FOKUS : Politisasi Masalah Papua | Bali Tribune
Diposting : 27 June 2016 12:45
habit - Bali Tribune
Herdiansyah
Herdiansyah Rahman

Oleh: Herdiansyah Rahman

Ada dua momentum yang ditunggu-tunggu kalangan aktivis separatis Papua yang berafiliasi dengan Gerakan Separatis Papua atau OPM yaitu Hari Proklamasi West Papua tanggal 1 Juli 2016 dan rencana pelaksanaan KTT pemimpin negara Melanesian Spearhead Group (MSG) tanggal 14 Juli 2016 di di Honiara, Kepulauan Salomon. Kedua momentum tersebut, tidak perlu diikuti atau dirayakan oleh masyarakat Papua, karena integrasi Papua dalam NKRI sudah final.

Menyikapi kedua momentum yang akan dirayakan oleh kelompok separatis di Papua tersebut, beberapa organisasi antara lain Parlemen Nasional West Papua (PNWP) melalui ketuanya Buchtar Tabuni gencar melakukan propaganda terutama melalui media sosial.

Isi propaganda Buchtar Tabuni antara lain KTT Pemimpin negara MSG tanggal 14 Juli 2016 di Honiara nanti memiliki nilai strategis dan bermanfaat menegakkan wibawa dan harga diri bangsa Papua. Selanjutnya, propaganda berbunyi pada tanggal 14 Juli 2016 perwakilan bangsa Papua, ULMWP akan menjadi anggota penuh MSG yang berarti bangsa Papua telah diakui sejajar dengan bangsa lain di Melanesia. “Seluruh dunia sedang memasang mata dan telinga untuk mendengar kesungguhan hati rakyat Papua mendukung ULMWP pada tanggal 14 Juli 2016 nanti. Kita masih memiliki waktu lakukan konsolidasi umum untuk merapatkan barisan sambil menunggu komando,” seru Buchtar Tabuni.

Banyak kalangan di Papua memprediksikan jelang KTT MSG segala bentuk propaganda seringkali dilakukan kelompok separatis baik melalui media sosial, surat terbuka, demonstrasi, dan selebaran-selebaran. Bagaimanapun rencana peringatan Hari Proklamasi West Papua jelas merupakan momentum yang dipolitisasi oleh kalangan aktivis Papua terutama yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Parlemenn Rakyat Daerah (PRD), Parlemen Nasional West Papua (PNWP) maupun United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sedangkan tuntutan ULMWP menjadi anggota MSG adalah contoh internasionalisasi masalah Papua.

Perlu digarisbawahi, peringatan kemerdekaan West Papua ataupun keinginan ULMWP menjadi anggota tetap MSG tidak akan pernah terjadi, karena keduanya merupakan “political yapping” yang selalu disuarakan oleh kelompok pro Gerakan Separatis Papua (GSP) dengan tujuan akhir untuk kepentingan pribadi mereka masing-masing.

Perlu diketahui, status ULMWP di KTT MSG adalah sebagai pengamat yang tidak memiliki hak suara. Posisi ULMWP di MSG sebagai pengamat saja sebenarnya merupakan “blunder politik” dari kegagalan diplomasi Indonesia, karena sebelumnya dalam setiap KTT MSG, massa ULMWP hanya mampu mengadakan unjuk rasa saja tapi tidak dapat memasuki ruangan pertemuan KTT MSG, namun sekarang dengan status mereka sebagai pengamat, maka hanya ikut mendengarkan jalannya KTT MSG saja dalam ruangan rapat, tapi tidak memiliki hak suara. Kondisi ini jelas merugikan Indonesia dibandingkan ULMWP bukan sebagai pengamat di KTT MSG.

