
balitribune.co.id | Denpasar - Buda Kliwon Wuku Pahang atau yang lebih dikenal dengan hari Pegat Uwakan atau Pegatuwakan. Pegatuwakan menandai berakhirnya rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan yang pada bulan ini jatuh pada Rabu (13/7).
Ida Bagus Subrahmaniam Saitya (31) Dosen di Kampus UHN I Gusti Bagus Sugriwa pengampu mata kuliah Bhagavad Gita dan Studi Pernaskahan menjelaskan, pada Buda Kliwon Wuku Pahang ini, umat Hindu di Bali mencabut penjor yang menghiasi luar pekarangan rumah. Penghias penjor akan dibakar dan dan abunya dimasukkan ke dalam kelapa “nyuh gading” atau kelapa gading yang dikasturi setelah itu ditanam dilubang tempat penjor dipasang.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan, “Pahang, Buda Kliwon Pegatwakan, ngaran, pati warah panelasning mengku, biana semadi, waraning Dungulan ika, wekasing perelina, ngaran kalingan ika, pakenaning sang wiku lumekasang kang yoga semadi, umoring kala ana ring nguni, saha widi-widana sarwa pwitra, wangi-wangi, astawakna ring sarwa dewa, muang sesayut dirgayusa abesik, katur ring Sang Hyang Tunggal, panyeneng tatebus.
Arti dari lontar Sundarigama yaitu, Buda Kliwon Wuku Pahang disebut Pegatwakan yang berarti berakhirnya tapa brata, Pegatwakan yang merupakan hari suci, umat Hindu di Bali pun melakukan persembahyangan, melaksanakan yoga semadi, dan menghaturkan upacara sesuai tuntunan Lontar Sundarigama yaitu mengaturkan “sasayut dirgayusa” yang tujuannya untuk memohon keselamatan dirinya, masyarakat dan dunia.
Bagus Subrahmaniam menambahkan bahwa sebagai titik akhir Hari Raya Galungan, umat Hindu yang sudah mendapatkan pengetahuan melalui proses pengendalian diri selama perayaan Hari Raya Galungan sebelumnya, dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Selama satu bulan tujuh hari, umat Hindu diajarkan untuk mengendalikan diri agar bisa hidup bersama dan menerapkan konsep dharma dalam kehidupannya. Dalam konteks berakhirnya rangkaian Hari Raya Galungan, umat Hindu senantiasa untuk selalu bisa menerapkan ajaran dharma,” tutupnya.