Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan.

Beban Guru Oemar Bakri

I Komang Warsa
Bali Tribune / I Komang Warsa - Majelis Desa Adat Kecamatan Rendang

balitribune.co.id | " …murid bengalmu mungkin sudah menunggu, laju sepeda kumbang di jalan berlubang selalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang…..oemar Bakri pegawai negeri 40 tahun mengabdi…jadi guru jujur berbakti memang makan hati, omar bakri banyak ciptakan menteri… professor dokter ,insinyur pun jadi… (Syair Lagu Iwan Fals)

Syair lagu di atas menggelitik penulis untuk merenung tentang nasib guru apalagi  ketika beredarnya banyolan potongan frase “Guru itu beban negara.” Kalimat pendek yang beredar deras lewat media sosial yang mematik emosi banyak kalangan guru. Seakan penikmat media sosial cepat tersulut api emosi tanpa penah merunut kontekstual bahasanya. Apakah ini rekayasa kecerdasan buatan sebagai bentuk  palsu atau kontekstual kalimatnya terpotong atau sengaja dipotong, memang dunia digitalisasi sungguh luar biasa membunuh karakter orang. Akan tetapi, kepalsuan itu justru mengungkap kebenaran yang tak pernah diucapkan secara gamblang. Bertahun-tahun, negara memang memperlakukan guru sebagai ASN kelas dua dan penuh membebani guru terkadang malah guru  bukan dianggap sebagai asset bangsa. Pujian “pahlawan tanpa tanda jasa” hanya jadi kamuflase dan pemanis bibir untuk menutupi kenyataan bahwa mereka dipaksa bekerja dengan gaji kecil, status tidak jelas, dan tugas yang menumpuk tanpa akhir. Menjadi guru yang jujur dan tulus memang makan hati tetapi gaji guru Oemar Bakri selalu dikebiri seperti  lantunan syair lagu Iwan Fals. Sedikit sumringah dengan tunjangan sertifikasi tetapi masih dengan potret yang begitu ketat melalui  PPG agar betul-betul menjadi guru profesionalisme. Pertanyaannya apakah guru yang lulus dari LPTK atau universitas yang mencetak guru tidak bisa disebut guru profeionalisme?  Guru memang mengemban tugas mendidik, mengajar, menjaga moralitas sampai peradaban karakter pun ada di pundak guru. Melihat tugas yang padat merayap sejatinya negaralah yang membebani guru bukan banyolan media sosial yang beredar melepas kontektual berbahasa. Dan saya yakin banyolan itu muncul pasti ada konteks dan koteks bahasanya. Bahasa jangan dilepas dari konteks komunikasi agar tidak arbitrer, nanti akan menjadi racun komunikasi dan berujung perang media sosial yang tidak mendidik peradaban bangsa.

Lebih pahit lagi, stigma itu lahir dari cara pandang birokrasi yang melihat pendidikan sebatas biaya, bukan investasi masa depan bangsa. Guru jangan dihargai dalam pidato, tapi diabaikan dalam kebijakan seakan guru adalah abdi negara kelas dua baik secara finansial atau kemampuan. Ruang publik menjadi saksi nyata, mereka dielu-elukan sebagai pilar bangsa, di meja anggaran, mereka direduksi menjadi angka defisit. Ironi inilah yang membuat ucapan “guru itu beban negara” meski palsu atau benar terasa lebih dekat pada realitas ketimbang semua jargon pendidikan yang negara kumandangkan. Pendidikan memang tidak menjanjikan kaya tetapi pendidikan menentukan IPM yang bermuara pada pembangunan bangsa.

Guru tak pernah hanya sekadar mengajar membaca dan berhitung. Mereka dipaksa menjadi pengganti orang tua di kelas, mendidik akhlak, merawat nilai, bahkan menambal keroposnya moral publik. Guru bukan sebatas mengajar tapi lebih luas lagi mendidik ke arah perilaku yang lebih baik. Dari urusan berpakaian, bertutur sapa, kesopanan, administrasi mengajar jika  mau jujur mengerjakan pekerjaan guru nyaris tidak dapat waktu untuk mengurus keluarganya sendiri.  Di pundak mereka ditaruh harapan yang besar masa depan bangsa. Ribuan guru honorer menjerit dalam ketidakberdayaan, masih digaji setara uang jajan anak kota, Rp300 ribu–Rp700 ribu per bulan. Belasan tahun mengabdi pun tidak otomatis menghapus stempel “honorer” yang melekat. Guru perlu perlindungan dalam mengajar peradaban anak bangsa bukan perlu perundungan. 

