Diposting : 14 November 2022 01:54
YAN - Bali Tribune
balitribune.co.id | Denpasar - Rumah Budaya Penggak Men Mersi di Jalan WR Supratman Denpasar menjadi saksi, betapa kritik sosial cerdas ‘’tersuarakan’’ dalam sebuah garapan seni instalasi bertajuk ‘’The Golden Toilet in Winter’’ karya seniman Ketut Putrayasa, Sabtu (12/11). Karya instalasi itu direspons pembacaan puisi oleh sastrawan Wayan Jengki Sunarta dan gerak tari teaterikal seniman Achmad Obe Marzuki.
The Golden Toilet in Winter adalah seni instalasi teranyar I Ketut Putrayasa, perupa pematung berbakat kelahiran Canggu, Bali.
Instalasi ini menjadi sejenis satire, "art simbolik" yang boleh ditafsir dengan cara pandang beragam sekaligus ambigu. Ia bisa dimaknai sebagai sapaan, suara kritis, serta cibiran halus pada kekonyolan-kekonyolan kita hari ini. Secara tidak sadar kita menjadi manusia paradok (nungkalik), yang hulu kita jadikan hilir.
The Golden Toilet in Winter menjadi sejenis medium, bagaimana kritik dan sapaan yang kadang terbaca berseberangan itu ditembakkan lewat seni instalasi sebagai bentuk suara yang lain dan juga bentuk kepedulian yang tulus ikut terlibat merasakan krisis multidimensional hari ini. Di titik ini, The Golden Toilet in Winter bukan lalu menjadi suara yang berseberangan dengan pemegang kemufakatan dunia yang panglimannya hampir dipastikan adalah modal yang tunduk pada sistem pasar, rancangan ideologi digaja dunia kapitalis.
Misalnya, apa yang ada di balik kemufakatan-kemufakatan para pemimpin dunia bisa saja menafikan suara-suara warga dari bilik yang lain. Karena sungguh berbahaya manakala politik dan ekonomi kawin mawin. Naluri-naluri gelap manusia pasti selalu menelusup dalam "pernikahan" itu. Memang sebagaimana dikatakan Dr. B. Herry-Priyono, pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Driyarkara. "Rezim pemangsa ada di mana-mana dan menghasilkan ketimpangan atau peminggiran yang makin dalam," ungkapnya.
The Golden Toilet in Winter menghadirkan piranti sedikit absurd, yakni toilet yang dicat warna emas, karpet merah, dan tumpukan es balok. Seseorang dititahkan menggotong toilet emas, melintasi jalan berkarpet merah, tertatih dan ngos-ngosan, berjuang sekuat tenaga untuk bisa diletakkan pada tumpukan balok es.
"Tumpukan balok es itu boleh kita pahami sebagai simbol singasana yang dingin, juga menggambarkan situasi politik dunia yang dingin, yang saban waktu bisa meledak jadi krisis mengerikan," sentilnya.
Toilet, karpet, merah, dan balok es adalah barang sehari-hari biasa kita temui. Namun di tangan seniman Ketut Putrayasa, istalasi ini benar-benar menjadi satire, cibiran halus pada pemegang kuasa yang tidak sungguh-sungguh melenyapkan derita warga, tapi diam-diam membangun koorporasi, membuat kesenjangan antara yang miskin dan kaya begitu jomblang.