Dualisme Pura dalam Pariwisata Budaya Bali | Bali Tribune
Diposting : 20 July 2020 19:05
I.B. Arnawanta Prawira, S.Par - Bali Tribune
Bali Tribune / I.B. Arnawanta Prawira, S.Par / A. Prawira

balitribune.co.id | “Gubernur Bali  Dr. Ir. I Wayan Koster, pada tanggal 10 Juli 2020 menerbitkan 3 Peraturan Gubernur (Pergub), masing-masing Pergub no 24 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut, Pergub no 25 tentang Pelindungan Pura, Pratima dan Simbol Keagamaan, serta Pergub no 26 tentang Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipandu Beradat) Pergub ini diterbitkan bertujuan untuk mencegah terjadinya penurunan kesucian pura, pencurian pratima, dan penyalahgunaan simbol keagamaan. Kemudian melakukan pemeliharaan pura untuk mencegah cuntaka atau sebel, kerusakan, alih fungsi, dan/atau musnahnya pura. Salah satunya melarang setiap orang yang tidak berhubungan langsung dengan suatu upacara, persembahyangan, piodalan dan/atau kegiatan pelindungan pura untuk memasuki pura, termasuk dalam kaitan pariwisata. Kalau tidak untuk tujuan mabakti, dilarang masuk pura. Apalagi ada umat lagi sembahyang, ada banten, dupa, tetapi di kiri kanan ada orang wara wiri dan berwisata. Dengan adanya pergub ini hal tersebut tidak boleh lagi terjadi.” (Media Juli 2020)

Pura sebagai Kawasan Suci

Pura adalah istilah untuk tempat beribadat bagi umat yang beragama Hindu di Indonesia. Mayoritas umat beragama Hindu ada di pulau Bali, sehingga pulau Bali terkenal dengan nama pulau seribu pura. Bernet Kempers, seorang ahli purbakala/arkeolog memberi julukan pulau Bali sebagai “Land of One Thousand Temples“ pulau dengan seribu pura, ”The Island of Gods“ pulau dewata, karena di setiap sudut pulau Bali ada dan didirikan pura baik yang berupa Kahyangan Jagat, yaitu pura tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala manifestasiNya, seperti, pura Besakih (bagian timur laut), pura Lempuyang (bagian timur), pura Goa Lawah (bagian tenggara), pura Andakasa (bagian selatan), pura Luhur Uluwatu (bagian barat daya), pura Batukaru (bagian barat), pura Puncak Mangu (bagian barat laut), pura Batur (bagian utara), dan pura Pusering Jagat (bagian tengah). dan juga Dang Kahyangan, yaitu pura yang dibangun sebagai tempat pemujaan dan penghormatan terhadap Guru-guru Suci atau Maha Rsi yang mengadakan perjalanan rohani ke Bali seperti pura Rambut Siwi, Tanah Lot, Ponjok Batu, Pulaki (Dang Hyang Nirartha), pura Silayukti (Mpu Kuturan).

Pengertian Pura pada awalnya dipergunakan untuk menamakan tempat yang sangat dihormati sebagai Istana Raja. Istilah ini muncul pada masa pemerintahan Raja Sri Kresna Kepakisan yang merupakan raja pertama trah Majapahit di Bali sejak kerajaan Bali ditaklukan oleh Majapahit dengan patihnya Gajah Mada. Sebagai orang Jawa Timur, dan penakluk kerajaan Bali, beliau membawa tradisi dan budaya Majapahit ke Bali. Istana Raja yang dahulu dinamakan Kedaton atau Keraton diganti dengan sebutan Pura, seperti istana raja di Samprangan dinamakan Linggarsapura, istana raja di Gelgel dinamakan Suwecapura, istana raja di Klungkung dinamakan Semarapura. Dari turunan bahasa Sansekerta Pura berarti “Kota” atau “Benteng”, sehingga istana raja adalah bermakna benteng atau gerbang kerajaan. Dalam perkembangan lebih lanjut kata ”Pura,” mengandung pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasiNya dan Atma Sidha Dewata /Roh Suci Leluhur/Dewa Pitara. Dengan demikian istilah Pura yang pada awalnya berarti Benteng atau Kota atau Gerbang menjadi Tempat Suci untuk memuja kebesaran Tuhan, yang berguna untuk membentengi umat Hindu agar tetap berpegang pada ajaran dan kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi dan tidak terpengaruh oleh ajaran agama lain. Karena makna kata Pura diartikan sebagai tempat suci, maka istana raja tidak lagi menggunakan kata Pura, tetapi diganti menjadi Puri untuk tidak mengaburkan maknanya. Kata Pura yang berarti tempat suci di Bali diartikan sama dengan Kahyangan atau Parahyangan. Pura atau Kahyangan didirikan pada tempat-tempat yang telah terpilih berdasarkan atas kitab suci Weda seperti gunung, danau, campuhan (pertemuan dua atau tiga sungai), pantai, sungai, laut. Tempat-tempat tersebut diyakini dipilih oleh para Maha Resi untuk mendirikan pura dan menjadi kawasan suci karena di tempat seperti inilah para Maha Resi mendapatkan berkah dengan pikiran-pikiran sucinya. Para Maha Resi telah menempatkan pura sebagai benteng kesucian pulau Bali. Seluruh penempatan pura-pura di Bali dilandasi oleh konsep Padma Mandala atau ruang menyerupai bunga padma. Dengan konsepsi ini alam Bali menjadi ruang wilayah yang suci yang dibentengi oleh Pura-pura, dengan demikian memberikan kerahayuan jagat Bali yakni kesejahteraan lahiriah dan kesucian pikiran. Oleh karena pura adalah wadah memotivasi kesucian, maka pura dinyatakan sebagai Kawasan Suci yang harus dijaga kesuciannya, kesakralannya dan kelestariannya.

