balitribune.co.id | Untuk tahun 2020, Bali Megarupa diadakan untuk kali yang kedua di tempat yang sama; ARMA Museum, Ubud! Kali ini tema yang diusung adalah “Candika Jiwa: melampui Medium, Ruang dan Waktu”. Tema itu, mengutip katalog umum Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2020, disebutkan bahwa tema itu mengedepankan kesadaran bahwa masa pandemik adalah momentum bagi kreator/seniman untuk mengali kemungkinan penciptaan yang lintas batas sebagaimana keniscayaan era digital.
Apa yang disambut dari Bali Megarupa yang kedua ini? Ialah mulainya bertumbuh keyakinan untuk even ini berlangsung terus. Hampir sulit dipercaya bahwa Pemprov Bali melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bersedia menyelenggarakan even seni kontemporer yang kurang lebih hampir sama besarnya dengan Pesta Kesenian Bali (PKB). Hal ini, harus diakui, tak lepas dari peran ‘Ibu Gubernur’ (istri Gubernur Bali) yang di dalam jiwanya telah tertanam sejak kanak-kanak jiwa kesenian.
Jika dalam masa-masa pemerintahan Gubernur Koster selama satu periode, misalnya, kesenian di Bali mencapai puncak-puncak kesenian, maka sejarah kesenian kontemporer itu tak bisa dilepaskan dari peran, pengaruh dan sering pula keterlibatan langsungnya. Meski ia dikenal sebagai penyair dan pembaca puisi yang penuh taksu, namun ia tak lalai memberi kesempatan luas kepada berbagai bentuk kesenian yang lainnya.
Justru dari bagaimana cara Festival Seni Bali Jani ‘dirawat’ akan menjadi modal awal atau cikal bakal seni kontemporer menemukan ‘terminal’ pentingnya di Bali, dan seniman-seniman dari Indonesia, Asia dan paling jauh dari seluruh dunia, akan sangat ‘gemetar’ mempertaruhkan karyanya di Bali Megarupa ini. Ini bukan suatu hal yang muluk-muluk! Banyak even-even di luar negeri berlangsung sangat manajerial, teliti dan perfect dan sering kali berlangsung kolosal.
Sekadar contoh peristiwa dunia, dapat diketengahkan di sini even film Hollywood Piala Oscar di Amerika, Festival Film Canes di Perancis, pameran buku Frankfurt Book Fair, London Book Fair, Sydney Biennale, Shanghai Bienalle dan beberapa lagi yang lain; semuanya berlangsung kolosal dan perfect. Sydney Biennale, misalnya (ini perlu dijadikan semacam studi manajerial dalam mengorganisasi even kesenian besar yang berlangsung selama dua tahun.
Panitia Sydney Biennale (bekerja sangat solid, professional, disiplin dan senang hati) bahkan telah mulai bekerja di awal tahun pertama hajatan yang dipunyainya, padahal hari ‘H’-nya masih 2 tahun lagi! Mereka bahkan mencari, memantau dan juga menerima proposal dari seniman-seniman seluruh dunia, baik perorangan maupun berkelompok. Mereka tidak menumpuk proposal-proposal kesertaan para seniman itu di meja kerjanya, melainkan langsung membicarakan isi proposal mereka.
Mereka yang proposalnya diterima dikabari secepatnya sehingga seniman memiliki sedikitnya waktu 2 tahun kurang untuk mempersiapkan konsep karyanya. Sementara para seniman yang telah diterima untuk turut serta dalam Sydney Biennale, mereka juga ‘dihalo-halokan’ melalui press release, email bagi media yang tidak ada di Sydney. Jadi mereka itu bekerja sepanjang tahun; memiliki staf, mengundang kurator, memiliki kantor dan ini yang paling penting; even mereka sangat marketable!
Kehadiran Panitia Tetap Sepanjang Tahun
Saya tidak tahu apakah Bali Megarupa memiliki semacam grand design yang menjadi pijakan dasar untuk menentukan apa dasar kuat seni rupa Bali yang mau ‘diajegkan’ dalam even Bali Megarupa ini? Pegangan itu harus ada. Ibarat nakhoda, ia harus memiliki peta dan kompas, penunjuk arah. Jika tak begitu, tiap tahun menjelang hajatan akbar ini akan menjadi persilangan gagasan yang tak memiliki karakter kuat. Saya benar-benar tak tahu; apakah Bali Megarupa benar-benar memiliki ‘pegangan pokok’ untuk menjadi pijakan penentu ke mana tema tiap tahun itu diarahkan demi penguatan dunia seni rupa Bali.
