
Bali Tribune, Gianyar - Beragam ritual unik menyertai rangkaian piodalan di sejumlah pura tua di Gianyar. Seperti halnya ritual Ngerebeg yang melibatkan ribuan anak dan remaja di Desa Pakraman Tegallalang, Gianyar, Rabu (30/1). Dengan berbusana dan hiasan wajah menyeramkan, mereka mengelilingi desa. Ritual ini merupakan simbol kehadiran bhutakala atau wong samar. Hingga puncak upacara di pura setempat, kehadirannya dinetralisir untuk menghilangkan sifat buruk. Mengikuti prosesi ritual Ngerebeg bagi anak-anak di desa Pakraman Tegallalang, merupakan kesempatan untuk berkreasi. Sebab, dalam ritual itu identitasnya tidak boleh diketahui. Segala simbol-simbol keburukan pun menghiasi wajah mereka. Tidak hanya pada bagian wajah, ada pula yang mengecat seluruh tubuhnya dengan beragam warna. Berangkat di Pura Duur Bingin, anak-anak yang berjumlah ribuan ini berkonvoi mengelilingi desa dengan membawa hiasan bunga yang disebut Gerebeg. Pesertanya sebagian melibatkan anak-anak di bawah umur 15 tahun dan dari sekehe teruna. Prosesinya berawal dari makan bersama di pelataran pura desa setempat, kemudian mereka melakukan sembahyang bersama sebelum acara ngerebegnya dilakukan. Uniknya, tidak saja pakaian dan wajahnya saja, namuan sifatnya anak-anak ini juga menyerupai bhutakala. Buktinya, saat acara katuran pica (diberi santapan makan), mereka terus minta tambah dan tidak pernah puas. Meski demkian, pihak panitia wajib melayani mereka hingga puas. Setelah persembahyangan selesai dan acara makan bersama kelar, barulah mereka beramai-ramai pawai turun ke jalan yang dijaga oleh pecalang berkeliling desa dengan membawa penjor ukuran mini. Tentunya tak lupa dengan yel-yel, mereka berteriak dan berjalan mengelilingi desa dan finis di pura desa tadi namun terkadang lebih banyak dari mereka langsung mandi di sungai. Mungkin karena perjalanan yang melelahkan dan siang yang sangat terik merekapun membersihkan diri dengan mandi di sungai-sungai terdekat. Dari penuturan Bendesa Pakraman Tagallalang, Made Jaya Kusuma, kehadiran anak-anak diperlakukan istimewa. Karena hari itu, diyakini anak-anak setempat telah menyatu dengan kekuatan bhutakala atau wong samar. Wong samar juga diyakini hadir di antara mereka. “Hal ini dibuktikan saat disajikan santap siang bersama. Anak-anak ini terus minta nambah, padahal sajiannya sudah melebihi porsi orang dewasa,” jelasnya. Tradisi Ngerebeg, lanjutnya dilaksanakan secara turun temurun serangkaian upacara di pura setempat. Perilaku anak-anak ini diyakini di pengaruhi oleh sifat-sifat buruk. Kerena itu agar tidak mengganggu prosesi upacara, sebelumnya diberi kesempatan untuk melampiaskan keinginannya. Saat berkeliling desa, peserta dihaturkan sesajen di tiap-tiap pura dan kuburan yang dilewati. Pada kesempatan ini secara perlahan, sifat-sifat buruk dinetralisir. Hingga kembali ke pura, pikirannya diharapkan sudah jernih. Sehingga upacara terlaksana dengan niat yang tulus dan ikhlas.(ATA)