
balitribune.co.id | Denpasar - Selama ini masih banyak publik belum bisa membedakan antara informasi produk jurnalistik dengan informasi di media sosial yang rawan tidak benar (hoaks). Oleh sebab itu, tugas pers memberi pemahaman atau meliterasi publik agar paham perbedaan keduanya (produk jurnalistik dan informasi medsos).
“Munculnya kasus informasi tidak benar (hoaks), tak lepas dari pemahaman yang kurang. Tugas kita bersama untuk meningkatkan pemahaman (literasi) agar publik bisa membedakan informasi yang merupakan produk jurnalistik dengan informasi yang masuk kategori hoaks tersebut,” ucap Ketua Komisi Pendidikan, Latihan dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, Tri Agung Kristanto.
Saat ‘Workshop Peliputan Pemilu 2024’, di Swiss-Belresort Watu Jimbar, Sanur, Denpasar, Senin (31/7), Tri Agung Kristanto mengatakan, informasi dari produk jurnalistik merupakan berita yang pasti benar. Itu karena telah melewati proses konfirmasi, bahkan verifikasi. Sementara informasi hoaks, tidak melewati proses tersebut.
“Masyarakat belum sepenuhnya mampu membedakan antara informasi produk jurnalistik dengan yang muncul di medsos, apalagi sekarang media arus utama juga menggunakan medsos sebagai platform baru. Televisi (TV) maupun media cetak, juga memakai channel di youtube. Hal itu sebagai bagian dari konvergensi atau integrasi dari sebuah media,” ujarnya mencontohkan.
Bagaimana menyuguhkan informasi yang benar kaitannya dengan Pemilu 2024?. “Itulah tantangan kita bersama untuk membangun kesadaran publik mewujudkan Pemilu yang lebih berkualitas. Tanggung jawab media dan jurnalis sebagai sosok yang punya peran untuk ikut mencerdaskan bangsa ini,” tuturnya.
Tri Agung Kristanto menyebutkan, berdasarkan data Bappenas, sepanjang tahun 2018 hingga Juni 2023, tercatat 704 informasi kategori hoaks sementara dari Januari 2022 hingga Juni 2023 sebanyak 28 informasi. Ini tidak termasuk informasi yang mispersepsi.
“Kalau ditanya informasi kategori hoaks terbanyak adalah saat pertarungan calon presiden di 2014 lalu dan media yang paling banyak digunakan adalah medsos seperti twitter, instagram (IG), Facebook (FB). Sementara di media arus utama, relatif hampir tidak ada karena sudah melewati tahapan konfirmasi,” demikian Tri Agung Kristanto.
Pada workshop sehari tersebut hadir lima narasumber yakni Tri Agung Kristanto (Dewan Pers) dengan materi ’Posisi Pers, Peraturan Perundang-undangan dan Pedoman Pemberitaan terkait Pemilu’, I Dewa Agung Gede Lidartawan (Ketua KPU Provinsi Bali) dengan topik ‘Regulasi terkait Peliputan Pemilu’.
‘Pengawasan atas Pemberitaan dan Penyiaran Pemilu 2024’ adalah topik yang dibawakan Ketua Bawaslu Provinsi Bali yang diwakili I Wayan Wirka, Anggota Bawaslu Provinsi Bali.
Ketua KPID Provinsi Bali, Agus Astapa mengangkat materi tentang ’Sinergi untuk Pengawasan Penyiaran Pemilu 2024’ dan pembicara Wahyu Dhyatmika dari Tempo dengan topik ‘Jurnalisme Data, Memaknai dan Membaca Data Pemilu’.
Workshop yang diselenggarakan Dewan Pers ini bertujuan meningkatkan kualitas peliputan media cetak dan elektronik terhadap Pemilu/Pilkada 2024 di Bali. Peserta adalah para pemimpin redaksi (Pimred) dari puluhan media di Bali.