Tahun Saka Lahir dari Kesadaran akan Toleransi
balitribune.co.id | Pada Senin, 11 Maret 2024 umat Hindu merayakan hari raya Nyepi, Tahun Baru Saka 1946. Pada hari yang sama umat Islam memasuki bulan suci Ramadan dan umat Kristiani memasuki minggu keempat pra-Paskah.
Bukan kali ini saja perayaan hari-hari suci dari agama yang berbeda dirayakan oleh umatnya pada waktu bersamaan. Pada saat-saat seperti ini keragaman dan kemajemukan yang membangun bangsa Indonesia terlihat jelas. Demikian juga halnya toleransi, dan rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan antar umat beragama.
Bagi umat Hindu perayaan hari raya Nyepi, Tahun Baru Saka mengingatkan momentum penting mengenai lahirnya sebuah kesepakatan besar dan visioner perihal pentingnya toleransi, kerukunan dan kebersamaan di tengah perbedaan dan keragaman. Ini adalah perayaan atas kesadaran bahwa kehidupan masyarakat yang rukun dan sejahtera jauh lebih penting dari pada rasa permusuhan dan kekuasaan.
Penggunaan kalender Saka sebagai sistem penanggalan Hindu dan tradisi perayaan Tahun Baru Saka dimulai oleh Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehshi di India pada tahun 78 Masehi. Keputusan Raja Kaniska I tentang kalender Saka menjadi catatan penting dalam sejarah India karena dapat mengakhiri permusuhan dan pertikaian antar suku bangsa di India yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Suku bangsa-suku bangsa itu, Pahlawa, Yuehshi, Yuwana, Malawa dan Saka silih berganti saling menaklukkan dan menguasai kerajaan. Para pemimpin suku bangsa Saka muak menyaksikan dan menjalani permusuhan dan pertikaian berkepanjangan. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk mengubah arah perjuangan dari perjuangan politik dan militer ke pembangunan kebudayaan dan peningkatan kesejahteraan warga.
Tahun 125 Sebelum Masehi dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehshi memegang tampuk kekuasaan di India . Para pemimpin dinasti Kushana tergugah oleh arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi berambisi menaklukkan suku bangsa lain dan merebut kekuasaan. Mereka justru merangkul suku bangsa lain untuk bersama-sama membangun masyarakat yang lebih beradab. Untuk menunjukkan penghargaan dan keinginan merangkul suku bangsa lain, Raja Kaniska I memutuskan unuk mengadopsi sistem kalender Saka dan mengumumkannya sebagai kalender resmi kerajaan dan digunakan oleh seluruh suku bangsa di India.
Sistem Kalender Saka di Indonesia
Kalender Saka menggunakan sistem lunisolar atau sistem suryacandra, yakni sistem yang memadukan unsur perhitungan waktu berdasarkan gerakan Bulan dan Matahari. Pergantian bulan berdasarkan siklus sinodis Bulan dan beberapa tahun sekali disisipi tambahan bulan supaya kalender tersebut sama kembali dengan panjang siklus tropis Matahari.
Satu tahun Saka terdiri dari 12 bulan, dimana masing-masing bulan memiliki 29 atau 30 hari sehingga total ada 354 atau 355 hari setiap tahun. Bulan dihitung berdasarkan siklus fase Bulan. Ada dua jenis bulan, disebut sasih dan wuku. Sasih dihitung berdasarkan siklus Bulan purnama dan wuku berdasarkan rangkaian tujuh hari. Wuku digunakan untuk menentukan hari-hari baik dan buruk. Setiap wuku memiliki nama dan diyakini memiliki energi khusus. Ada 12 sasih dalam satu tahun Saka, yaitu:
Chaitra (Caitra): Bulan pertama, kalender Masehi Maret-April.
Vaishakha (Vaisakha): Bulan kedua, kalender Masehi April-Mei.
Jyaishtha (Jyaistha): Bulan ketiga, kalender Masehi Mei-Juni.
Ashadha (Ashadha): Bulan keempat, kalender Masehi Juni-Juli.
Shravana (Shravana): Bulan kelima, kalender Masehi Juli-Agustus.
Bhadrapada (Bhadrapada): Bulan keenam, kalender Masehi Agustus-September.
Ashwayuja (Ashwayuja): Bulan ketujuh, kalender Masehi September-Oktober.
Kartika (Kartika): Bulan kedelapan, kalender Masehi Oktober-November.
Margashira (Margashira): Bulan kesembilan, kalender Masehi November-Desember.
Pausha (Pausha): Bulan kesepuluh, kalender Masehi Desember-Januari.
