BALI TRIBUNE - Berprofesi sebagai seorang sopir dengan ekonomi pas-pasan, bukan halangan bagi Kadek Winarta (45), untuk merawat puluhan penderita kelainan jiwa. Warga Banjar Pande, Blahbatuh, Gianyar ini harus menggadaikan sepeda motor hingga menjual cincin perkawinan untuk pembiayaannya. Sayang, yayasan yang didirikannya hingga kini belum bisa mewujudkan tempat penampungan.
Pantauan di kediamannya, terlihat Hendra Santosa (42), yang dulunya penderita kelanian jiwa yang agresif, kini kondisinya relatif stabil sedang membantu Kadek Winarta mengupas buah kelapa. Demikian Liani (48), kakak kandung Hendra yang senasib, terlihat nyaman tinggal bersama keluarga Kadek dalam lima tahun terakhir ini.
Kakak beradik yatim piatu dan tuna wisma ini adalah dua orang di antara 26 penderita kelainan jiwa yang mendapat perhatian Kadek bersama rekannya I Made Suka Bawa dan Made Nila hingga mendirikan Yayasan Tulus Dharma Wiarta.
Namun, penderita lainnya hanya bisa dirawat di rumahnya masing-masing. “Di rumah saya ini hanya mampu menampung dua orang. Sedangkan yang lainnya ada yang kami rawat di rumahnya dan ada pula yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit jiwa,” ungkap Kadek Winarta.
Bertahun-tahun menampung dan merawat puluhan penderita kelainan jiwa ini, secara ekonomi memang sangat membebani keluarganya. Terlebih profesinya hanya sebagai seorang sopir. Ironisnya, untuk memenuhi kebutuhan pengobatan hingga makan sehari-hari, keluarga ini harus merelakan barang berharganya ‘berpindah tempat’. “Istri dan anak saya sangat mendukung, meski sesekali istri saya terkadang kesel karena capek minjam uang dan menggadaikan motor,” terangnya.
Istrinya, Ni Gusti Putu Witari tak menampik kondisi ekonomi keluarganya yang harus terpuruk lantaran ketulusan suaminya. Namun, seiring waktu dirinya dan empat orang anaknya justru terbiasa dengan kondisi itu.
“Jujur saja, saya bahkan merelakan cincin perkawinan untuk dijual. Awalnya ngeselin, namun ketika dibanding penderita kelaian jiwa ini, kita jauh lebih beruntung,” terang Witari sembari menyiapkan makan siang.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Tulus Dharma Wiarta, I Made Suka Bawa mengakui menampung penderita kelainan jiwa di daerah padat penduduk, memang akan menimbulkan keresahan warga di lingkungannya. Karena itu, yayasan yang mereka dirikan itu sempat menyewa tempat penampungan selama dua tahun.
Namun terbatasnya dana mereka pun tidak bisa memperpanjang sewa. “Sempat kami urunan dan menyewa tempat penampungan selama dua tahun dengan biaya lima puluh juta rupiah lebih. Namun rezeki kami ternyata tidak mendukung untuk memperpanjang sewa,” jelasnya.
Meski dengan segala keterbatasan, mereka bertekad konsisten merawat penderita kelainan jiwa ini. Terlebih, penderitanya terus bertambah dan kerap ditelantarkan keluarganya. Tak jarang menimbulkan keresahan-keresahan, karena dalam beberapa kasus di Blahbaruh, pernah terjadi penganiayaan hingga pembunuhan yang dilakukan penderita ini.