
balitribune.co.id | Kita sering berpikir bahwa hukum adalah sesuatu yang sulit, rumit, penuh istilah Latin, dan bahasanya terkadang penuh tafsir, hanya bisa dimengerti oleh hakim dan pengacara. Hukum negara bersifat top down lahir dari kebijakan politik dan kekuasaan. Akan tetapi, hukum yang hidup di Bali yang lumrah disebut awig-awig desa adat, terlahir dari masyarakat (krama adat) dan digunakan oleh masyarakat adat sendiri tanpa intevensi pemerintah dan bersifat arus bawah (botton up). Hukum adat di Bali lahir dan hidup di tengah masyarakat, dibicarakan serta diputuskan di balai paruman adat, disepakati dan ditaati bersama. Hukum di Bali namanya awig-awig desa adat yang lahir dari budaya dan tradisi adat, dijalankan sebagai hukum, dan dijaga kesakralannya sebagai marwah hukum adat.
Awig-awig desa adat bukan produk politik apalagi produk kekuasaan. Ia tidak dicetak di Lembaran Negara tetapi diakui oleh negara karena awig-awig tetap menjujung nilai-nilai Pancasila dan tunduk dengan UUD 1945. Bagi krama desa adat di Bali, awig-awig lebih ditaati daripada undang-undang karena dalam hukum adat “awig-awig” ada sangsi sosial yang melekat. Mengapa? Karena ia bukan hanya soal sangsi tetapi aturan awig-awig adalah wajah dari budaya hukum sebagai nilai sosial bagi karma Bali . hukum adat konsekuensinya lebih bersifat kolektif kolegial bukan hanya personal seperti halnya hukum negara sangsinya bersifat personal. Awig-awig desa adat sebagai payung hukum dilandasi konsep Tri Hita Karana dan dilahirkan bersumber dari cipta, rasa, dan karsa. Awig-awig desa adat mengatur tata-titi kehidupan masyarakat yang berada di Bali baik sebagai karma mipil, karma tamiu atau tamiu. Hukum adat yang disebut awig-awig bukan mengatur persoalan agama tetapi persoalan agama “Hindu” yang ada di Bali harus tunduk pada awig-awig desa adat setempat. Awig-awig desa adat dilandasi kuat oleh konsep Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan manusia (pawongannya), hubungan manusia dengan Tuhannya (Prahyangannya) dan hubungan manusia dengan lingkungannya (Palemahannya). Konsep Tri Hita Karana ini sebagai cerminan budaya hukum adat di masyarakat Bali. Hukum yang lahir dari manusia, dijalankan untuk mengatur manusia, dan dijaga oleh rasa kemanusiaan sebagai filsafat hukumnya. Hukum adat di Bali mengatur tatanan masyarakat adat yang ada dan tinggal di tanah Bali apakah sebagai krama mipil, karma tamiu dan atau tamiu wajib hukumnya tunduk dan metaati hukum adat (awig-awig). Awig-awig bukan hukum agama tetapi dalam awig-awig diatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan dalam ikatan tempat suci yang dinamakan pura khayangan tiga. Jangan dikaburkan bahwa awig-awig desa adat mengatur orang beragama di Bali tetapi dalam hukum adat juga ada mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Hukum desa adat di Bali mengatur tentang siapapun yang tinggal di Bali wajib tunduk dan taat dengan hukum adat yang dituangkan dalam awig-awig sebagai marwah desa adat.