Magha (Magha): Bulan kesebelas, kalender Masehi Januari-Februari.
Phalguna (Phalguna): Bulan terakhir, kalender Masehi Februari-Maret.
Hingga saat ini kalender Saka digunakan oleh masyarakat Hindu di Indonesia untuk menentukan hari-hari penting seputar perayaan atau upacara keagamaan. Namun kalender Saka sebenarnya sudah sejak lama menjadi bagian dari perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia secara umum. Sistem kalender Saka mulai berkembang di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Hindu yang dibawa oleh Aji Saka, seorang pendeta berkebangsaan Saka dari Kshatraopa Gujarat di India, yang mendarat di Rembang, Jawa Tengah pada tahun 456 Masehi.
Selanjutnya penggunaan tahun Saka di Indonesia juga dibuktikan oleh beberapa prasasti kuno, seperti Prasasti Kalasan ari abad ke-8 dan Prasasti Sojomerto dari abad ke-10. Prasasti-prasasti ini memberikan informasi tentang penetapan waktu untuk kegiatan keagamaan pada masa itu berdasarkan tahun Saka.
Sejarah kemudian juga mencatat bahwa kalender Saka pernah secara resmi digunakan pada masa kejayaan kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada antara tahun 1350 - 1389 Masehi. Berikut ini adalah isi catatan dari Mpu Prapanca mengenai perayaan Tahun Baru Saka pada bulan Caitra, terekam di pupuh VIII 2-4, kakawin Nagara Kertagama :
(2)
Di sebelah utara gapura yang luar biasa indah pintu besi penuh ukiran indah itu didirikan.
Di sebelah timur di samping panggung tinggi yang disusun selaras berlapis batu itu dilepa berwarna putih.
Di sana di sebelah utara dan Selatan pasar, bangunan -bangunan rumah berjajar memanjang sangat bagus.
Sebagai tempat pertemuan bagi bala prajurit di selatan perempatan jalan itu di bulan Caitra yang elok.
(3)
Balai Agung Manguntur itu dan Balai Witana di tengah menghadap ke watangan,
di sebelah utara wisma, tempat bagi para pujangga dan juga menteri duduk berkumpul.
Sebelah timur tempat pendeta Siwa-Buddha berkumpul membicarakan ilmu dan jenis upacara,
Upacara penyucian/ penebusan dosa pada setiap gerhana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
(4)
Di sana di sebelah timur, tempat untuk sesaji berjajar tiga-tiga , di tengahnya kuil Siwa nan tinggi,
Sebelah selatan tempat para wipra bertingkat-tingkat, sebelah barat itu tempat bagi pemimpin persembahan
sesaji, di utara bangunan tempat pndeta Buddha bersusun tiga itulah dengan ukiran di puncaknya,
Bunga-bunga bertaburan , bersamaan saat datang Sang Raja untuk bersembahyang.
Bulan Caitra adalah bulan pertama dari 12 bulan atau sasih dalam sistem kalender Saka. Sedangkan bulan Palguna adalah bulan atau sasih ke-12 atau bulan terakhir. Berasarkan hal itu maka dapat diperkirakan bahwa apa yang dicatat oleh Mpu Prapanca di pupuh VIII Kakawin Nagara Kertagama itu adalah perayaan menyambut datangnya Tahun Baru Saka.
Sementara itu tradisi penggunaan kalender Saka dan perayaan Tahun Baru Saka di Bali antara lain tercatat di dalam Babad Kresna Kepakisan berikut ini:
(6b)
Pada masa itu beliau sebagai penguasa menuntun masyarakat Bali untuk memperingati/merayakan hari suci yang disebut dengan Nyepi setiap setahun sekali yaitu pada sasih Waisaka (Kedasa) tanggal pisan . Diceritakan sekarang yaitu pada tahun Saka 837 sampai 858 atau tahun 915 sampai tahun 936 Masehi pulau Bali dikuasai oleh Shri Ugrasena Warmadewa dan pada suatu ketika karena beliau telah lanjut usia, maka kedudukan beliau sebagai penguasa Bali digantikan oleh Shri Aji Tabanendra Warmadewa Bersama Sang Ratu Luhur Shri Subradika Dharnadewi.
Ada juga juga catatan lain yang hingga kini menjadi pedoman bagi umat Hindu di Bali, yakni Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala yang menyatakan hari raya Nyepi dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, dilaksanakan upacara Melasti atau Melis sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga jatuh pada Tilem Kesanga dan keesokan hari pada tanggal Apisan sasih Kadasa dilaksanakan brata penyepian sebagai tanda dimulainya tahun baru Saka.