Bali Megarupa adalah hajatan besar, pertaruhan mutakhir dari kronologi even yang mau dimaksudkan besar namun selalu gagal. Lihat misalnya penyelenggaraan Triennale, Bienalle, Bali Act, Bas, semua ini tak pernah bertumbuh menjadi kewibawaan peristiwa seni kontemporer di Bali. Memang, nyaris tak ada keterlibatan pemerintah di situ kecuali Bali Act, namun bukan tanpa alasan untuk tidak menjadi berhasil ‘menghidupkan’ suatu hajatan kesenian.
Kita ambil contoh ARTJOG, suatu peristiwa kesenian besar yang telah berlangsung belasan kali. Pada mulanya juga ARTJOG (awalnya bernama Jogja Art Fair # 1) adalah peristiwa pameran seni rupa kecil yang numpang pada hajatan dan menjadi salah satu rangkaian dari acara Festival Kesenian Yogyakarta tahun 2008. Namun menimbang betapa pesat dan progresifnya dinamika seni rupa Yogya, maka pada tahun berikutnya (2009), Jogja Art Fair memisahkan diri dari Festival Kesenian Yogyakarta. Sekarang ARTJOG menjadi even seni rupa kontemporer yang berwibawa dan sangat diperhitungkan oleh para pelaku dan pengamat dari luar negeri.
Dunia seni rupa adalah percaturan dunia. Hal itu bukan lagi menyangkut kelokalan, dan karena itu dunia seni rupa Bali sangat berpeluang besar untuk menjadi bagian yang berpengaruh dalam percaturan seni rupa global. Dua kali Bali Megarupa terselenggara dan itu sebaiknya jangan sekadar ‘numpang lewat’ setelah itu tak ada kelanjutan hariannya. Maka di sinilah perlunya kehadiran panitia tetap sepanjang tahun yang meng-handle keberlanjutan harian dari Bali Megarupa ini.
Pemprov Bali harus tahu bahwa seni rupa Bali sangat potensial menjadi ‘andalan’ dalam pertarungan seni rupa global. Maka, ketika Pemprov Bali memiliki keberanian mengedepankan hajatan besar seni rupa di Bali semacam Bali Megarupa ini, maka semangat ini harus berani ‘puputan; habis-habisan’ mengingat yang dipertaruhkan juga memiliki kemampuan ke arah itu. Tentu langkah pertama adalah meng-hire manajemen andal, menyewa kurator andal, memiliki kantor besar yang permanen, melakukan korespondensi yang intensif dengan Lembaga-lembaga seni dalam dan luar negeri, memantau perkembangan seni dunia.
Manajemen ini akan bekerja setiap hari. Ia akan menjadi lalu-lintas dan terminal dari dinamika pergolakan dunia seni rupa di Bali. Bahkan jauh-jauh hari mereka telah mempersiapkan konsepsi, arah kecenderungan, isu yang akan diangkat dalam Bali Megarupa berikutnya. Jika isu yang telah disepakati untuk diketengahkan sebagai tema besar dalam Bali Megarupa terasa basi, mereka juga harus mempersiapkan dan mempunyai ‘Rencana B’, isu pengganti dari isu yang dianggap telah basi.
Kehadiran manajemen sebagai panitia tetap tahunan membuat Bali Megarupa akan selalu berpeluang menjadi hajatan yang tertata, tertib, konsepsional dan sanggup pula menjawab isu-isu local maupun global. Merekalah yang mengelola even besar ini. Merekalah yang bertanggung jawab membesarkan Bali Megarupa ini menjadi salah satu hajatan seni rupa penting di di Indonesia kelak, bahkan mungkin di dunia. Membentuk panitia seminggu atau sebulan menjelang Bali Megarupa maka akan ketahuan betapa rapuh dan tiada berwataknya dari kegiatan yang memakan dana besar ini.
Laboratorium Seni
Seni rupa adalah eksplorasi tanpa batas. Ia lintas media, lintas sains, lintas pemikiran dan karya-karyanya sering tak terduga. Inilah yang sebaiknya menjadi salah pemikiran penting dalam hajatan Bali Megarupa. Seni rupa bukan lagi sekadar lukisan. Dalam puncak-puncak pencapaian estetik, banyak seniman kontemporer melakukan eksperimen estetik melalui multidimensi media. Mereka masih tetap melukis, namun mereka juga memiliki kuriositas estetik yang ingin mereka rengkuh di luar media-media konvensional.
