balitribune.co.id | Tabanan - Miris sekali kisah I Wayan Sumaratha (62) warga Jl. Pulau Menjangan 77 Banjar Dauh Pala Desa Dauh Peken, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan. Betapa tidak. Sudah 43 tahun lamanya ia berjuang agar bisa mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas tanah peninggalan buyutnya, Men Ngales. Tetapi usaha itu seperti membentur dinding tembok beton, karena lawan perkaranya adalah Kejaksaan Agung RI cq Kejaksaan Negeri Tabanan.
Kondisi fisik Wayan sudah tidak segar lagi mengingat selain faktor usia juga salah satu jari kakinya sudah diamputasi karena diabetes dan komplikasi sejumlah penyakit ikutan lainnya yang menggerogoti fisiknya setelah ditinggal mati sang istri. Meski begitu, semangat Wayan tidak mengendor. Api perjuangannya tak kunjung padam.
“Keadilan sangat mahal harganya dan tak bisa dijangkau oleh orang-orang kecil walau begitu saya akan terus berjuang,” ujar Wayan memperlihatkan setumpuk berkas bukti-bukti dalam perkara sengketa tanah itu, Jumat (12/7) pekan silam.
Perjuangan Wayan untuk mendapatkan kembali haknya itu sejak 1981 hingga 2024 ini belum ada titik terang juga. Total sudah 43 tahun Wayan berjuang untuk mendapatkan kembali tanah warisan tersebut. Namun usaha itu tak segampang membalik telapak tangan karena lawan perkaranya bukan sembarang orang. “Sama seperti semut melawan gajah,” terang Wayan.
Meski begitu, Wayan tegar menghadapi berbagai tekanan dan ancaman. Bahkan ia juga ditahan di LP Kerobokan pada 15 November 2021 sampai 3 Januari 2022, dengan tuduhan dugaan korupsi aset negara, berupa tanah kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Tabanan. Wayan bersama 5 orang saudaranya: I Nyoman Mudra, I Nengah Sudana, Putu Miasa, I Kade Kardana, dan I Komang Gunawan meringkuk dalam tahanan hanya karena mempertahankan hak-hak mereka.
Ketika di dalam tahanan itulah, kata Wayan, bangunan milik ahli waris di atas tanah bekas kantor Kejari Tabanan dibongkar oleh keluarganya sendiri atas perintah dan tekanan Ida Bagus dari Kejari Tabanan.
“Jika orang tua kalian mau dibebaskan dari tahanan di LP Kerobokan maka bangunan itu harus dibongkar,” jelas Wayan mengutip ancaman oknum-okum dari pihak Kejari Tabanan.
“Ini sungguh miris nasib orang-orang kecil yang tidak berdaya dalam menghadapi penguasa,” Wayan menambahkan dengan nada kesal.
Selain itu, kata Wayan, keluarga juga ditekan untuk menandatangani berita acara pengosongan dan pembongkaran bangunan di atas tanah seluas 1.890 M2 di Desa Dauh Peken, Br.Banjar Dauh Pala Tabanan.
Redaksi surat berita acara itu sudah dibuat sebelumnya oleh pihak Kejaksaan. “Walau berat hati tapi karena diancam, ya tanda tangani surat saja dengan pihak Kejaksaan dalam hal ini dengan Kasubag Pembinaan Arien Fajar Julianto,SH dan Kasi Pidsus Ida bagus Putu Widnyana,SH pada 23 Desember 2021,” terang Wayan mantan office boy Kejari Tabanan periode 1975-1983.
Menurut Wayan, tanah yang disengketakan itu dahulu dirampas oleh oknum-oknum tertentu secara tidak wajar untuk kepentingan tertentu. Dan itu bermula dari lahirnya surat pernyataan pelepasan hak oleh Nang Ngales terhadap tanah milik Men Ngales Pipil 287, persil 11, kelas II seluas 0,228 Ha dari luas awal 0,335 Ha tertanggal 14 Desember 1968. Tanah tersebut terletak di pesedahan Yeh Empas selatan subak kota No.181 atas nama pemilik Men Ngales dari Banjar Dauh Pala, Desa Dauh Peken. Men Ngales telah meninggal pada 15 Juni 1964 sesuai surat keterangan Kepala Desa Dauh Peken tertanggal 24 Desember 1983.