Berbicara “budaya hukum”, sebenarnya berbicara sikap terhadap hukum itu sendiri. Apakah hukum itu terasa adil? Apakah ia hadir untuk menyalakan keadilan hidup sehari-hari? Di banyak tempat, hukum hadir seperti bayangan: hanya muncul ketika ada masalah. Tapi hukum adat di Bali, hidup berdampingan dengan kehidupan sehari-hari. Awig-awig desa adat tidak hanya mengatur soal pelanggaran, tapi juga pernikahan, tata ruang, upacara, dan gotong royong. Ia tidak berdiri sendiri. Ia bagian dari sistem nilai, sistem budaya yang masih dihormati betul sampai seat ini. Karena itu, awig-awig tidak lahir di ruang kekuasaan atau di ruang politik, tapi di tengah masyarakat yang mempunyai keguyuban dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Hukum adat hasil paruman krama, disepakati krama, dan diselaraskan sesuai dengan tuntutan krama di paruman juga. Hukum yang mengatur seperti ini bagi ahli hukum disebut sebagai living law hukum yang tumbuh bersama masyarakat. Akan tetapi, tak bisa dimungkiri, hukum adat “awig-awig” sering berada di ruang sempit antara pengakuan dan penolakan bahkan kadang-kadang dibenturkan dengan hukum negara. Konstitusi memang mengakui hukum adat, selama masih hidup dan sesuai prinsip hukum negara yang didasari oleh Pancasila dan UUD 1945. Tapi dalam praktiknya, hukum negara sering memposisikan hukum adat sebagai 'tambahan'. Valid kalau tidak bertentangan. Padahal, dalam beberapa kasus, masyarakat justru merasa lebih adil dan mengedepankan budaya hukum ketika sengketa diselesaikan secara adat. Bukan karena awig-awig lebih “tepat hukum”, tapi karena ia lebih “tepat rasa”. Ia mempertimbangkan hubungan sosial, reputasi keluarga, dan keharmonisan desa karena konseskuensi bersifat kolektif kolegial.
Akhir-akhir ini, awig-awig laksana pohon tua yang berdiri angkuh di tengah badai, namun mulai digerogoti angin zaman. Internet mengalir seperti sungai tanpa tepi, membawa serta arus pariwisata, urbanisasi, dan migrasi yang perlahan-lahan menggoyahkan akar-akar tradisi desa adat. Anak-anak muda yang tumbuh dalam gemerlap layar dan bisikan algoritma, mulai memandang awig-awig sebagai kitab kuno yang berdebu dipandang kolot, dianggap usang, bahkan dituding sebagai penghalang kemajuan. Sungguh ironis, ketika pagar-pagar nilai yang dahulu menjagai kehormatan kini dituding sebagai penjara. Mari kita duduk sejenak dalam keheningan, merenung di tengah gemuruh dunia. Sebab sejatinya, masyarakat yang luhur tak pernah memutus tali warisan. Di mana adat masih berdiri tegak, hukum berjalan seperti tarian yang anggun, teratur, indah, dan penuh makna. Namun ketika adat ditinggalkan, maka peradaban pun kehilangan nadinya, dan di sanalah kejahatan tumbuh seperti lumut di batu yang tak lagi disentuh cahaya. Jangan sampai sejarah berulang “ sandiakaling Bali” ini tidak boleh terjadi.
Ada desa yang mulai menyurati awig-awig mereka menuliskannya secara sistematis agar bisa dipahami dan dijadikan acuan. Ini langkah baik, tapi juga berisiko. Ketika hukum adat dibekukan dalam dokumen, ia bisa kehilangan sifat alaminya yang lentur. Di sisi lain, tanpa dokumentasi, sulit bagi hukum nasional untuk mengakuinya sebagai sistem hukum resmi. Pemerintah sebenarnya sudah membuka ruang melalui Perda 4 2019 dan pembentukan Dinas Adat (Dinas PMA) maka desa adat diakui sebagai entitas hukum yang layak digunakan. Lewat Peraturan Mahkamah Agung, mediasi berbasis hukum adat bisa digunakan di pengadilan. Tapi pengakuan ini masih setengah hati. Di banyak tempat, aparat masih menganggap hukum adat sekadar “aturan kampung”.jangan sampai awig-awig dilahirkan dari politik kekuasaan. Siapa yang menyusun? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang disingkirkan? Dalam beberapa kasus, awig-awig dijadikan alat oleh elit desa adat untuk mempertahankan status quo atau mengecualikan kelompok tertentu. Hal ini harus diantisipasi agar jangan hokum adat menjadi komoditas politik.
