BALI TRIBUNE - Enam bulan sudah penataan larangan parkir di badan jalan wilayah Ubud dilaksanakan. Namun sangat ironis, saat ini rambu lalulintas sudah terpasang, justru semangat aparatur mengendor. Di sisi lain, para pengusaha dan warga Ubud berharap pemerintah melakukan meninjauan kembali, mengingat penataan parkir dinilai merugikan pengusaha lokal di kalangan menengah ke bawah.
Pantauan BALI TRIBUNE - , Senin (21/5), keberadaan rambu-rambu lalulintas yang baru, rupanya tidak membuat pelanggaran parkir menurun. Masyarakat seolah sengaja mengabaikan rambu-rambu llau lintas ini, dengan alasan pennatan palaerangan parkir hanya menguntungan beberapa pihak. “Sejak pelarangan parkir itu, usaha warung saya nyaris bangkrut. Wisatawan tidak bisa parkir, mneksi pake sepeda motor sekalupun. Banyak tamu langganan saya yang berkeluh dan akhirnya batal mampir,” terang salah seorang pengusaha warung makan/ resto kecil di Jalan Monkey Forest.
Disebutkan pula, jika penertiban larangan parkir yang tidak menguntungkan usaha masyarakat ini, tidak akan mendapat dukungan penuh. Karena itu, pihak berharap pemerintah mencari solusi atupun memberi kebijakan di sejumlah jalur tertentu, khususnya bagi pengendara sepeda motor. “Tidak laha mungkin tamu saya harus parkir di Canteral parkir yang jauah, hany untuk makan di waruang saya,” terangnya.
Kondisi yang sama juga dikeluhkan oleh pengusaha rumah makan di daearha pingiiraj spetau di jalan Sukma, Tebesaya, Ubud. Disebutkan, pemberlakukan satu arah yang hanya sebagian, membuat pengguna jalan kebingungan. Karena di dua ujung jalan tersebut berlaku dua arah, warga maupun wisatawan menjadi kebingungan untuk mencapai alamta yaang kebetulan letaknya di pertengahan jalan tersebut. “Setidaknya, kalau satu arah diberlakukan menyeluruh dari ujung ke ujung. Kalau sebagian begini dalam satu jalan yang satu arah, pasti membuat pengendara kebingungan,” ungkap salah seorang pengusaha home stay I Wayan Budi Sutama.
Ditemui terpisah, anggota DPRD Gianyar asal Padangtegal Ubud, Kadek Era Sukadana Era juga menggeleng-gelengkan kepala saat ditanya tentang larangan parkir di kawasan wisata Ubud. Era mengatakan sikap pemerintah hanya ketat saat awal uji coba, seiring protes wakga yang kini mulai berkeluh lantaran usahanya meredup akibat pelarangan parkir yang dinilai tanpa solusi itu. “Hangat-hangat tahi ayam, kii saat Rambu lalain sudah terpasang, apartsu terkait menghilang,” terangnya.
Kadek mengakau sangat pesimis program pemerintah ini akan terwujud, jika pelarangan parkir meruguikan usaha warga, khusunya masyarakat menengah ke bawah. Diisi lain, perubayhan sikap aparat yang mulai tidak konsisten. “Hingga kini pelanggaran tetap ada. Mungkin karen capek adu mulut, petugas terkadang melakukan pembiaran terhadap pelanggar,” ujarnya.
Atas kondisi ini, pihaknya berharap Pemkab Gianyar melakukan peninjauan terhadap larangan parkir ini. Sebab selama ini, berdasarkan pengamatan dan laporan yang diterimanya, terjadi penurunan kunjungan ke restauran maupun kios-kios penjaja suvenir khas Bali, yang berada di sisi jalan seputaran Ubud.
Kondisi tersebut menjadi ironi, lantaran berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) Gianyar, rata-rata tingkat okupansi hotel di Ubud, mencapai 60 persen hingga 70 persen. Disebutkaa, wisatawan kesulitan hanya untuk nyantai minuk kopi, lantaran tidak boleh parkir. “Kondisi ini juga harus dikaji pemerintah untuk mendapatkan solusi, tanpa mengabaikan lalu lintas. Jangan sampai lalu lintas lancar, wiastawan ramai, warga Ubud gigit jari,” tandasnya.