Pura sebagai Obyek Wisata

Pemerintah Daerah Bali menetapkan pariwisata sebagai sumber PAD utama dalam pembangunan sehingga pariwisata menjadi pusat perhatian dan jantung ekonomi masyarakat Bali. Budaya agraris yang menjadi dasar awal tahun 1900an sebagai pendapatan utama mengalami degradasi dan secara perlahan-lahan berganti menjadi budaya industri terutama industri pariwisata. Industri pariwisata bagi pemerintah Bali diharapkan mempunyai peranan yang penting untuk memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, serta meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Berdasarkan sumber daya dan potensi dasar serta kondisi obyektif pulau Bali, yaitu daerah pegunungan, beberapa danau sebagai sumber mata air, persawahan terrasering, berbagai artefak arkeologi yang seperti living museum, way of life masyarakatnya dan sebagainya, maka kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah Pariwisata Budaya. Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangan-nya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras dan seimbang. Ini yang menjadi idealisme pemerintah daerah Bali mengembangkan industri pariwisata Bali, dan ini tertuang pada Perda no 3 tahun 1991. Dengan kata lain pariwisata budaya yang dikembangkan di pulau Bali adalah bertujuan untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek serta daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan agama Hindu dan keindahan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan.

Desain, karakteristik, arsitektur pura-pura di Bali memiliki penampilan yang menarik, unik, indah, dan kekhasan tersendiri. Ada yang terletak di pinggir danau, di pinggir laut, di lereng gunung, ditengah sawah, di pinggir tebing, di setiap pedesaan, bahkan juga di dalam pekarangan rumah masyarakat. Kekhasan dan keunikan tersebut sangat dinikmati oleh orang Bali sendiri serta para pengunjung atau wisatawan, sehingga menjadikannya sebagai suatu obyek wisata atau bahkan juga menjadi Kawasan wisata, di samping sebagai fungsi utamanya sebagai tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya. Bagaikan mata uang yang mempunyai dua sisi. Satu sisi sebagai bagian dari Spiritualitas/Kawasan Suci dengan fungsinya sebagai simbol alam semesta, sarana pemujaan, Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya/prabhawa-Nya, tempat pemujaan roh suci Leluhur/Dewa Pitara, tempat mengembangkan seni budaya masyarakat, sarana untuk membina saradha umat dan juga tempat pelaksanaan yadnya. Karena itu wajib dijaga kesucian, kesakralan, dan kelestariannya. Di satu sisi yang lain pura juga sebagai Obyek Wisata, yang secara tidak langsung berorientasi Profitable berarti ada unsur Materialistis karena untuk memasuki kawasan pura yang menjadi obyek wisata setiap orang baik pengunjung lokal, domestik/nusantara atau asing/mancanegara dikenakan donasi atau tiket masuk seharga/sebesar tertentu. Tentu saja tiket masuk/donasi yang dipungut kepada pengunjung sebagian besar akan diserahkan kepada pengelola pura atau kepada pemerintah daerah dimana pura tersebut berada juga digunakan untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan pura sebagai obyek wisata seperti membeli keperluan fasilitas pura sehingga pengunjung merasa nyaman selama kunjungannya. Sebagian besar pura-pura di Bali dibuka dan dijadikan obyek wisata. Ini terlihat jelas dari nama yang tertulis di depan pura seperti “Obyek