![](https://balitribune.co.id/sites/default/files/styles/xtra_large/public/field/image/MBED-MBEDAN.jpg?itok=EszhJGmH)
Mangupura | Bali Tribune.co.id - Ngembak geni atau sehari setelah Hari Raya Nyepi, Jumat (8/3) langsung disambut suka cita oleh krama Desa Adat Semate, Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Badung dengan menggelar tradisi mbed-mbedan.
Tradisi mirip olahraga tradisional tarik tambang ini memang rutin dilaksanakan oleh warga setempat untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan. Seperti tahun sebelumnya, tradisi mbed-mbedan dilaksanakan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Semate, atau tepatnya di Jalan Raya Kapal-Abianbase.
Tradisi mbed-mbedan ini sempat berhenti atau tidak diadakan selama puluhan tahun, namun kembali dilaksanakan pada tahun 2011, bertepatan pada tanggal 1 pada sasih kedua. Hingga kini mbed-mbedan diadakan setiap satu tahun sekali, bertepatan pada satu hari setelah Hari Raya Nyepi.
Pantauan koran ini, sebelum tradisi dimulai, warga melaksanakan persembahyangan di pura. Salah satu yang dihaturkan adalah ketupat dan jajan bantal yang biasa disebut tipat bantal. Setelah itu, sesuai arahan prajuru, warga menuju depan pura. Jro Mangku kemudian menghaturkan sesajen di jalan raya, sementara telah disiapkan alat mbed-mbedan berupa ‘bun kalot’ dan tali tambang.
Berdasarkan komando prajuru, diadakanlah tradisi serupa tarik tambang tersebut. Sarana pertama yang digunakan adalah bun kalot. Tanaman merambat ini sebagai simbol saja. Setelah itu, dilanjutkan dengan tali tambang. Peserta mbed-mbedan pun bergilir, mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga yowana atau remaja. Diiringi baleganjur dan sorak sorai, tradisi berjalan meriah.
Usai ‘tarik-tambang’, warga kembali masuk ke dalam pura. Dilanjutkan dengan makan bersama tipat bantal yang telah dihaturkan sebelumnya. Tak berhenti di situ, usai makan bersama dilaksanakan sesi bersalam-salaman dan saling memohon maaf.
Menurut Bendesa Adat Semate, I Gede Suryadi tradisi ini adalah ajang untuk bersilaturahmi dan saling maaf-memaafkan antar krama (warga). Tradisi ini kata dia sudah dimulai sejak Tahun Saka 1396 atau 1474 Masehi.
Tradisi ini untuk mengingat kedatangan Rsi Mpu Bantas yang dahulu kala melakukan perjalanan ke kawasan tersebut. Di lokasi, sang Rsi bertemu dengan keturunan Mpu Gnijaya yang tak sependapat dengan raja yang berkuasa saat itu. Sang Rsi lalu menyarankan warga membuat tempat pemujaan karena kawasan tersebut angker. Karena tarik ulur dalam penentuan nama pura, Rsi Mpu Bantas lalu memberikan kahyangan ini nama Putih Semate. Kata putih diambil berdasarkan tempat ini banyak ditumbuhi kayu putih. Sedangkan Semate, karena krama berkomitmen untuk bersatu sehidup semati.
"Tradisi ini bagi kami sangat penting dan menjadi warisan para pendahulu kami di Desa Semate,” katanya.
Sementara Bendesa Adat Abianbase, I Made Sunarta yang juga hadir dalam tradisi tersebut menilai tradisi ini penting dilestarikan guna meneladani persatuan para pendahulu. Termasuk dalam pengambilan keputusan, terkadang terjadi tarik ulur seperti tarik-menarik dalam Mbed-mbedan ini. Namun selalu diselesaikan dengan hati nurani yang baik, dibimbing panglingsir atau orang tua.
"Kami sangat mendukung tradisi ini lestari sampai kapan pun. Karena di balik tradisi mbed-mbedan ini memiliki makna yang sangat penting bagi tatanan masyarakat Desa Semate," kata Sunarta yang juga Wakil Ketua DPRD Badung ini. ana