BALI TRIBUNE - Seperti tahun sebelumnya, warga di Desa Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis secara rutin menggelar tradisi atau ritual Perang Pandan atau Megegret Pandan atau warga desa setempat menyebutnya sebagai Mekare-kare. Tradisi ini sebenarnya merupakan bagian puncak dari seluruh rangkaian upacara Usabha Sambah yang merupakan satu-satunya upacara besar yang dimiliki desa Tenganan Pegringsingan.
Namun tidak banyak yang mengetahui seperti apa sebenarnya upacara Usabha Sambah yang diselenggarakan selama satu bulan penuh tersebut. Usabha Sambah sendiri dimulai dari perputaran upacara setahun berdasarkan kalender adat setempat, Kalender Tenganan sendiri memiliki perhitungan satu tahun 12 bulan, tiga tahun sekali yang perhitungannya menjadi 13 bulan, satu bulan lamanya 30 hari.
Dalam kalender adat yang dimiliki desa tua yang disebut Bali Aga ini, rangkaian upacara sebenarnya dimulai dari Usabha Kasa, namun sebelumnya dilakukan Ritual Nyepi. Dan kegiatan upacara dimulai pada waktu bulan purnama. Mitologinya saat itulah Dewa Indera yang dikenal sebagai Dewa Perang lahir dan awal dari kehidupan. Dan, Senin (12/6) warga Tenganan Pegringsingan yang menganut Sekte Dewa Indera, melaksanakan tradisi Perang Pandan di Bale Petemon Kaje.
I Ketut Sudiastika, salah satu Klian Adat di Tenganan Pegringsingan, kepada koran ini kemarin menuturkan, tradisi atau ritual Perang Pandan dilaksanakan sebanyak tiga kali, dimulai dari depan Bale Petemon Kelod, dilanjutkan di depan Bale Petemon Kaje dan terakhir dilaksanakan di Bale Petemon Tengah. Untuk ritual Perang Pandan di Bale Petemon Kelod dan Kaje hanya boleh diikuti oleh teruna asli desa setempat, sedangkan Perang Pandan terakhir di Bale Petemon Tengah bisa diikuti oleh warga dari luar desa Tenganan Pegringsingan.
Sebelum ritual perang pandan ini dilaksanakan, ada sejumlah upacara ritual unik yang juga digelar warga di desa adat ini dalam rangkaian Usabha Sambah, di antaranya Tradisi Maling-malingan, Tradisi Mulan Saat, yang diselenggarakan pada malam hari dimana saat itu para pemuda di desa ini disyahkan secara adat sebagai pemuda dewasa, dan memilih wanita pasangannya yang akan menemani mereka nanti saat Perang Pandan. Setelah tradisi Mulan Saat, dilanjutkan dengan Tradisi Manyunan, dalam tradisi ini hanya wanita yang masih perawan saja yang boleh menaiki ayunan tersebut.
Tradisi Manyunan ini pula yang menandai dimulainya tradisi ritual Perang Pandan. Untuk senjata dalam Peang Pandan ini yakni pandan berduri yang ditentukan khusus oleh adat, dengan tameng yang terbuat dari anyaman rotan. Biasanya perang pandan ini digelar hingga ada goresan atau tetesan darah dari para petarung. Karena warga desa percaya jika darah yang menetes tersebut merupakan persembahan untuk Dewa Indra, dan mampu membawa kedamaian dan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat desa.
“Setelah upacara perang pandan ini, nantinya akan ada rangkaian tradisi megibung. Ini merupakan penyatuan rasa yang terjadi di arena sehingga nantinya tidak ada lagi dendam atau sakit hati setelah rangkaian upacara besar ini berakhir,” ungkap Ketut Sudiastika.