
balitribune.co.id | Peristiwa blackout listrik di Bali beberapa waktu yang lalu telah membuat Bali mengalami kerugian yang tidak sedikit, para pengamat ekonomi memperkirakan kurang lebih ratusan miliar hilang dalam beberapa jam, dan para pengamat merinci sektor-sektor mana yang terdampak besar, di antaranya pariwisata, perdagangan, dan jasa, serta gangguan pada sistem pembayaran elektronik, juga pada sektor rumah tangga, dan lain-lain, sementara penyebab blackout, sebagaimana yang kita baca di media, ditengerai oleh adanya gangguan pada kabel bawah laut yang menghubungkan Jawa dan Bali yang kemudian menyebabkan semua pembangkit listrik di Bali mati secara bersamaan, pihak PLN Bali menyebutkan bahwa ratusan personel PLN langsung diterjunkan untuk merespons gangguan tersebut dan membutuhkan kurang lebih 12 jam untuk memulihkan keadaan, dan Pak Koster, dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Bali, memantau langsung pemulihan tersebut.
Kembali ke persoalan blackout, jika disimpulkan, maka kejadian tersebut lebih disebabkan oleh system error, bukan human error, yakni gangguan pada kabel bawah laut, sesuatu yang bisa saja sulit diketahui oleh orang awam, tetapi bagi yang telah bekerja sekian lama di PLN gangguan sistem itu akan dengan cepat diketahui, dan itulah yang kita rasakan bahwa dalam waktu sekian jam, gangguan sistem itu ditemukan dan kemudian dilakukan pemulihan dalam waktu segera, namun demikian, apapun penyebabnya, peristiwa blackout memperlihatkan betapa Bali sangat rentan terhadap gangguan listrik karena sebagian besar pasokan listriknya berasal dari sistem kelistrikan Jawa melalui kabel laut, artinya Bali sangat tergantung kepada pasokan listrik dari Jawa, dan inilah yang mendorong Pak Koster mengambil inisiatif untuk melepaskan Bali dari ketergantungan akan pasokan listrik dari Jawa, inisiatif ini termuat dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali Tahun 2020-2050.
Sebagai publik, kita patut mendukung inisiatif pak Koster ini, karena gagasannya untuk melepaskan Bali dari ketergantungan terhadap pasokan listrik dari luar Bali menemukan alasan pembenarannya, bahwa resiko krisis energi bisa terjadi kapan saja, seperti peristiwa blackout yang terjadi beberapa waktu yang lalu, dan krisis energi itu membawa dampak kerugian yang sangat besar, dengan alasan ini, kemandirian energi bagi Bali sangat penting dan tidak bisa ditunda, apalagi data menunjukkan bahwa kelistrikan Bali memiliki daya mampu 1.388 MW dengan beban puncak tertinggi di tahun 2025 diperkirakan mencapai 1.189 MW, dengan cadangan 199 MW atau sekitar 14%, artinya cadangan listrik akan terus berkurang jika melihat kebutuhan akan listrik senantiasa meningkat dari tahun ke tahun, dan dengan mandiri energi maka Bali akan memasok sendiri kebutuhan listriknya dengan memanfaatkan potensi energi terbaruan yang dimilikinya, seperti yang bisa dilihat dari hasil kajian peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyebutkan bahwa total potensi energi terbarukan Bali mencapai 11.806 MW (sumber, diksimerdeka.com, Sabtu, 3/5/2025), dengan jumlah ini, tentunya Bali mampu memenuhi seluruh kebutuhan listriknya sendiri tanpa mengandalkan pasokan dari luar.
Kita berharap, Pak Koster tetap gigih memperjuangkan kemandirian energi ini, dan karena itu kita mendukung komitmennya untuk Bali mandiri energi sebagaimana yang kembali beliau gaungkan dalam acara Sosialisasi Bali Mandiri Energi melalui Percepatan Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Ramah Lingkungan di Provinsi Bali, bertempat di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar pada Kamis 15 Mei 2025, bahwa kemandirian energi dengan energi bersih bagi Pulau Bali adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, sekaligus sebagai pelaksanaan dari amanah Perda Nomor 9 Tahun 2020 yang meminta agar Bali memiliki sistem pengelolaan energi yang mandiri, mudah terjangkau, berkeadilan, berkelanjutan, dan mensejahterakan, dan Pak Koster ingin sekali agar Bali menjadi contoh dalam transisi energi di Indonesia, dari fosil ke energi terbarukan, seperti halnya PLTS Atap yang menurutnya adalah salah satu cara paling realistis dan cepat, karena Bali benar-benar perlu mandiri energi agar tidak terjadi blackout lagi seperti sebelumnya.
Akhirnya, kita berharap agar gagasan Bali mandiri energi bisa terwujud, dan kita yakin bahwa Pak Koster serius untuk mewujudkan hal itu, ada kata bijak, tidak ada yang tidak mungkin jika diusahakan dengan keras, sebagai publik, kita ingin agar mandiri energi adalah solusi yang bisa dipakai untuk menghadapi krisis iklim dan mengurangi ketergantungan energi fosil, tentu saja terbebaskan dari blackout yang menjadi momok bagi Bali yang dikenal sebagai jantung pariwisata Indonesia, wallahu a'alamu bish-shawab..
Tabanan, 15 Mei 2025