balitribune.co.id | Denpasar - Berdiri di atas lahan seluas 5 hektare, Atlas Beach Fest di Canggu, Berawa, Badung sebelumnya direncanakan menggunakan nama Hollywings. Namun karena ada kasus promosi kontroversial dan menjadi sorotan publik, akhirnya manajemen urung menggunakan nama Hollywings lantas mengubahnya dengan nama Atlas Bech Fest.
Keberadaan tempat hiburan yang konon memiliki outlet terbesar di Indonesia, kali ini mendapat sorotan Pemprov Bali lantaran diduga belum mengantongi beberapa izin. Hal ini diungkapkan Sekretaris Daerah Pemprov Bali Dewa Made Indra di sela menghadiri peluncuran Electric Vehicle Digital Services (EVDS) PLN sebagai salah satu platform layanan kendaraan listrik di Denpasar, Minggu (24/7).
“Seperti kita ketahui bersama Hollywings yang berubah jadi Atlas Beach Fest masih memiliki masalah hukum di daerah lain jadi kita Pemprov Bali harus mencermatinya secara hati-hati,” ucap Sekda Dewa Indra.
Menurutnya kenapa Atlas Beach Fest alias Hollywings harus dicermati dengan baik, supaya tidak ada masalah di kemudian hari. Jangan sampai timbul persepsi di daerah lain ada persoalan hukum, dihentikan operasionalnya, bahkan sampai pencabutan izin, kenapa di Bali bisa.
“Berangkat dari sinilah lantas pak gubernur menugaskan Dinas Perizinan dan Pariwisata untuk mempelajari kelengkapan izin Atlas Beach Fest, ini sedang kita pelajari bagaimana konteksnya dengan daerah lain,” tandasnya. Prinsipnya selama semuanya berjalan baik, tidak ada persoalan hukum harus dilayani dengan baik, tetapi harus tetap mencermati situasi yang berkembang.
Dewa Indra mengatakan, jika dibutuhkan Pemprov Bali akan memanggil manajemen Atlas Beach Fest untuk dimintai keterangan. “Nanti kita akan panggil mereka, jika temen-temen Dinas Perizinan dan Pariwisata butuh informasi, kita perlu pemahaman yang lengkap,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali yang membidangi Perekonomian dan Keuangan IGK Kresna Budi, yang dihubungi melalui selulernya menyampaikan, sebaiknya pihak manajemen Atlas Beach Fest sesegera mungkin melengkapi izin yang dibutuhkan, sembari berjalan.
“Sebetulnya ini momentum kebangkitan pariwisata Bali, namun kita juga tidak bisa membenarkan bila ada pelanggaran,” cetusnya.
Ia berharap pemerintah memfasilitasi apa yang dibutuhkan investor. Pihaknya di dewan juga tidak “ujug-ujug” datang ke Atlas Beach Fest alias Hollywings. “Kan Hollywings belum ada masalah, jadi belum datang ke dewan. Nanti kalau sudah ada masalah baru muncul,” sentil politisi asal Buleleng ini.
Kresna Budi juga menyatakan bagaimana investor itu nyaman berinvestasi di Bali. Pemerintah Provinsi Bali tentu sebagai birokrasi hanya menjalankan tugas, memastikan semua sesuai dengan aturan dan perundang-undangan. “Jangan sampai kelak justru jadi sorotan masyarakat,” ujarnya.
Komisi yang dipimpinnya tidak punya kapasitas mencari-cari masalah, namun jika diperlukan pihaknya bisa saja menjadi jembatan antara investor dan pemerintah.
Apa yang disampaikan Kresna Budi bukan tanpa sebab, pasalnya, selama ini selaku investor Manajemen Atlas Beach Fest alias Hollywings tak pernah sekalipun berdiskusi dengan Komisi II DPRD Provinsi Bali. Padahal pihaknya selalu membukan ruang diskusi.
“Mungkin mereka menganggap kita ndak ada, atau belum bermasalah,” cetusnya lagi. Seraya mengingatkan fungsi dari dewan yakni menjadi wakil masyarakat, yang bisa menjembatani sehingga investor juga bisa nyaman berinvestasi di Bali.