BALI TRIBUNE - Memasuki musim ekstrim di akhir tahun, bencana dan wabah penyakit terus menghantui. Agar terhindar dari malapetaka ini, warga Desa Pakraman Tengkulak Kelod, Kemenuh, Sukawati menggelar ritual Ngerebeg Desa, Senin (11/12). Ratusan warga dari anak-anak hingga orang dewasa berhias seram, menggelar arak-arakan keliling desa dengan menggusung barong sakral.
Menjelang siang hari anak-anak remaja hingga dewasa di Desa Pakraman Tengkulak Kelod, sudah bersiap diri untuk mengikuti ritual ngerebeg. Mereka sengaja berhias seram sebagai simbol keburukan ataupun sifat negatif yang timbul di musim bencana pada akhir tahun 2017 ini. Bhuta kala dari seluruh penjuru mata angin pun diekspresikan dengan warna yang mendominasi di tubuhnya. “Kegiatan ini kami laksanankan setiap akhir tahun. Teman-teman ada yang menjadi butha ijo, bhuta bang, bhuta ireng dan lainnya. Semuanya bebas sesuai keinginananya,” ungkap koordinator pemuda setempat, Komang Juliarta.
Bersama seluruh warga, ritual ngerebeg pun diawali dangan menurunkan barong serta topeng sakaral di Pura Dalem Pakra,an tengkulak Kelod. Lantas diarak keliliang desa, dengan iringan gambelan serta kentongan yang diyakini dapat mengusir kekuatan negatif.
Iringan ritiual unik menjadi totonan menarik bagi wisatawan asing. Terlebih. Peserta ritual mempersilahkan wisatan untuk berselfie maupun mengkuti langsung kegiatan itu. “Its very-very uniqe ceremony. I’m never seen like that before,” terang Mallory Miller, wisatawan asal Amerika Serikat.
Hingga di penghujung desa serta kuburan, iringan terhenti sejenak dengan gelaran upacara khusus, sebagi simbol pintu pengahalau. Warga adat berharap, desanya maupun desa diseluruh bali terhindar dari musibah bencana alam maupun wabah penyakit.
Bendesa Pakraman Tengkulak Kelod, Dewa Ketut “Malen’ Suarbawa mengungkapkan, warga setempat meyakini, memasuki bulan ke enam kalender Bali, alam cendrung menunjukkan kemurkaaannya. Ditandai dengan hujan petis, banjir, longsor hingga gempa. Terlebih Gunung Ggung kini dalam status awas. Karena itu, warga memohon ampun dan berjanji senantiasa menjaga keseimbangan alam.
Arak-arakan ngerebeg, sebutnya juga melintasi areal pertanian, dan berakhir di pura dalem setempat. Sesajen dan simbol sakral lainnya kemudian distanakan. “Di bagian akhir digelar makan nasi kuning bersama dan warga sebagai simbol kekuatan mental dan spiritiual menyongsong hari-hari ke depannya,” jelasnya.