balitribune.co.id | Denpasar - Sekaa Gong Eka Dharma Swara, Desa Adat Yangbatu, Duta Kota Denpasar mementaskan Topeng Prembon “Hyangbatu”, Rabu (6/7) lalu. Pementasan ini menceritakan asal usul nama Desa Yangbatu bertempat di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar.
Cerita diawali dengan Perjalanan napak tilas Raja Gelgel, Ida Dalem Waturenggong menyibak Bandana Negara dengan tujuan menelusuri keberadaan Pasraman Ida Brahmana Keling. Perjalanan tersebut dilaksanakan untuk mengingat jasa-jasa Ida Brahmana Keling yang sudah menyukseskan atau menyempurnakan pelaksanaan Yadnya Nangluk Merana di Pura Agung Besakih.
Kehadiran Ida Dalem Waturenggong di Bandana Negara disambut oleh para patih dan masyarakat. Dalam perjalanannya, atas permohonan Bendesa Hyangbatu, sebelum melanjutkan perjalanan ke pasraman, sebaiknya Ida Dalem Waturenggong memohon keselamatan di Pura Dalem Hyangbatu yang telah dibangun sejak pemerintahan Raja Dalem Watu Ireng.
Di sanalah Ida Dalem Waturenggong melakukan Hyang-Hyang memohon keselamatan. Tiba-tiba muncul kepulan asap dari sebuah batu yang dibarengi dengan keluarnya air suci. Hingga kini, wilayah tersebut dikenal dengan Desa Adat Yangbatu.
Koordinator pementasan, I Wayan Agus Yuliawan (27) mengatakan penampilan Topeng Prembon “Hyangbatu” sukses menyedot animo penonton. Terlepas dari kisah perjalanan leluhur di masa lampau, bagi Yuliawan, poin terpenting dari pementasan ini adalah keberhasilan meregenerasi seniman topeng prembon.
Sebelum tiba pada penampilan pamungkas, di awal Sanggar Eka Dharma Swara menyuguhkan Tabuh Telu Kreasi “Swaraning Ngembat”. Tabuh ini terinspirasi dari perjalan kehidupan manusia dari fase lahir, anak-anak, dewasa, tua kemudian meninggal dunia. Ini proses alami yang terjadi pada setiap manusia.
Sehingga, katanya menambahkan, jika diimplementasikan ke dalam tehnik permainan gong kebyar, masa anak-anak disimbolkan dengan nada tinggi. Sedangkan di masa tua diibaratkan dengan permainan nada rendah.
“Dari penggambaran tersebut, penata terinspirasi untuk menjadikan semangat heroik perjalanan kehidupan ini menjadi sebuah karya Karawitan Tabuh Telu Lelambatan Kreasi dengan menggunakan Tabuh Telu Gajah Nongklang sebagai bantang, dan tidak terlepas dari uger-uger Tabuh Telu yang sudah ada, seperti Kawitan, Geginem, Bebaturan, Pangawak, Pangecet, dan Pakaad,” imbuhnya.
Muda-mudi Desa Yangbatu ini juga menampilkan Tari Topeng Keras dan Topeng Tua. Topeng Keras adalah tarian yang menggambarkan sosok mahapatih kerajaan. Gerakannya yang energik dipadukan dengan penokohan topeng yang khas memberikan penjiwaan terhadap sosok seseorang yang berwibawa.
Sementara, tari topeng tua merupakan sebuah tari topeng Bali dengan mengambil penokohan lelaki tua. Dimana, tarian ini hampir secara utuh menampilkan gerak gerik dan ciri-ciri seorang lelaku tua. Mulai dari jalanya yang lambat, badan yang agak membungkuk, serta kebiasaan lainya.
Kedua tarian ini biasanya ditampilkan sebagai pembuka (penglembar) dari pertunjukan drama tari topeng, dilakukan dengan penekanan pada penguasaan terhadap jalinan wirasa (olah rasa) dan wiraga (olah tubuh) yang didukung oleh kesadaran kepahamannya.
Yuliawan mengatakan jumlah seniman yang terlibat dalam pementasan yaitu 46 orang, dengan rincian 7 penari, 30 penabuh, serta 9 pembina. Ia mengaku persiapan dilakukan sejak akhir Februari atau kurang lebih selama 3 bulan. Persiapan pun diakuinya cukup panjang dan memakan waktu, karena seniman rata-rata berusia muda.
Sebagai kesenian klasik, Yuliawan mengaku sempat khawatir jika kesenian satu ini bakal ditinggalkan kaum milenial. Lantaran Ia melihat minimnya ketertarikan anak muda pada Topeng Prembon.
Namun dengan upaya maksimal, pihaknya berhasil merekrut seniman-seniman muda usia rata-rata 20 tahun. "Merekalah pemegang tongkat estafet topeng prembon ini” pungkas Yuliawan.