Sistem Kalender Saka di Bali
Kalender Saka yang digunakan oleh masyarakat Hindu Bali saat ini adalah hasil modifikasi untuk menyelaraskan kalender Saka dengan kebutuhan praktis, khususnya dalam perencanaan acara keagamaan. Modifikasi bertujuan memastikan akurasi dari perhitungan dalam menentukan tanggal-tanggal penting terkait perencanaan dan pelaksanaan upacara keagamaan seperti Nyepi, Galungan, dan Kuningan. Modifikasi kalender Saka di Bali diharapkan memudahkan penggunaan sehari-hari, tetapi dengan tetap menjaga nilai-nilai tradisional Hindu. Dengan penyesuaian tertentu, umat Hindu dapat lebih mudah mengintegrasikan kalender Saka dengan kehidupan modern mereka. Modifikasi kalender Saka di Bali dilakukan sesuai kebutuhan lokal dan tradisi masyarakat setempat.
Kalender Saka di Bali memiliki 12 bulan, namun ada saatnya menjadi 13 bulan. Penambahan ini untuk menyesuaikan dengan perhitungan kalender Matahari. Kalender yang menerapkan sistem lunisolar atau suryacandra ini menggunakan fase Bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tiap tahunnya. Kalender ini biasanya ditandai dengan adanya bulan-bulan Kabisat beberapa tahun sekali ataupun berturut-turut. Dengan demikian jumlah bulan dalam satu tahun dapat mencapai 12 sampai 13 bulan. Berikut nama-nama bulan dalam kalender saka di Bali:
Kaesa: kalender Masehi Juli-Agustus
Karo: kalender Masehi Agustus-September
Katiga: kalender Masehi September-Oktober
Kapat: kalender Masehi Oktober-November
Kalima: kalender Masehi November-Desember
Kaenem: kalender Masehi Desember-Januari
Kapitu: kalender Masehi Januari-Februari
Kawolu: kalender Masehi Februari-Maret
Kasanga: kalender Masehi Maret-April
Kadasa: kalender Masehi April-Mei
Jhista: kalender Masehi Mei-Juni
Sadha: kalender Masehi Juni-Juli.
Kalender saka dengan 12 bulan disebut tahun pendek, sedangkan 13 bulan adalah tahun panjang. Selisih satu bulan ini disebut pengrepeting sasih yang diberi nama mala-masa. Adanya selisih bulan ini terjadi pada dua bulan (sasih). Pengrepeting sasih pada jhista disebut mala-jhista, sementara selisih pada bulan sadha disebut mala sadha.
Pada kalender lunisolar, pergantian hari terjadi ketika Matahari terbenam dan awal setiap bulan adalah saat konjungsi atau saat munculnya hilal atau Bulan sabit yang bisa kita lihat pertama kali tepat setelah fase Bulan baru. Sistem perhitungannya adalah pergantian bulan dalam penanggalan didasarkan pada siklus sinodik Bulan, dan untuk menyingkronkannya dengan penyesuaian musim, maka akan ada sisipan hari dalam setiap bulan tertentu, atau penambahan bulan dalam rentang tahun tertentu. Satu bulan berumur 29-30 hari dengan tiap hari memiliki nama sendiri. Nama ini memiliki padanan dalam tahun masehi, seperti berikut ini:
Radite: kalender Masehi Minggu
Coma: kalender Masehi Senin
Anggara: kalender Masehi Selasa
Buda: kalender Masehi Rabu
Wraspati: kalender Masehi Kamis
Sukra: kalender Masehi Jumat
Saniscara: kalender Masehi Sabtu.
Selain nama bulan dan hari yang berbeda, kalender Saka di Bali juga menerapkan sistem wuku. Perhitungan wuku adalah siklus penanggalan Bali yang berumur 7 hari atau satu pekan. Siklus wuku berusia 30 pekan atau 210 hari. Wuku lahir dari kepercayaan akan adanya hari baik dan buruk. Setiap orang akan memilih wuku atau hari yang dianggap tepat untuk melakukan kegiatan agama atau kegiatan sehari-hari lainnya. Setiap wuku dipercaya telah dipengaruhi berbagai elemen alam dan dewa dalam agama Hindu yang membawa keberuntungan atau sebaliknya. Nama-nama wuku dalam kalender Saka di Bali adalah: Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Toulu atau Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadean atau Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia atau Mdangsya, Pujut, Paang atau Pahang, Krulut, Merakih atau Mrakih, Tambir, Medangkungan atau Mdangkungan, Matal, Uye, Menail atau Mnail, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut, Watugunung.