Apalagi jika ULMWP diterima menjadi anggota tetap KTT MSG, maka jelas merupakan “kekalahan diplomasi” Indonesia sehingga dapat dipastikan Indonesia sebagai anggota KTT MSG akan menolak keras ULMWP sebagai anggota tetap MSG dikarenakan ULMWP tidak mewakili rakyat Papua, ULMWP bukan negara, ULMWP adalah organisasi ilegal yang pro kelompok separatis dan Papua masih wilayah sah dari Indonesia sehingga suara Papua akan diwakilkan oleh delegasi resmi Indonesia.

Jika sampai ULMWP diterima menjadi anggota tetap KTT MSG, maka hampir dapat dipastikan Indonesia akan melakukan langkah yaitu keluar dari MSG dan memutuskan hubungan diplomatik dengan negara-negara MSG yang pro ULMWP, karena Indonesia mencintai perdamaian namun lebih mengutamakan kemerdekaan dalam hal ini menjaga marwah dan martabat negara.

Masalah HAM yang terjadi di Papua juga sering dipolitisasi oleh berbagai kalangan di Papua, seperti yang terjadi dalam acara yang diadakan di salah satu hotel di Jayapura, yang intinya mengkritisi pembentukan tim penyelesaian masalah HAM Papua oleh Pemerintah.

Banyak kalangan salah menafsirkan statement Presiden Jokowi yakni penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sehingga tidak menimbulkan permasalahan di masa mendatang. Ini berarti, jangan sampai ada politisasi dan internasionalisasi masalah pelanggaran HAM.

Ternyata berdasarkan pernyataan salah satu pembicara dari NGO di Papua yaitu pihak asing juga turut ikut memantau dalam masalah pelanggaran HAM di Papua (Australia), hal ini mengakibatkan penyelesaian pelanggaran HAM sesuai UU 26 menjadi tidak dapat berjalan dengan baik. Menurutnya, kiblat masalah Papua sekarang ada di Pasific Selatan sehingga Pemri berusaha mencari pengaruh kepada negara-negara Pasific Selatan. Pernyataan ini samar-samar menjelaskan dalam masalah Papua ada subversi asing yang bekerja melalui komprador atau tangan kanannya di Papua.

Pernyataan positif hanya disampaikan oleh Matius Murib dan Jhon Rumbiak. Menurut Matius Murib, selesai dan tidaknya masalah HAM adalah masalah teknis yang dijawab oleh waktu.

“Presiden RI yang merespon masalah penyelesaian HAM di Papua sehingga menekankan kepada Menkopolhukam untuk mengambil langkah-langkah secara cepat. Inisiasi dan perhatian Presiden RI kepada Papua harus diapresiasi,” ujar Direktur Lembaga Perlindungan HAM sambil menambahkan penyelesaian kasus Wasior dan Wamena dapat berjalan ke arah positif.

Sedangkan Jhon Rumbiak menyampaikan, masalah pelanggaran HAM di Papua baik berat atau tidak semuanya harus dikategorikan ke pelanggaran HAM berat karena tugas negara adalah sebagai pelindung HAM.

Menurut penulis, kalangan NGO di Papua ataupun aktivis lainnya “terlalu dini” bersikap skeptis terhadap tim penyelesaian masalah HAM Papua yang dibentuk pemerintah, padahal dalam tim tersebut sudah duduk atau dipilih tokoh-tokoh Papua yang cukup kapabel, dimana semua stakeholders di Papua lebih baik menyampaikan aspirasi, masukan dan data soal HAM Papua kepada tokoh Papua yang duduk di tim tersebut, daripada menggelar unjuk rasa atau kegiatan lain yang kurang bermanfaat.

Lastb but not least, semua kalangan di Papua termasuk KNPB, ULMWP, PNWP dll harus menyadari bahwa pemerintah Indonesia sangat mencintai Papua dan sangat menghormati Papua, terbukti dengan pembangunan fisik dan SDM di Papua yang diakselerasi untuk diwujudkan secepatnya.

Penulis adalah pemerhati masalah Papua dan aktivis di Galesong Institute.