Gugatan Eks Anggota DPRD Salah Objek, Majelis Hakim Tidak Bisa Masuk Lokasi Saat Sidang PS | Bali Tribune
Diposting : 13 July 2023 21:58
RAY - Bali Tribune
Bali Tribune / Harmaini Idris Hasibuan, SH (kiri) saat sidang pemeriksaan setempat pada Jumat (7/7) lalu.

balitribune.co.id | Denpasar - Ada yang menarik dari sidang Pemeriksaan Setempat (PS) bersama hakim majelis dan panitera Pengadilan Negeri (PN) Denpasar atas 6 bidang tanah yang digugat oleh penggugat mantan anggota DPRD, Made Dharma terhadap I Made Tarip Widarta pada Jumat (7/7).

Majelis hakim yang menyidangkan dan memeriksa perkara tidak bisa memasuki area tanah Hotel Kayumanis karena antara isi gugatan Made Dharma beda objek Nomor SHM dengan objek yang diperiksa pada saat sidang PS.

Tim kuasa hukum tergugat dari H2B Law Office, Harmaini Idris Hasibuan, SH  bersama Kombes Pol (Purn) Ketut Arta, SH dan AKBP (Purn) I Ketut Arianta, SH menjelaskan, objek yang ketiga yang diperiksa pada saat sidang PS dimana perihal sertifikat hak milik Nomor 8294 Kelurahan Jimbaran berasal dari Pipil Nomor 1331 luas 11.850 m2, atas nama I Made Tarip Widarta yang diserahkan langsung oleh I Wayan Sadra kepada I Made Tarip Widarta pada tanggal 4 Mei 1984. Namun sebelumnya berasal dari Pipil Nomor 1228, Persil Nomor 78 Kelas II luas 11.850 m2 atas nama I Wayan Sadra. Bukan tanah yang berasal dari I Riyeg, tapi I Wayan Sadra membeli sendiri kepada I Gusti Made Sukarsa seharga Rp23 juta tanggal 27 Oktober 1979.

“Ini merupakan objek dari Pasal 4 surat pernyataan I Made Dharma dkk yang mengakui sebagai milik I Made Tarip Widarta dkk sebagai ahli waris yang sah. Dari I Riyeg dan I Wayan Sadra, dan Made Dharma sendiri sesuai Surat Pernyataan dan Perjanjian Pengosongan bulan Juli 2001 Made Dharma, Made Patra dan Ketut Senta sudah mengakui hanya sebagai penggarap atas tanah-tanah yang sekarang menjadi objek sengketa” ungkap Harmaini Hasibuan.

Dijelaskan oleh salah satu tim hukum H2B Law Office, Ketut Arta bahwa, sertifikat hak milik Nomor 8293 Kelurahan Jimbaran luas 31.800 m2 berasal dari Pipil Nomor 1330 atas nama I Wayan Terek tanggal 4 Mei 1984 setelah diserahkan langsung oleh I Wayan Sadra (anak I Wayan Riyeg) kepada I Wayan Terek sesuai bukti P-6 dan P-7. Sebelumnya berasal dari Pipil Nomor 500, Persil Nomor 78 Kelas II luas 31.800 m2 atas nama I Riyeg (alm).

“Gugatannya salah objek, memakai Nomor SHM 8291 atas nama Alex Armeintsah luas tanah 200 m2. Sehingga pada saat sidang pemeriksaan setempat tanggal 7 Juli 2023, Majelis Hakim tidak bisa memasuki area tanah karena beda objek. Semua objek gugatan salah letak,  salah pipil dan salah luasnya. Terutama Made Dharma tidak tahu nomor Sertifikat yang harusnya Nomor 8293 luasnya 31.800 m2. Tapi yang digugat Nomor 8291 luas 200 m2 atas nama Alex Armeintsah. Sehingga security hotel Kayumanis dan hotel Belmond melarang Hakim PN Denpasar masuk. Artinya, hakim tidak berani masuk karena takut merasa ikut salah gara-gara gugatan Made Darma penuh kesalahan dan kebohongan,” katanya.

Kuasa hukum Hotel Kayumanis, Ariyanto Hermawan, SH, MH yang dikonfirmasi Bali Tribune membenarkan bahwa objek yang digugat Made Dharma letaknya bukan di hotel Kayumanis. “Salah satu obyek gugatan dalam perkara yang diajukan Pak Made Dharma adalah SHM 8291 yang dalam Pemeriksaan Setempat atau PS, Hakim Majelis sudah meminta konfirmasi kepada Turut Tergugat III yaitu BPN Badung yang menjelaskan bahwa letak SHM 8291 bukan di lokasi hotel Kayumanis,” jawabnya.

Humas Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Wayan Suarta yang ditemui Bali Tribune di PN Denpasar membenarkan bahwa pada Pemeriksaan Setempat, Majelis Hakim tidak diperbolehkan masuk area hotel Kayumanis oleh petugas security hotel. “Iya, tidak diizinkan masuk oleh security. Itu menjadi pertimbangan majelis hakim untuk pengambilan keputusan nanti,” katanya.