Karena itu, meski kita menghormati hukum adat sebagai kearifan lokal yang menjungjung tinggi budaya hukum. Nilai-nilai adat tidak boleh menjadi tameng untuk praktik diskriminatif atau ketimpangan kekuasaan. Hukum adat harus dibuka untuk perbaikan, bukan disakralkan sebagai pusaka. Hokum adat yang ada di Bali tidak harus dipaksa sama satu sama lain tetapi memiliki tujuan yang sama mengatur masyarakat yang ada di Bali. Negara tidak boleh intervensi tetapi tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai payung hukum negara. Negara tidak boleh memaksakan satu bentuk hukum untuk semua konteks. Apa yang adil di Jakarta belum tentu adil di Bali. Apa yang adil di tanah jawa belum tentu adil di tanah Bali.
Lalu apa solusinya? Jawaban bukanlah subordinasi hukum adat ke hukum negara, atau sebaliknya. Hal yang kita butuhkan adalah sinergi dua sistem hukum dengan saling menghormati, bukan saling meniadakan agtar melahirkan peradaban hukum kemanusiaan. Beberapa langkah konkret bisa dilakukan agar tercipta sesuai harapan sebagai berikut;
Pertama, penguatan lembaga adat agar lebih transparan, inklusif, dan akuntabel.
Kedua, Pendidikan hukum berbasis budaya, agar generasi muda tidak asing dengan awig-awig. Ketiga Dialog antara aparat negara dan prajuru/lembaga adat, agar saling memahami cara kerja masing-masing. Keempat Regulasi nasional yang memberi ruang aktualisasi hukum adat, bukan sekadar pengakuan simbolik. Dalam awig-awig, kita belajar bahwa hukum tidak harus datang dari atas. Ia bisa tumbuh dari bawah, dari ruang hidup, dari pergaulan keseharian, dari rasa malu, dan dari permasalahan yang muncul. Hukum seperti ini punya nyawa. Ia tidak hanya mengatur, tapi juga merawat. Ia bukan alat kontrol, tapi alat menjalin keharmonian.
Lalu, ke mana kita harus melangkah? Solusi bukanlah menjadikan hukum adat sekadar bayang-bayang hukum negara, atau sebaliknya. Kita tidak membutuhkan dominasi, melainkan simfoni dua sistem hukum yang bersuara dalam harmoni, saling menghargai tanpa meniadakan. Ada jalan-jalan terang yang bisa kita tempuh agar cita-cita bersama tak tinggal utopia. Pertama, memperkuat lembaga adat agar tak lagi tertutup kabut eksklusivitas ia harus menjadi ruang yang transparan, inklusif, dan akuntabel, tempat kepercayaan publik bertumbuh. Kedua, menanamkan pendidikan hukum berbasis budaya, agar generasi muda tak tercerabut dari akar, dan awig-awig tak terdengar asing di telinga mereka yang tumbuh dalam dunia digital. Ketiga, mendorong dialog setara antara aparat negara dan pemangku adat bukan sebagai atasan dan bawahan, melainkan sebagai dua penjaga nilai yang saling belajar dan memahami irama masing-masing. Keempat, menyusun regulasi nasional yang memberi ruang hidup bagi hukum adat bukan sekadar pengakuan di atas kertas, tapi kesempatan untuk benar-benar bernapas dan bertumbuh dalam ruang hukum yang lebih luas. Sebab dalam awig-awig, kita diajari bahwa hukum bukan menara gading yang dibangun dari langit, melainkan menara api yang visa members nyala kebermanfaatan bagi masyarakat adat. Hukum ada adalah akar yang tumbuh dari tanah dari pergaulan harian, dari rasa malu, dari rasa hormat, dari kebiasaan yang menjelma menjadi tata kehidupan beradat dan berbudaya. Hukum semacam ini bukan sekadar alat kendali ia adalah pelindung, penjaga, perawat. Ia tidak hanya mengatur kehidupan, tapi ikut hidup di dalamnya.