Meskipun Indonesia secara resmi menggunakan kalender Gregorian, pemerintah Indonesia juga mengakui penggunaan kalender Saka dalam konteks keagamaan Hindu. Sebagai contoh, perayaan Nyepi, yang merupakan hari raya Tahun Baru Saka, diakui sebagai hari libur nasional. Penggunaan tahun Saka di Indonesia menjadi bukti sejarah panjang dari pengaruh Hindu-Buddha dalam perkembangan kebudayaan dan keagamaan di negeri ini.
Makna di Balik Perayaan Tahun Baru Saka
Umat Hindu di Indonesia menggunakan kalender Saka dalam urusan keagamaan, misalnya perayaan Nyepi, Tahun Baru Saka yang tahun 2024 jatuh pada Senin, 11 Maret 2024 sebagai tahun Saka 1946. Sesuai kalender Saka di Bali, hari raya Nyepi jatuh pada bulan kadasa sehingga nama bulan ini yang paling umum dan paling sering disebut sebagai bulan pertama dalam kalender Saka di Bali. Sebelum memasuki Tahun Baru Saka, umat Hindu melaksanakan tiga acara pokok, yaitu Melasti atau Melis, Tawur Kesanga dan Catur Brata Penyepian.
Lontar Sanghyang Aji Swamandala menyatakan tujuan dari upacara Melasti atau Melis adalah “Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana”, atau “melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam”. Sementara lontar Sundarigama menuliskan : Amet sarining amerta kamandalu ring telenging segara. Artinya, mengambil sari-sari air kehidupan di tengah samudra.
Melasti adalah upacara pembersihan jagat raya atau buwana agung dan diri manusia dengan menggunakan air kehidupan yang diambil dari tengah samudra atau sumber-sumber air lainnya. Air kehidupan diharapkan mampu menyingkirkan hal-hal buruk dari alam semesta maupun dari dalam diri manusia. Melasti juga merupakan bentuk permohonan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa supaya umat Hindu diberikan kekuatan dalam memasuki tahun yang baru.
Upacara selanjutnya adalah Tawur Kesanga. Kata tawur berati mengembalikan. Tawur Kesanga adalah upacara menyucikan alam semesta sebagai sumber kehidupan dengan cara secara simbolik melalui caru atau kurban, mengembalikan isi alam semesta yang diambil oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melalui upacara ini diharapkan akan tercipta keseimbangan alam semesta dan kesejahteraan hidup manusia.
Sebagai puncak dari persiapan menyambut datangnya tahun baru Saka, pada tanggal Apisan sasih Kadasa atau tanggal satu tahun baru Saka, umat Hindu diwajibkan melaksanakan Catur Brata Penyepian. Lontar Sundarigama menjelaskan perihal Catur Brata Penyepian ini sebagai berikut :
“...enjangnya nyepi amati geni , tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan.”
Artinya: “...besoknya Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melaksanakan samadi tapa yoga menuju kesucian.”
Catur Brata Penyepian terdiri dari empat kewajiban di hari raya Nyepi, yakni amati geni atau tidak menyalakan api, dengan demikian maka umat Hindu tidak memasak dan wajib menjalankan upawasa atau puasa. Amati lelungan, atau tidak bepergian keluar rumah. Amati lelanguan, atau tidak menikmati hiburan dan amati karya atau tidak melakukan pekerjaan pada umumnya. Dengan demikian umat Hindu diwajibkan untuk melaksanakan samadhi, tapa yoga atau perenungan dalam keheningan di dalam rumah atau tempat suci.
Keseluruhan acara dalam perayaan Nyepi di atas dilakukan untuk mencapai kondisi diri manusia yang bersih, demikian juga kondisi alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan menuju kehidupan yang suci dan sejahtera. Dalam ajaran Hindu, kondisi kehidupan sejahtera lahir dan batin yang dicapai melalui jalan dharma atau jalan kebenaran itu disebut jagadhita dan moksha. Untuk mencapai itu, umat Hindu harus menjalani 4 tujuan hidup yang disebut catur purusa artha atau catur warga, yakni dharma, artha, kama dan moksha. Dan untuk mewujudkan catur warga itu manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Kitab Sarasamuscaya 135).
“Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan masih ring sarwa prani.”
Artinya:
Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.
“Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mang dharma, Artha, kama moksha”
Artinya:
Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.
Kesimpulan
Perayaan Nyepi, Tahun Baru Saka adalah perayaan untuk memperingati keyakinan bahwa tujuan ideal dari kehidupan manusia, yaitu kesejahteraan lahir dan batin di jalan dharma atau jalan kebenaran, dapat dicapai jika manusia mampu menjaga keseimbangan dan keharmonisan hidup antar sesama, dan antar manusia dengan makhluk lain serta segenap isi alam semesta.