
Profesi nelayan masih digeluti ribuan kepala keluarga yang tinggal di pesisir Bali Selatan (Denpasar dan Badung). Mereka tetap bertahan di tengah desakan pengembangan sektor pariwisata dan persaingan dengan nelayan modern dari Pulau Jawa. Seperti apa potret kehidupan nelayan tradisional Bali Selatan? Berikut laporan wartawan Bali Tribune I Dewa Ketut Budiyasa,Ni Ketut Dewi Febrayani dan Ni Luh Nyoman Arya Sutri Ningsih yang dimuat bersambung. (red)
balitribune.co.id | Banyaknya kapal-kapal penangkap ikan dari luar Bali beroperasi di wilayah pesisir Selatan Pulau Bali mempersempit areal tangkapan nelayan lokal. Tidak hanya itu, hasil tangkapan kapal-kapal besar itu yang jumlahnya berton-ton menyebabkan jatuhnya harga ikan.
Hal itu dikeluhkan Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Samanjaya Tuban, Nyoman Sudiarta (57). Menurutnya, banyaknya kapal-kapal nelayan luar Bali beroperasi di wilayah Tuban menyebabkan jatuhnya harga ikan.
“Nelayan kecil merasa terganggu dengan keberadaan kapal-kapal besar, yang mengeruk hasil laut dan menyebabkan harga ikan menjadi anjlok. Tempat operasinya pun masih dekat perairan Kelan, jadi menggeser nelayan-nelayan tradisional sekitar,” ujarnya.
Keluhan serupa juga disampaikan Ketua Kelompok Nelayan Putra Bali Kedonganan, Made Gita Adnyana (50). Kapal-kapal besar yang berasal dari luar Bali menekan keberadaan nelayan local di Kedonganan.
Adnyana menambahkan, kapal-kapal besar yang berlabuh membawa ikan dalam jumlah banyak menjatuhkan harga ikan. Hasil tangkapan mereka berlipat-lipat dibandingkan hasil tangkapan nelayan local.
"Nelayan kecil seperti kami paling banyak mampu menghasilkan hitungan kwintal, sedangkan kapal-kapal besar itu datang ke Bali, sekali melaut bisa menangkap puluhan ton. Otomatis harga ikan anjlok sehingga penghasilan nelayan lokal semakin berkurang," terang Adnyana.
Disamping itu kapal-kapal besar tersebut mencari ikan masih dekat wilayah Kedonganan atau perairan Bali Selatan. Begitu juga dengan tangkapannya yang tidak diseleksi, sehingga ikan-ikan kecil pun ikut tertangkap.
"Kami ini sebenarnya bukan melarang, hanya berharap bisa dibatasi, agar nelayan lokal seperti kami tidak terpinggirkan," harapnya.
Sampai saat ini, Adnyana akui belum ada tindakan tegas dari pihak terkait. Pihaknya sempat mengajukan laporan ke Dinas Perikanan namun belum ada tindak lanjutnya.
“Kami tidak tahu lagi kewenangan siapa permasalahan ini. Yang pasti kapal-kapal itu mengganggu kenyamanan nelayan lokal dalam beraktivitas,” tegasnya.
Namun yang menarik, nelayan tradisional lokal bisa bekerjasama dengan nelayan tradisional dari luar Bali. Hal itu dilakoni anggota KUB Samanjaya bersama nelayan dari luar Bali.
“Dari sekian armada yang dimiliki anggota, sebagian besar dioperasikan oleh orang luar Bali.
Jadi untuk yang nelayan sampingan jukungnya disewakan, tapi untuk nelayan murni mereka melaut sendiri,” ujar Ketua KUB Samanjaya, Nyoman Sudiarta.
Sudiarta menjelaskan, jukung yang terparkir di sepanjang Pantai Kelan didominasi jukung dari luar Bali, diantaranya dari Pulau Jawa dan Madura.
“Jadi jika musim ikan, biasanya mereka datang ke sini, lalu kami membeli ikan hasil tangkapannya. Disebut "ngambek", jadi mereka datang, kami menyediakan bahan bakar dan membiayai mereka selama bersandar di Bali,” katanya.
Sudiarta menjelaskan Kelompok Nelayan Samanjaya memiliki koperasi, namun sejak Covid-19 melanda, aktivitas koperasi tidak berjalan. Disamping itu KUB Samanjaya juga memiliki usaha sampingan, kerjasama antara kelompok nelayan dengan pihak pengelola. Kerjasama ini telah berlangsung kurang lebih sepuluh tahun. Dari keuntungan pihak pengelola, Kelompok Nelayan Samanjaya memperoleh 10 persen bagian.
Alat tangkap yang masih digunakan seperti pancing manual dan modern, serta jaring. Sebagai hak dari anggota Kelompok Nelayan setiap 6 bulan sekali menjelang Galungan dibagikan sembako untuk seluruh anggota.
Bantuan Pemerintah
Semua KUB Nelayan di Serangan, Kedonganan dan Jimbaran sudah mendapat bantuan dari pemerintah, baik peralatan tangkap maupun pelatihan-pelatihan. Bantuan alat tangkap antara lain berupa jukung, mesin jukung dan jaring.
Untuk armada paling besar dimiliki Kelompok Samanjaya yaitu jukung kapasitas 30 GT.
“Begitu juga dengan penyuluhan dari pemerintah seperti keselamatan di laut, dan teknik menangkap ikan,” ujar Ketua KUB Samanjaya, Nyoman Sudiarta.
Hasil tangkapan laut biasanya langsung dijual segar, adapun ikan potensi ekspor maka akan diekspor namun untuk ikan konsumsi lokal maka dijual ke Pasar Kedonganan.
Pengakuan yang sama juga disampaikan Nastra anggota KUB Madu Segara. Menurutnya, pemerintah melalui Dinas Perikanan memberikan bantuan peralatan seperti jukung, mesin jukung, GPS, dan fishfinder. Sempat pula ditawarkan kapal besar namun KUB Madu Segara tidak menyanggupi karena biaya operasional yang tinggi.
Penyuluhan dari Dinas Perikan juga diakui Nastra rutin didapatkan, dengan intensitas sekali atau dua kali sebulan. Kegiatan penyuluhan tersebut dilakukan sembari mendata permasalahan di tingkat nelayan.
"Paling tidak sebulan sekali dinas pasti berkunjung, memberi penyuluhan dan mencatat permasalahan nelayan. Seperti ketika harga BBM naik dan tidak diperbolehkan membeli BBM dengan jerigen. Itu dari dinas memberikan surat rekomendasi untuk setiap nelayan," pungkas Nastra.
Kelompok Nelayan Mina Kali yang bermarkas di Pantai Muaya, Desa Adat Jimbaran juga mengakui besarnya perhatian pemerintah kepada nelayan. Bendahara Kelompok Nelayan Mina Kali, I Made Subrata (49) mengatakan kelompok nelayan tersebut didirikan pada tahun 1990.
Kelompok Nelayan Mina Kali beranggotakan 52 nelayan aktif. Bantuan pemerintah yang pernah diterima Kelompok Nelayan ini antara lain alat tangkap jaring dan mesin perahu.