Menurut Hasibuan, pimpinan Tim Hukum H2B Law Office, surat gugatan terlalu prematur. Bahwa dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh para penggugat tidak dapat diperiksa dan dibuktikan secara Perdata (eksepsi kompetensi absolut), dimana dalil-dalil para penggugat terkait dengan dugaan pemalsuan silsilah keluarga dan tindakan intimidatif merupakan tuduhan dengan unsur pidana yang sama sekali tidak terbukti dan juga tidak dapat dibuktikan di muka persidangan Perdata.

Terlebih lagi, tuduhan para penggugat tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat berupa putusan pidana tentang adanya pemalsuan silsilah keluarga, tindakan intimidasi dan fitnah (Pasal 263, 277 dan 310 KUHPidana) yang dituduhkan dilakukan oleh I Made Tarip Widarta, dkk tetapi secara serta merta Para Penggugat telah menghubungkannya dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dimana syarat-syarat sahnya perbuatan melawan hukum sama sekali belum dipenuhi oleh Para Penggugat.

"Artinya perbuatan materiil dalam PMH belum dibuktikan oleh para Penggugat dalam bentuk putusan Pengadilan Pidana. Akan tetapi para Penggugat sudah meminta ganti rugi dan minta diakui sebagai ahli waris dari I Wayan Riyeg (alm) yang merupakan kakek dan pewaris yang sah bagi para Tergugat sesuai hukum adat Bali. Dalam praktik hukum acara di Indonesia, ketika perkara pidana yang dituduhkan tersebut diputus dan memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde), barulah timbul hak untuk meminta ganti rugi atas tindakan pidana tersebut dengan tuntutan Perbuatan Melawan Hukum, dengan menjadikan putusan perkara pidana sebagai salah satu bukti akta autentik yang dapat memberikan keyakinan kepada Majelis Hakim pada perkara Perdata penuntutan ganti rugi nantinya," ujarnya.

Para Penggugat yang mendalilkan dirinya sebagai ahli waris I Riyeg (alm.), tetapi tidak dapat membuktikan sama sekali bahwa para Penggugat belum memenuhi dan tidak melaksanakan 3 (tiga) jenis tanggung jawab (swadharma) yang meliputi swadharma terhadap Parahyangan, Pawongan dan Palemahan sebagai syarat sahnya ahli waris yang diatur dalam Hukum Adat Bali. Begitu juga, alasan hukum dari para Penggugat untuk mengaitkan warisan I Riyeg (alm) berpindah menjadi milik dan warisan atas tanah obyek sengketa dalam perkara a quo dengan menyatakan bahwa perkawinan antara I Riyeg (alm) dengan Ni Wayan Rumpeng (alm) dilaksanakan dengan perkawinan nyentana.

Padahal sesungguhnya jika para Penggugat mengetahui dan menyadari bahwa dalil yang dipakai oleh para Penggugat untuk mengambil alih tanah warisan atau obyek tanah sengketa dalam perkara a quo dengan memakai dalil adanya perkawinan nyentana adalah suatu dalil yang mustahil dikarenakan syarat sahnya suatu perkawinan nyentana haruslah Ni Wayan Rumpeng anak tunggal atau tidak memiliki saudara.  Faktanya, Ni Wayan Rumpeng sesuai silsilah Keluarga Penggugat yang dibuat oleh para Penggugat menjelaskan bahwa Ni Wayan Rumpeng (alm.) bukan anak tunggal, tetapi memiliki 4 (empat) saudara kandung laki-laki, yaitu I Wayan Teteng, I Made Griyeng, I Nyoman Wirak dan I Ketut Rangkang. Sehingga hal ini bertentangan makna dari perkawinan nyentana dilakukan untuk menghindari agar warisan keluarga tidak terputus atau tidak lari kemana-mana.

"Dikarenakan lingkungan peradilan pidana sedang memeriksa perkara dengan perkara yang sama dengan gugatan yang diajukan oleh para Penggugat dalam perkara a quo, agar tuduhan para Penggugat dapat diperiksa dan diadili secara tepat. Sudah sepatutnya perkara a quo ditangguhkan sampai dengan keluar putusan pengadilan dalam perkara pidana yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)," tegasnya.

Dikatakan Hasibuan, penundaan pemeriksaan perdata dalam perkara a quo berdasarkan Pasal 29 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie atau biasa disebut Peraturan Umum Mengenai Perundangan-Undangan Untuk Indonesia yang berbunyi "selama dalam proses penuntutan Pidana, ditundalah tuntutan Perdata mengenai ganti-rugi yang sedang ditangani oleh Hakim Perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh Undang-Undang”.

Sementara Pasal 30 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie atau biasa disebut Peraturan Umum Mengenai Perundangan-Undangan Untuk Indonesia yang berbunyi "tuntutan pidana tidak dapat dihentikan atau ditunda dengan mengingat adanya Gugatan Perdata, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Undang-Undang”. Sehingga menurut Hasibuan, sangatlah tidak berdasar hukum apabila perkara a quo dilanjutkan atau diputus oleh Majelis Hakim. "Tentu akan menjadi preseden buruk kedepan, mengingat masyarakat akan menganggap seluruh peristiwa pidana tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya dalam pengadilan Kamar Pidana," pungkasnya.