Terhadap surat pelepasan hak tanah itu, kata Wayan, cacat hukum alias palsu karena Nang Ngales telah meninggal dunia pada masa penjahan Jepang sekitar 1944. “Mana mungkin orang yang sudah mati hidup kembali untuk melepaskan hak tanah kepada Kejari Tabanan dengan menerima ganti rugi sebesar Rp 122.500,” tanya Wayan.
Hal berikut, adalah soal surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Bali No.75 s/d 79 tertanggal 30 September 1974 yang menyebutkan bahwa tanah Nang Ngales dengan pipil No.287, persil 11, kelas II, luas 0,228 Ha dinyatakan menjadi milik Negara.
“Jadi, ini adalah tindakan melawan hukum karena tanah milik Men Ngales dijadikan tanah negara oleh pemerintah,” kata Wayan.
Dengan dua hal tersebut, maka pada 2 Maret 2021 Wayan Sumaratha melaporkan adanya tindakan melawan berupa pemalsuan identitas Nang Ngales (alm) dan surat keputusan Gubernur Bali kepada Polda Bali yang dinilai merugikan para ahli waris Men Ngales.
“Atas laporan pemalsuan itu, saya sudah diperiksa oleh Penyidik di Polda Bali pada bulan Desember 2023,” jelas Wayan.
Sementara Penyidik juga sudah melayangkan surat undangan ke Kejari Tabanan, yang pertama pada 10 Januari 2024 dan kedua 12 Juni 2024. Namun Kejari belum memenuhi panggilan Penyidik.
“Kejari Tabanan minta agar Penyidik surati dulu Kejaksaan Agung RI baru mereka penuhi undangan,” kata Wayan Sumeratha mengutip keterangan Penyidik di Polda Bali. Penyidik, kata Wayan, belum dapat mengirim surat ke Kejaksaan Agung oleh karena masih menunggu perintah atasannya.
Pada bagian lain Wayan Sumeratha menjelaskan bahwa hanya karena mempertahankan hak atas tanah warisan Men Ngales, maka dia bersama I Nyoman Mudra, dan I Nengah Sudana akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Bali pada 15 Februari 2021 dengan dugaan tindak pidana korupsi aset negara berupa tanah eks kantor Kejari Tabanan.
“Saya kemudian ditahan di Rutan di Lapas Kerobokan dari 5 Desember 2021 dan baru dibebaskan pada 3 Januari 2022,” ujar Wayan.
Namun, menurut Wayan Sumeratha, sampai saat ini perkara itu masih menggantung walaupun Kejati Bali telah melaporkan ke KPK RI pada 15 Februari 2021 bahwa para tersangka telah diperiksa Jaksa Penyidik pada Kejati Bali.
“Entah sampai kapan nasib kami digantung oleh penegak hukum di Bali,” tanya Wayan. “Kami dituduh melakukan korupsi aset negara, padahal sejatinya tanah eks kantor Pertanahan Tabanan, itu adalah tanah warisan dari Men Ngales. Ahli waris masih tetap membayar pajak atas nama Men Ngales walaupun Men Ngales sudah meninggal pada 15 Juni 1964. “Besarnya nilai pajak tahun 2024 sebesar Rp719.796, sudah lunas dibayar,” terang Wayan.
Wayan juga masih harus berurusan dengan masalah hukum tentang pelepasan tali pengikat baliho Kejari Tabanan yang terpasang di lokasi tanah yang disengketakan itu.
Terjadinya pelepasan tali pengikat baliho itu karena Wayan Sumeratha merasa geram atas sebuah tulisan "Tanah ini milik Kejaksaan" yang terpajang di lokasi tanah miliknya itu. Sebagai pemilik tanah, wajar dia melawan untuk mempertahankan haknya atas kepemilikan tanah warisan Men Ngales.
Dalam kasus ini, Wayan Sumeratha kembali dipanggil oleh Penyidik di Polres Tabanan pada 10 Juli 2024. Panggilan itu terkait Penyidik akan melaksanakan pelimpahan terhadap tersangka dan barang bukti ke Kejari Tabanan.
“Kami ahli waris Men Ngales bayar pajak ke Negara tiap tahun, tapi Kejari Tabanan yang mengusai tanah itu. Apakah itu dibenarkan menurut hukum. Adilkah,” kata Wayan Sumeratha.
Oleh karena itu, Wayan Sumeratha menegaskan, masalah ini akan dilaporkan ke Jaksa Agung RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.