Diposting : 6 September 2019 13:27
I Wayan Sudarma - Bali Tribune
Oleh Jro Mk.Sudarma SH
balitribune.co.id - Era abad XV-XVII, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau berpandangan tentang kontrak sosial (social contract)yang kemudian menjadi dasar terbentuknya sebuah negara.
Guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera, melalui kontrak sosial lahirlah sebuah lembaga pengatur negara yang disebut Pemerintah.Pemerintah berkuasa penuh atas kehidupan rakyatnya,salah satunya terjabarkan pada, kekuasaan untuk menaikkan pajak.
Secara teori, pajak diperuntukkan bagi pemenuhan hak-hak warga negara seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan dan sumber utama pemerintah untuk membayar pegawai negeri sipil, polisi, tentara, dan sebagainya.
Pandangan pemerintah, kenaikkan pajak diberlakukan karena semakin kompleksnya kebutuhan pemerintah dalam memenuhi hak-hak warga negara.
Pertanyaannya adalah, benarkah seperti itu ? tidakkah kebijakan menaikkan pajak adalah kamuflase oknum pejabat untuk memuluskan niat korupsinya?
Sebutlah, kebijakan Pemerintah Kabupaten Buleleng atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berimplikasi pada tingginya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Didasarkan atas Perda Kabupaten Buleleng Nomor 14 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Perda Kabupaten Buleleng Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Pemerintah di bekas Ibukota Provinsi Sunda Kecil ini menaikkan PBB dan NJOP hingga 800 persen.
Sebagai contoh, sebidang tanah dengan Nomor Objek Pajak : 51.08.080.013.017-0010.0 yang berlokasi di Desa Tajun Kecamatan Kubutambahan. Sebelum dipecah menjadi tiga bidang, objek ini masuk kategori kelas 085 dengan NJOP per-meter persegi adalah Rp 20.000.
Untuk keperluan peralihan hak atas tanah, objek tersebut kemudian dipecah menjadi tiga, yakni NOP : 51.08.080.013.017-0052.0 selanjutnya NOP : 51.08.080.013.017-0053.0 dan NOP : 51.08.080.013.017-0010.0.
Atas dasar Perda Kabupaten Buleleng Nomor 14 Tahun 2018, tertera dalam SPPT 2019, NJOP per-meter persegi objek dimaksud berubah dari Rp 20.000 permeter persegi menjadi Rp 160.000 permeter persegi.
Sementara PBB perbidang tanahnya adalah Rp 288.000 yang kemudian melalui proses di BKAD Kabupaten Buleleng diturunkan menjadi Rp 144.000 untuk tiap bidangnya.
Rupanya, kenaikan PBB serta NJOP yang berimplikasi pada tingginya BPHTP membuka celah baru bagi sejumlah oknum pejabat serta pegawai kontrak di lingkungan Pemkab Buleleng untuk berbuat KKN.
Modusnya sangatlah sederhana, bermula dari protes atas kenaikan pajak oleh Pemkab Buleleng disikapi dengan mengeluarkan sebuah kebijakan.
Kebijakan dimaksud adalah, bagi masyarakat yang merasa keberatan atas kenaikan pajak dimaksud dipersilahkan mengajukan keberatan ataupun meminta penurunan pajak ke kantor Badan Keuangan Daerah (BKD) Kabupaten Buleleng.
Mengacu pada ketentuan yang berlaku di kantor BKD Buleleng prosesnya adalah, berkas pengajuan keberatan dan permohonan penurunan pajak yang telah dinyatakan lengkap dicatat (diregistrasi) oleh petugas di loket 8 kantor tersebut. Dan, kepada pemohon diberikan tanda terima lengkap dengan nomor registrasi serta tanda tangan petugas.
Berkas tersebut kemudian dicatat pada buku registrasi untuk selanjutnya melalui proses pengecekan lapangan, sidang dan terakhir dibuatkan SK oleh Kepala BKD. Adapun SK tersebut berisikan tentang dikabulkan atau tidaknya permohonan dimaksud. Dan, sesuai ketentuan, keseluruhan proses membutuhkan waktu sekurang-kurangnya tiga minggu.
Rupanya, proses ini oleh oknum pegawai kontrak maupun PNS di kantor tersebut dimanfaatkan untuk memuluskan niatnya dengan cara melawan hukum ataupun menyalahgunakan kewenangan berupaya mencari keuntungan yang berdampak pada berkurang atau hilangnya pendapatan daerah dan negara dari sektor pendapatan BPHTB.
Sebagai contoh, pengajuan keberatan atau permohonan penurunan pajak atas objek tanah di sebuah desa di Kecamatan Sawan Buleleng. Sesuai NJOP semula, BPHTB tanah tersebut adalah nilai Rp 90 juta.
Disinyalir, berkat bantuan oknum pegawai di intansi itu, BPHTB yang semula Rp 90 juta berubah menjadi Rp 30 juta. Dan, oleh oknum dimaksud, nilai BPHTB yang disetor ke Kas Daerah adalah Rp 20 juta sehingga ada selisih sebesar Rp 10 juta.
Ada sejumlah kejanggalan pada proses dimaksud, selain memakan waktu kurang dari seminggu, terhitung April-Agustus 2019 berkas dimaksud tidak tercatat dalam buku registrasi pengajuan keberatan dan permohonan penurunan pajak. Lantas kemana raibnya selisih setoran BPHTB sebesar Rp 10 juta?
Melalui sebuah postingan di media sosial, persoalan itu kemudian disampaikan ke publik. Hasilnya, unit Tipikor Satreskrim Polres Buleleng pun melakukan penyelidikan dengan cara mengumpulan data dan informasi terkait dugaan KKN di kantor BKD Buleleng.
Terkait upaya pihak kepolisian dimaksud dibenarkan oleh Sekretaris BKD Buleleng, Ni Made Susi Adnyani, Kamis (29/8) silam. Bahkan, Ia mengakui, sejumlah data dan informasi telah diminta oleh Tim Tipikor Polres Buleleng yang berjumlah 4 orang itu.
Kilas balik, korupsi yang bermula dari pajak menjadikan mantan Bupati dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Buleleng mendekam di balik terali besi. Apakah, persoalan pajak ini kembali mengantarkan sejumlah pejabat Den Bukit berstatus Terpidana, kita tunggu saja. (u)