hindu, Budha dan Konfutzu. Mengurus perjalanan haji, zakat, ekonomi syariah dalam Islam dan berkontribusi kepada kegiatan ibadah semacam untuk agama lainnya. Singkatnya; hadirnya kementerian agama yang memperoleh jatah APBN nomor tiga terbesar, sudah menunjukan bahwa Agama-Negara tetap berada dalam pola hubungan yang harmonis. Hal yang tidak boleh ada yakni bahwa Negara ditundukkan untuk kepentingan agama tertentu. Dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan misalnya; ada kontribusi seluruh umat beragama di sana, meski tentu saja secara proporsional. Umat Islam yang memiliki massa terbanyak dan menjadi penikmat terbesar dalam bernegara, memang memberi kontribusi lebih besar dalam perjuangan itu. Namun, secara kualitas, keikutsertaan seluruh umat beragama dalam memerdekakan bangsa, sudah tercermin secara jelas dalam album sejarah. Jenderal Sudirman, meski tubuhnya yang kurus  tercengkram  tuberclase akut, Ia masih mampu mengobarkan dan memimpin  perang gerilya dengan mengandalkan spirit ilahiah. Sholat 5 waktu, zikir dan memuji Tuhan, tetap melekat pada bibirnya sampai musuh tertundukkan. Brigjen DI Pandjaitan yang menjadi penantang keinginan kaum komunis untuk bertahta di negeri Pancasila, harus berkorban nyawa. Bahkan, seperti direkam sejarah 31 September 1965, hujan peluru menerjang tubuhnya, saat sang Jenderal masih melantunkan doa-doa sesuai ajaran Kristiani. Alm akhirnya bersimbah darah menghadap Tuhan demi bangsa dan negara. Demikian pula spirit Hindu yang masih bertaut erat dengan budaya Jawa-Bali ketika itu, dijadikan sebagai pelecut nyali para pejuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Spirit Hindu yang tertuang dalam epos Ramayana dan Mahabrata antara lain menjadi spirit bagi Suwardi Suryaningrat untuk mendirikan Taman Siswa.

wartawan
Mohammad S. Gawi
Category

Puncak Karya Pelebon Ni Jero Sumiarsa, Ibunda Wali Kota Denpasar Berlangsung Khidmat

balitribune.co.id | Denpasar - Puncak Karya Pelebon Ni Jero Samiarsa, ibunda dari Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara dan Menteri PPPA Periode Tahun 2019-2024, I Gusti Ayu Bintang Darmawati berlangsung khidmat pada Soma Pon Ugu, Senin (4/8). Bahkan, puncak karya tersebut turut dihadiri Presiden RI ke-5 sekaligus Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. 

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

PHRI Sebut Okupansi Hotel di Seluruh Bali Tembus 65 Persen

balitribune.co.id | Denpasar - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali mencatat rata-rata tingkat hunian atau okupansi kamar hotel di seluruh Bali saat periode liburan musim panas tahun 2025 ini mencapai 60 hingga 65 persen. Bahkan beberapa hotel mencatatkan okupansi hingga diatas 90 persen. Demikian disampaikan Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) di Denpasar baru-baru ini. 

Baca Selengkapnya icon click

Bule Australia Ngamuk di Ubud

balitribune.co.id | Gianyar - Amankan Bule Depresi, jajaran Polsek Ubud libatkan sejumlah personel. Syukurnya, bule yang sebelumnya ngamuk dan membawa pisau itu bersedia pindah dan dijemput temannya.

Selain ngamuk di penginapan, warga negara asal Australia ini sempat merusak dan melempar sejumlah barang ke tengah sawah serta menyeter motor parkir di pinggir gang di Jalan Bisma Ubud.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

'Dihantui' Dinamika Ekonomi, Bank Catat Pertumbuhan Positif

balitribune.co.id | Denpasar - Ditengah dinamika ekonomi saat ini, bank berhasil mencatat pertumbuhan positif, dengan likuiditas solid dan permodalan yang kuat pada semester I tahun 2025. Hingga 30 Juni 2025, salah satu bank swasta membukukan laba bersih sebesar Rp2,57 triliun atau tumbuh 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Baca Selengkapnya icon click

Kejaksaan Negeri Buleleng Usut Dugaan Penyimpangan Dana Desa Sudaji

balitribune.co.id | Singaraja - Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng I Dewa Gede Baskara Haryasa mengatakan, saat ini kejaksaan tengah serius melakukan pengumpulan barang bukti dan keterangan terkait adanya laporan dugaan penyimpangan dalam penggunaan dana desa di Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Buleleng.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.