Di atas podium, negara rajin menyebut guru “pahlawan tanpa tanda jasa”. Tapi di lapangan, julukan itu berubah menjadi bulan-bulan dan kelinci percobaan. Guru dijadikan pondasi, namun dibiarkan keropos. Kurikulum berganti tiap kali menteri baru datang dengan gagasan segar, seolah-olah anak didik hanyalah lahan uji coba kebijakan. Sementara itu, administrasi menumpuk formulir demi formulir, laporan demi laporan menyita waktu yang seharusnya untuk murid. Dan ketika murid gagal bersaing di panggung global, jari telunjuk pertama selalu diarahkan kepada guru. Mereka dituding tak kompeten, tak inovatif, tak relevan dan sebutan-sebutan kesalahan  yang melukai guru. Negara tak pernah bercermin bahwa merekalah yang melucuti daya guru dengan sistem tambal-sulam. Ironinya, guru dituntut melahirkan generasi unggul, padahal mereka sendiri dipaksa bertahan dalam sistem yang melemahkan layaknya guru Oemar Bakri

Video yang menampilkan Sri Mulyani berkata “guru itu beban negara” memang harus diuji kebenarannya atau hanya hasil rekayasa kecerdasan buatan karena dunia media sosial bernasnya hanya 10%  sisanya lebih banyak hoaknya. Namun justru di situlah paradoks mencuat, betapa rapuhnya literasi digital masyarakat kita. Jutaan orang buru-buru percaya, marah, lalu menyebarkannya tanpa verifikasi.  Lagi-lagi, tugas menambah kerentanan ini akhirnya digeser ke ruang kelas. Guru bukan saja diminta mengajar matematika atau bahasa, tetapi juga dituntut melatih murid agar cakap memilah informasi, kritis terhadap arus hoaks, dan tahan terhadap manipulasi algoritma. Terlalu membanggakan kemajuan teknologi ujung-ujungnya abai dengan guru maka di situlah keruntuhan moral bangsa. Belajar di mana saja, kapan saja dengan siapa saja ini akan sangat berbahaya jika tidak dibentengi dengan pendidikan yang baik, benar dan terukur. Belajar di comberan yakin menghasilkan pendidikan comberan atau belajar di tempat maksiat yakin out futnya juga maksiat.   Guru dipaksa tetap berdiri di kelas, bersandiwara tidak ada masalah dan seakan-akan semuanya baik-baik saja. Mereka pun dijadikan penyangga moral bangsa orang tua menitipkan anak, masyarakat menuntut keteladanan, sementara negara membiarkan kesejahteraan dan keamanan mereka terabaikan. Jika ada yang pantas disebut beban, bukanlah guru.  Akan tetapi negaralah yang banyak memberikan beban kepada guru. Beban negara itu adalah jika guru semua bergerak ke zona nyaman  karena bekerja penuh tekanan, penuh ketakutan, dan keraguan masa depan keluarganya. jika guru ingin berada di zona nyaman yakin lebih memilih tugas mengajar daripada mendidik.

Guru bukan beban negara. Mereka fondasi. Fondasi, dalam logika sederhana, adalah penopang, bukan beban. Justru negara menjadikan guru banyak beban dan bukan sebaliknya.. Kita butuh aksi, bukan sekadar retorika manis, kesejahteraan layak, status kerja pasti, administrasi dipangkas, pelatihan digital ditingkatkan. Tanpa itu, setiap kalimat tentang penghormatan guru hanyalah pemanis di bibir yang terdengar sumbang. Media sosial sungguh merusak peradaban moral jika tidak dipagari oleh undang-undang. Pidato-pidato, sambutan-sambutan yang diekspos tidak utuh atau sepotong-sepotong ke media sosial akan mengotori pikiran sehingga sampah-sampah pikiran akan menjelma menjadi saling ejek, membuly yang sebenarnya bukan budaya bangsa kita.  Tapi jejaknya tetap: ia membuktikan betapa rapuhnya literasi publik, sekaligus menguak ironi bahwa negara masih memperlakukan guru sebagai beban.  Guru bukan beban negara, yang beban sesungguhnya adalah negara yang terus membebani guru. Seperti biasa, guru hanya diam. Mereka tetap hadir di kelas, tetap mengajar, tetap menopang rumah peradaban bangsa ini meski fondasinya kian keropos. Melindungi guru menjaga keamanan guru akan berpengaruh terhadap anak bangsa. Jika guru selalu tersakiti dengan banyolan di media sosial akan menular seperti penyakut akut ke anak didik di sekolah. 

