BALI TRIBUNE - Setelah menganugerahkan penghargaan Parama Bhakti Pariwisata kepada tokoh pelopor pariwisata asal Puri Ubud yakni alm. Cok Gde Raka Sukawati dan alm. Cok Gde Agung Sukawati pada tahuan 2015 lalu, tahun ini Pemkab Gianyar kembali menyiapkan piagam bergengsi. Kali ini, melalui Dinas Kebudayaan (Disbud) Gianyar dengan sematan piagam Parama Satya Budaya dan Parama Citra Kara.
Kedua piagam tersebut juga merupakan piagam penghargaan tertinggi Pamkab Gianyar. Orang yang berhak mendapatkan piagam ini, hanya mereka yang mengantarkan Gianyar, menjadi kota berpengaruh di tingkat internasional, khususnya dalam bidang kesenian dan kebudayaan. “Parama Satya Budaya merupakan penghargaan tertinggi dalam hal pengembangan dan pelestarian seni dan budaya Gianyar,” ungkap Kepala Disbud Gianyar I Gusti Ngurah Wijana, Jumat (12/1).
Disebutkan, pemberian penghargaan ini telah berjalan sejak tahun 2017. Sementara Parama Citra Kara, baru akan diadakan tahun ini. pemnghargaan ini merupakan inisiatif Bupati (Agung Bharata) dalam memberikan penghargaan pada seninman sesuai karakteristiknya, yang
telah mengharumkan Gianyar di tingkat internasional.
Berdasarkan data Disbud Gianyar, yang diperlihatkan Wijana, ada tiga masyarakat Gianyar yang akan menerima piagam prestisius ini. Rinciannya, penerima Parama Satya Budaya ialah almarhum (alm) Cokorda Gede Rai asal Puri Agung Peliatan dan Anak Agung Gede Ngurah Mandera asal Puri Mandala, Desa Peliatan Ubud. Sementara penerima piagam Parama Citra Kara ialah I Ketut Budiana asal Banjar Padangtegal Kelod, Desa Padangtegal, Ubud. “Almarhum Cok Rai bukanlah seorang seniman. Namuan almarhum patut diberikan penghargaan Parama Satya Budaya karena tahun 1931, membawa tim kesenian di Peliatan, pentas di parade kebudayaan Paris. Di mana saat itu, dia membawakan pementasan Calonarang,” paparnya.
Berdasarkan hasil penelitian, pementasan Calonarang tersebut telah mengubah corak teater internasional. Sebelumnya, disebutkan jika teater di luar negeri itu kaku, pemeran teaternya pentas dengan menggunakan teks. Namun setelah Gianyar mementaskan Calonarang di Paris tanpa menggunakan teks dan diiringi gamelan, seniman-seniman luar negeri terkesenima. “Sejak saat itulah, terjadi perubahan besar dalam dunia pementasan teater. Tidak ada yang bawa teks tertulis lagi,” ungkap Wijana.
Sejak saat itu pula, sebutnya, Gianyar dikenal menjadi Kota Seni internasional, dan menjadi embrio wisatawan berbondong-bindong datang ke Gianyar, khususnya Desa Peliatan, Ubud. Kedatangan wisatawan ke Gianyar semakin banyak, karena adanya sumbangsih Agung Ngurah Mandera. “Beliau merupakan pencipta tari legong yang legendaris itu, dan beliau juga komposer karawitan. Pemendatasan yang dilakukan sekaa seni binaannya, mengundang wisatawan datang ke Ubud, dan hingga saat ini menyebabkan Gianyar dikeal sebagai kota seni dan budaya di tingkat internasional,” tegasnya.
Ketut Budiana merupakan seniman seni rupa yang karya-karyanya dikagumi seniman-seniman internasional. “Sumbangsih ketiga orang ini sangat besar pada Gianyar. Rencananya penghargaan ini akan diserahkan akhir Januari atau awal Februari,” tandasnya.