
balitribune.co.id | Denpasar - Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali menemukan fakta mengejutkan, 106 sertifikat hak milik dan hak guna bangunan terbit di kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali Selatan. Kawasan ini seharusnya steril dari kepemilikan pribadi maupun badan usaha.
Ketua Pansus TRAP, I Made Supartha, menyebut penerbitan sertifikat di Tahura tidak hanya melanggar undang-undang, tapi juga mengancam lingkungan Bali. “Ini jelas pelanggaran serius. Tahura adalah kawasan konservasi. Kalau alih fungsi terus dibiarkan, aliran air terganggu, risiko banjir makin parah, dan Bali bisa kehilangan sabuk hijau terakhirnya,” tegasnya.
Temuan itu membuat rapat DPRD Bali, Selasa (23/9) dengan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali serta stakeholder terkait berlangsung panas. Pansus bahkan mendesak pembatalan seluruh sertifikat di Tahura sekaligus audit menyeluruh terhadap proses penerbitannya.
Kepala Kanwil BPN Bali, I Made Daging, tak menampik adanya penerbitan sertifikat di Tahura. Namun ia berdalih, sebagian kawasan itu dalam rencana tata ruang justru tercatat sebagai kawasan industri.
Alasannya klise, batas kawasan hutan tidak jelas, peta dasar tidak akurat, hingga patok batas yang bergeser. “Kalau memang terbukti masuk kawasan hutan, sertifikat bisa dibatalkan. Tapi harus ada koordinasi dengan kehutanan,” ucapnya.
Pernyataan ini justru memunculkan tanda tanya di kalangan Pansus, bagaimana mungkin sebuah lembaga sebesar BPN, yang tugasnya memberi kepastian hukum atas tanah, bisa menerbitkan lebih dari seratus sertifikat tanpa memastikan status kawasan terlebih dahulu?
Kasus Tahura ini bukan cerita baru. Hasil sidak Pansus di lapangan menunjukkan alih fungsi kawasan konservasi telah berlangsung lama. Hutan mangrove di sekitar Tahura berubah menjadi lokasi usaha, bahkan terdapat bangunan permanen.
Polanya mirip, lahan konservasi “berubah status” lewat sertifikat, kemudian bergeser fungsi jadi lahan ekonomi. Dugaan adanya penyalahgunaan kewenangan pun makin menguat, apalagi sertifikat tidak mungkin terbit tanpa proses panjang di BPN.
Supartha menegaskan, ada atau tidak permainan dalam penerbitan sertifikat, itu harus dibuka terang-benderang. Kalau ini dibiarkan, kita sedang mewariskan bom waktu ekologis bagi Bali.
Kasus ini menyoroti masalah klasik di Bali, tata ruang yang indah di atas kertas, tapi lemah di lapangan. Meski peraturan menyebut Tahura sebagai kawasan konservasi, praktik di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Dewan menilai lemahnya pengawasan dan sikap permisif aparat membuka ruang bagi praktek mafia tanah. Bila tidak segera dibatalkan, ratusan sertifikat di Tahura bisa menjadi pintu masuk perusakan ekosistem mangrove dan kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Pansus TRAP menegaskan, mereka akan terus menekan BPN dan pemerintah untuk menindaklanjuti temuan ini. Bali, kata mereka, tidak boleh menjadi ladang subur bagi permainan sertifikat yang mengorbankan lingkungan hidup.