wartawan
I Komang Warsa
Category

Korban Hilang Pascabanjir Belum Ditemukan, Desa Adat Mengwitani Gelar Upacara

balitribune.co.id | Mangupura - Satu keluarga hingga Minggu (14/9), masih dinyatakan hilang pascabanjir bandang melanda Perumahan Permata Residence, Lingkungan Gadon, Kelurahan Mengwitani pada Rabu (10/9).

Tim gabungan terus melakukan pencarian di lokasi, sementara Desa Adat Beringkit menggelar ritual adat untuk mendoakan para korban.

Desa Adat Beringkit menggelar ritual Mecaru Guru Piduka dan Bendu Piduka di lokasi kejadian. 

Baca Selengkapnya icon click

Bersama JRX SID dan Komunitas Pantai Kuta, Bupati Badung Tegaskan Komit Penataan dan Pengelolaan Ikon Pariwisata

balitribune.co.id | Mangupura - Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa melaksanakan dialog dengan Klkomunitas sekitar Pantai Kuta, bertempat di Skatepark Pantai Kuta, Jalan Pantai Kuta, Kuta, Sabtu (13/9). Pertemuan ini membahas tentang pengelolaan dan penataan Pantai Kuta.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Menteri Ekraf Bahas Penguatan Sistem Royalti Musik dengan LMKN

balitribune.co.id | Denpasar - Menteri Ekonomi Kreatif (Ekraf), Teuku Riefky Harsya bersama Komisioner dan Pengurus Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) membahas tentang keberlanjutan ekosistem musik nasional, khususnya dalam aspek perlindungan hak ekonomi pencipta, pemegang hak terkait, serta para pelaku industri kreatif yang menjadi pengguna musik.

Baca Selengkapnya icon click

BMKG: Musim Hujan Datang Lebih Cepat, Ada Ancaman Bahaya Sekaligus Peluang Pertanian

balitribune.co.id | Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksikan musim hujan 2025/2026 di Indonesia akan datang lebih awal dari kondisi normal. Berdasarkan pemantauan iklim terkini, sebagian wilayah Indonesia mulai memasuki musim hujan sejak Agustus 2025, dan secara bertahap akan meluas ke sebagian besar wilayah pada periode September hingga November 2025.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads

Dinas Kebudayaan Buleleng Gelar Eksibisi Megangsing di Desa Gobleg

balitribune.co.id | Singaraja - Permainan megangsing kembali di populerkan melalui pertandingan eksibisi. Dinas Kebudyaan Kabupaten Buleleng, menggelar permainan tradisional itu anak-anak SD dan SMP di Desa Gobleg, Kecamatan Banjar, pekan lalu. Para peserta beradu ketangkasan agar gangsing mereka bertahan paling lama berputar. Sementara penonton bersorak sorai menyemangati permainan tradisional yang nyaris punah itu.

Baca Selengkapnya icon click

Dipilih Aklamasi, Kresna Budi Kembali Pimpin Golkar Buleleng

balitribune.co.id | Singaraja - DPD Partai Golkar Buleleng dalam Musyawarah Daerah (Musda) ke XI kembali memilih IGK Kresna Budi menjadi pemegang kendali pertai berlambang pohon beringin itu. Ia dinyatakan terpilih setelah 9 pengurus kecamatan (PK) serta beberapa organisasi sayap partai tersebut sepakat secara aklamasi memlihnya kembali. Menariknya, selama proses Musda, berlangsung serba kilat.

Baca Selengkapnya icon click
Iklan icon ads
Iklan icon ads
Bagikan Berita
news

Dikeluhkan Pelaku Usaha, Dewan Badung Siap Kaji Ulang Pajak Hiburan

Lorem, ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Aliquid, reprehenderit maiores porro repellat veritatis ipsum.