Diposting : 13 August 2018 20:58
Agung Samudra - Bali Tribune
BALI TRIBUNE - Sejak sepekan belakangan ini harga telur ditingkat peternak menurun. Harga telur ukuran besar (TB) sebelumnya Rp1430 per butirnya turun Rp 1260 per butirnya. Di tengah turunnya harga telur justru harga pakan ayam naik.
Hal tersebut diungkapkan peternak ayam petelur, I Kade Budiarta, Minggu (12/8). Menurut Kadek Budiarta, menurunnya harga telur dikarenakan adanya intervesi pemerintah dalam bentuk oprasi pasar. Selain itu juga sudah ada peningkatan produksi telur dibebeberpa sentra peternak ayam petelur. “Oprasi pasar yang dilakukan pemerintah serta mulai meningkatnya produksi menyebabkan harga telur turun,” ujar peternak telur asal Dusun Buwungan, Desa Tiga, Susut ini.
Di tengah turunnya harga telur justru harga pakan naik, seperti halnya jenis pakan Cosentrat yang sebelumnya harganya Rp 6675 per kilonya naik menjadi Rp 6975 per kilonya. Begitu juga untuk jagung yang dulu harganya Rp 3900 per kilonya naik menjadi Rp 4400 per kilonya. “Kebijakan pemerintah terakit pembatasan tonase juga memberatkan peternak, dulunya kami bisa mendatangkan pakan dari Surabaya untuk satu kali angkut seberat 11 ton namun sekarang hanya diperbolehkan 8 ton dengan ongkos angkut sama Rp 2,5 juta,” ujar Kadek Budiarta.
Papar Kadek Budiarta harga telur di Indonesia termasuk murah ,bahkan harganya paling rendah di Asean Tenggara. Menurutnya, naiknya harga telor dikarenakan naiknya harga pokok produksi (HPP). “Naiknya harga telor bukan karena adanya permainan kartel tapi disebabkan meningkatnya HPP,” sebutnya.
Bebernya, harga pakan sangat sensitif dengan pergerkana nilai tukar dolar, pasalnya untuk bahan pakan masih didatangkan dari luar. “Untuk tepung daging, ikan, tulang harus import dari luar negeri,” ujar pria yang mengaku memelihara ayam petelur sebanyak 30 ribu ekor.
Dari total populasi ayam 30 ribu untuk rata- rata telur yang dihasilnya berkisar 24.000 butir per harinya. Ia menggap pelarangan penggunaan antibiotika tambahan atau antibiotic growth promotores (AGP) oleh pemerintah sangat tepat, karena berbicara masalah kesehatan . Memang pelarangan itu berdampak pada semakin meningkatnya biaya produksi. “Tanpa AGP perkembangan ayam khusunya ayam pedaging lebih lambat, kalau dengan AGP umur ayam 30 hari sudah bisa dipanen, sedangkan tanpa AGP umur ayam 40-45 hari baru bisa dipanen,” sebut Kade Budiarta.