
balitribune.co.id | Mangupura - Usulan penghapusan piutang retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang kini disebut Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) belum mendapat persetujuan DPRD Badung. Sebab, nilainya tidak sedikit, yakni mencapai Rp 5.527.174.491,54 untuk periode 2014 hingga 2020.
Penundaan keputusan ini disepakati dalam rapat gabungan Komisi I dan Komisi III bersama sejumlah pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Gedung DPRD Badung, Selasa (5/8). Rapat dipimpin Wakil Ketua Komisi I I Gusti Lanang Umbara dan Ketua Komisi III I Made Ponda Wirawan. Hadir pula Inspektorat, Badan Pendapatan Daerah, BPKAD, DPMPTSP, dan instansi terkait lainnya.
Lanang Umbara menjelaskan, piutang muncul karena kelemahan sistem manual yang digunakan sebelum 2017 dan ulah oknum konsultan nakal. "Perlu saya jelaskan bahwasanya piutang itu tidak disertai dengan izin yang keluar. Kami di dewan belum menyetujui karena kita akan melakukan kroscek dulu ke lapangan, karena dari 35 piutang, 2 sudah terdeteksi ke PBG, berarti mereka sudah mengurus perizinan sesuai UU yang ada," katanya.
Ia menambahkan, dari 33 piutang tersisa, pihaknya akan memastikan statusnya di lapangan. "Apakah mereka tidak melanjutkan karena bangkrut atau mereka nakal tetap beroperasi tanpa melanjutkan ke PBG. Makanya kita akan turun untuk mengetahui kondisi di lapangan, baru kita mengambil keputusan," tegasnya.
Kepala Dinas PMPTSP I Made Agus Aryawan menekankan bahwa izin bangunan belum terbit karena belum memenuhi syarat pembayaran. "Izin mendirikan bangunan tidak keluar. Syaratnya adalah Sertifikasi Laik Fungsi Bangunan (SLFB) yang diterbitkan dibayarkan. Ini yang harus diluruskan dulu. Kondisi investasi di lapangan bervariasi, ada yang sudah terbangun, ada yang bangkrut, konsultannya belum dibayar, dan ada juga yang sudah ganti kepemilikan," jelasnya.
Ia menyebut sebelum 2018 belum ada sistem yang mendeteksi penertiban SLFB. "Sebelumnya, 2014 ke bawah betul-betul manual, sehingga tidak ada early warning. Jika sebulan tidak dibayarkan, akan dikenakan denda dua persen," katanya.
Inspektur Luh Suryaniti menambahkan, temuan piutang retribusi ini selalu disoroti oleh BPK dalam pemeriksaan keuangan daerah. "Beberapa kali pemeriksaan, piutang selalu menjadi sorotan BPK pada laporan keuangan tahun 2019. BPK sangat menyoroti sekali beberapa piutang yang belum tertagih, salah satunya utang retribusi," ujarnya.
Ia menyebut kemunculan piutang ini terus berulang dalam laporan keuangan tahunan. "Yang terakhir pada 2019 kemarin muncul Rp 5,5 miliar lebih. Karena muncul piutang, kita memfasilitasi dengan regulasi yang kita miliki (usulan penghapusan piutang -red)," pungkasnya.