Denpasar, Bali Tribune
Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar memang telah usai dengan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar Periode 2016-2019. Terpilihnya mantan Ketua DPR RI itu juga disebut-sebut sebagai penanda bahwa konflik internal Partai Golkar yang berlangsung selama setahun lebih, telah berakhir.
Hanya saja, terpilihnya Setya Novanto di mata pengamat politik justru tak serta-merta memberikan angin segar bagi masa depan Partai Golkar dalam percaturan politik di Tanah Air. Sebab, dengan memercayakan Setya Novanto menakhodai 'beringin' justru publik semakin skeptis terhadap Partai Golkar. Pengamat malah pesimis di tangan Setya Novanto Partai Golkar mampu meraih kembali kejayaannya.
"Pesimisme ini beralasan, apalagi melihat jabatan strategis Partai Golkar yang masih dipegang kader-kader lama yang justru mendapat resistensi kuat dari publik," kata pengamat politik dari Universitas Ngurah Rai Denpasar, Dr. Luh Riniti Rahayu, di Denpasar, Rabu (18/5).
Ia berpandangan, jika dilihat dari komposisi jabatan-jabatan yang strategis yang diisi orang lama dengan track record seperti itu, maka masa depan Partai Golkar justru semakin suram. Apalagi mencermati pertarungan di arena Munaslub, maka yang sesungguhnya menang adalah kelompok lama, dalam hal ini kubu Aburizal Bakrie (ARB).
Meski tak berani secara vulgar menyebut Setya Novanto sebagai 'boneka' ARB, namun Luh Riniti berpandangan bahwa pemimpin Partai Golkar tetap saja ARB. "Sesungguhnya ARB yang kini menguasai Partai Golkar. Sungguh strategi tinggi, yang sangat cerdas," tandas Luh Riniti.
Demi persatuan Partai Golkar, kata dia, ARB seolah-olah dengan mudahnya mau menyerahkan tampuk pimpinan kepada kader lain. "Namun sesungguhnya, kekuasaan itu tetap saja berada di tangan ARB," ujarnya.
Itu dibuktikan dengan penempatan orang-orang dekat ARB di jabatan strategis kepengurusan Setya Novanto. Apalagi sesaat setelah terpilih, Novanto langsung mengumumkan Idrus Marham sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar. Idrus sendiri adalah Sekjen DPP Partai Golkar selama tujuh tahun terakhir mendampingi ARB.
Selain Idrus, Setya Novanto memercayakan Nurdin Halid, salah satu orang dekat ARB, sebagai Ketua Harian DPP Partai Golkar. Untuk ARB, sidang paripurna Munaslub secara meyakinkan menetapkan ARB sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, posisi yang hanya pernah dijabat Soeharto pada zaman Orde Baru.
Di era Soeharto, Ketua Dewan Pembina bisa membatalkan Keputusan DPP Golkar. Ketua Dewan Pembina, adalah matahari di Partai Golkar. Belasan tahun terakhir setelah Soeharto lengser, struktur Dewan Pembina ini dihapus, namun kini dihidupkan kembali.
Selain faktor jabatan Dewan Pembina dan penempatan orang-orang dekat ARB di struktur pengurus, Luh Riniti juga menyinggung track record buruk Setya Novanto. "Tetapi itulah politik. Menang karena hasil negosiasi yang menguntungkan banyak pihak," ucapnya.
Menurut Riniti, ada pihak yang mendapat keuntungan dari hasil negosiasi jabatan di Partai Golkar itu. Pertama, Partai Golkar sendiri, karena akhirnya bisa ikut pemilu dan pilkada dengan tenang karena tidak ada lagi dualisme kepemimpinan. Kedua, menguntungkan pemerintah karena Partai Golkar tidak lagi jadi oposisi.
Ketiga, negosiasi ini masih menguntungkan Ade Komarudin. Sebab, Setya Novanto akan tetap mempertahankan jabatan Ade Komarudin sebagai ketua DPR RI karena memilih mundur dari pertarungan putaran kedua dengan Setya Novanto. "Keempat, keuntungan adanya jaminan keuangan bagi DPD-DPD Partai Golkar. Setya Novanto adalah ketua umum yang memiliki modal finansial yang kuat," pungkasnya.