Untuk apalagi mengetengahkan lukisan-lukisan karena pameran lukisan hampir tiap hari terjadi di Ubud, Sanur dan Denpasar. Lukisan telah menjadi keseharian di Bali. Saya pribadi di masa lalu hampir melelahkan menghadiri pembukaan pameran lukisan dan itu tak menarik lagi karena aspek ‘penjelajahan’ dalam mengeksplorasi multimedia sangat jarang dilakukan. Harus ada satu peristiwa kemungkinan baru setiap tahun sekali untuk memberi ‘kebebasan penuh’ kepada para seniman muda Bali untuk mengeksplor segala pencapan tertingginya.
Dan ruang besar untuk ‘kebebasan penuh’para seniman muda Bali itu adalah Bali Megarupa. Kredonya adalah “Menggali sedalam-dalamnya sumber estetik; baik dari dalam diri maupun dari alam luas ini”. Bali Megarupa pada intinya adalah ‘laboratorium Seni’. Dalam momentum itu, para seniman muda Bali mencoba mengerahkan seluruh kemampuan akal budi dan eksistensinya dalam proses penciptaan untuk menghasilkan seni baru berdasarkan percobaaan-percobaannya di ‘laboratorium seni’ yang bernama; Bali Megarupa!
Lambat laun Bali Megarupa akan ter-image sebagai pertaruhan seni eksperimen, yakni upaya para seniman diberi ruang baru untuk pencarian baru. Sehingga hidup keseniannya tak lagi menjemukan karena telah dibukakan kesempatan untuk ranah baru ‘bermain-main dan mencari dengan serius pencapaian estetikanya. Hasilnya, tak selalu harus dipajang dalam ruang museum, melainkan bias di ruang-ruang publik.
Pada salah satu tahun perhelatan biennale di Jerman, banyak para seniman yang karyanya kebanyakan berupa trimatra; instalasi, patung, happening Art, justru mengambil tempat di ruang-ruang publik; taman kota, kantor pos, kantor pemeritahan, pusat-pusat perbelanjaan. Dalam konsepsinya disebutkan; pengambilan tempat di ruang-ruang poublik dimaksudkan sebagai pendekatan apresiasi masyarakat terhadap seni.
Di Bali, jika pameran-pameran lukisan sudah menjadi keseharian, maka perlu suatu wadah kolosal untuk memberi ruang kepada para seniman Bali untuk melakukan suatu terobosan baru dalam kiprah proses kreatif mereka. Wadah paling tempat untuk memberi ruang baru bagi pencarian baru adalah Bali Megarupa ketika ia dikonsepkan sebagai ‘laboratorium seni!
Akhirnya, Mau Layu atau Mekar
Bali Megarupa telah berlangsung dua kali. Jika ini berjalan terus, maka segala hal harus diperhitungkan. Apalagi hajatan ini sepenuhnya ditanggung oleh Pemprov Bali. Untuk kali ini, kita semua tentu berharap tidak lagi gagal seperti even-even besar di masa lalu di Bali, sekali terselenggara lalu mati. Padahal kalua dipikir secara selintas saja; apa sih yang kurang dari Bali? Nama Bali sudah besar, ada puluhan ribu seniman, tempat tersedia di mana-mana, kondisi kebebasan kreatif juga terjaga baik.
Inilah tantangan Pempov Bali dan khususnya Dinas Kebudayaan Bali dalam membangun satu even besar berwibawa dalam bidang seni rupa. Karena mumpung pemerintah daerah mau menanggung semuanya, maka inilah kesempatan untuk ‘membesarkan’ Bali Megarupa, bila perlu kelak setara dengan Sydney Biennale yang dilakukan dengan sangat professional dan perfect. Bali harus punya satu hajatan besar yang berwiwabawa dan menjadi iconic dalam even seni rupa dunia.
Terselenggara dua kali masih belum menjadi parameter untuk menilai Bali Megarupa secara karakteristik. Tetapi terselenggara dua kali adalah hal yang memberi harapan bahwa Bali Megarupa berpeluang untuk berlanjut menjadi menjadi mekar atau menjadi layu. Kita ingat misalnya pameran seni rupa di Pesta Kesenian Bali (PKB), puluhan tahun pameran seni rupa itu hanya sekadar ada, akhirnya tak lebih dari sekadar pelengkap konten acara PKB. Bukan tak mungkin Bali Megarupa ini pun berpeluang menjadi pameran seni rupa seperti di PKB itu jika tidak ‘dirawat’ dengan penanganan yang canggih dari aspek manajemennya, antusiasme untuk memiliki sebuah even besar, memperhitungkan setiap detail kecil dari persiapan even ini.
Pada akhirnya, Bali Megarupa bisa berakhir seperti itu, mejadi layu atau mekar harum semerbak ke seluruh kolong jagat! (PS/30102020)