Wisata Pura…. “ Bahkan kita bisa melihat setiap hari pura-pura sepanjang jalur Batubulan, Tegaltamu,  Batuan, Ubud, Bedulu, Tampaksiring dan daerah lainnya hampir setiap hari dikunjungi oleh wisatawan. Ada pura keluarga yang terletak di rumah masyarakat, pura subak yang di sawah, pura Desa/Teritorial, pura Umum/Kahyangan Jagat dan lainnya. Semua pura tersebut memungut donasi atau menerapkan tiket masuk untuk memasuki areal pura. Dari sini kita melihat bahwa pura dijadikan sebagai obyek pendapatan/penghasilan oleh masyarakat, pengemong pura atau badan pengelola pura. Hal ini menjadikan pengunjung mempunyai pemikiran bahwa saya sudah membayar senilai tertentu dan saya harus mendapatkan juga nilai tersebut selama kunjungan di obyek wisata pura tersebut. Wisatawan/pengunjung yang datang ke Bali dari berbagai daerah di Indonesia dan dari berbagai negara yang memiliki karakternya masing-masing. Sering terjadi miskomunikasi antara pengunjung dan pengelola pura, tidak sesuai harapan pengunjung, misalnya tidak diperbolehkan masuk ke areal jeroan untuk sembahyang, walaupun sudah ada himbauan atau pengumuman untuk para pengunjung. Tidak boleh memasuki areal pura karena datang bulan dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih parah lagi akhir-akhir ini beberapa pura mengalami keletehan karena sikap dan prilaku pengunjung seperti duduk di atas altar, berperilaku tidak senonoh dan sejenisnya hanya untuk budaya narcisme, berfoto selfie di depan umat yang lagi khusuk sembahyang. Sungguh ironis dan  bertolak belakang dengan fungsi pura sebagai Kawasan suci yang disakralkan.

Struktur dan desain pura terbagi menjadi tiga bagian, merupakan konsepsi “Kosmos”, alam semesta, yaitu halaman luar (Jaba Pisan/Bhur Loka), halaman tengah (Jaba Tengah/Bhuwah Loka), dan halaman dalam (Jeroan/Swah Loka). Serta untuk memasuki pura sampai ke halaman terdalam/Jeroan kita melewati beberapa gerbang seperti Candi Bentar, Kori Agung/Candi Kurung yang bermakna untuk “Ngereret Sarira,” bersihkan jasmani dan rohani atau tinggalkan keduniawan dan sifat sifat bhuta sebelum sampai di Jeroan. Artinya pikiran, etika, prilaku/Tri Kaya Parisudha seorang pengunjung maupun umat yang berkeinginan sembahyang harus sudah bersih, suci sehingga perilaku, tindakan yang tidak senonoh seharusnya tidak perlu terjadi.

Idealisme, gagasan, ide, visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, untuk mewujudkan kehidupan krama dan gumi Bali yang sejahtera dan bahagia. Artinya idealisme ini dimaksudkan untuk menata pembangunan Bali secara fundamental dan komprehensip pada tiga aspek utama yaitu Alam, Krama, dan Kebudayaan Bali berdasarkan Tri Hita Karana. Dengan dikeluarkannya Pergub no 24, 25 dan 26 tanggal 10 Juli 2020 seperti tertera di atas, pemerintah Bali ingin mengembalikan fungsi utama dari pura itu sendiri, baik yang belum tersentuh pariwisata maupun yang sudah menjadi obyek wisata, sebagai Kawasan Suci yang harus dijaga kesuciannya, kesakralannya dan kelestariannya.

Pura-pura tersebut bagaikan satu mata uang yang mempunyai dua sisi/dualisme fungsi, yakni berfungsi spiritualitas tetapi juga tidak terlepas dari materialitas tetapi yang utama tetap nilainya satu, yakni pura adalah benteng pulau Bali yang berguna untuk membentengi umat Hindu agar tetap berpegang pada ajaran dan kekuatan suci Ida Sang Hyang Widhi dan tidak terpengaruh oleh ajaran agama lain.  OM SWAHA