Diposting : 18 October 2018 20:57
Putu Agus Mahendra - Bali Tribune
BALI TRIBUNE - Kemarau panjang yang terjadi sejak beberapa bulan belakangan kini semakin mengkhawatirkan. Selain kelangkaan air dialami warga di sejumlah wilayah di Jembrana, kini sumber air irigasi juga mengering akibat debit air sungai menyusut.
Tidak adanya suplai air ke areal pertanian menyebabkan persawahan mengalami kekeringan. Akibatnya, selain sejumlah subak batal melakukan pola tanam padi maupun palawija, hektaran tanaman padi juga kini ternacam gagal panen.
Kondisi persawahan yang mengalami kekeringan salah satunya terjadi di persawahan kawasan Subak Dauh Jelinjing, Desa Budeng, Kecamatan Jembrana. Hektaran tanaman padi di areal subak ini yang rata-rata baru sebulan ditanam kini tidak mendapatkan pasokan air.
Bahkan separuh dari areal persawahan di kawasan subak yang luasnya mencapai 40 hekatare ini kini juga sudah tampak mengering. Salah seorang petani subak setempat, Made Kama Ratih mengatakan air sudah tidak lagi mengalir ke persawahan sejak mulai musim tanam sebulan lalu. “Sudah sebulan air tak mengalir sama sekali ke persawahan” imbuhnya.
Menurutnya, petani harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menanggulangi kekeringan agar tanaman padi mereka bisa bertahan. Petani kini hanya bisa mengairi sawahnya dengan memanfaatkan air sumur bor.
“Setelah air irigasi mengering, bahkan hujan tak kunjung turun, tanah persawahan di sini sekarang sudah tampak pecah-pecah. Sebagian hamparan sawah yang dibatasi jalan desa memang masih terlihat hijau karena diselamatkan dari air sumur pompa, dibuat swadaya oleh petani tentunya dengan biaya ekstra dikeluarkan petani,” ungkapanya.
Dikatakannya, sumber irigasi sawah di subak ini berasal dari Bendung Jero Pengentuh di hulu desa. Namun diakuinya tidak semua petani di subak ini mampu membuat sumur bor, bahkan air sumur bor milik beberapa petani tidak optimal untuk mengairi areal persawahan yang sudah mengering ini.
Sejumlah petani, menurutnya, sudah pasrah dengan kondisi tanaman mereka yang meranggas “Banyak sawah yang berisi tanaman padi kini sudah layu dan mati. Matinya tanaman padi di sini karena telat mendapat air. Makanya banyak petani membiarkan sawahnya kering,” jelasnya.
Ia mengaku menggarap sawah seluas 40 are, dan saat ini berusaha menyelamatkan padinya dengan menyiram menggunakan air sumur bor yang dibuatnya di sawah.
“Kebetulan kami di subak diberikan pinjaman mesin pompa air. Setiap hari disiram. Tapi satu hari hanya mampu menyiram satu petak dari 4 petak sawah yang kami garap, dan itu pun tak sampai penuh hanya bisa membasahi tanahnya. Karena sudah telanjur banyak biaya yang sudah keluar untuk merawat padi ini, terpaksa menyiram hanya pakai air sumur bor,” paparnya.
Bahkan, ia bersama sejumlah petani krama subak setempat sudah lebih dari 10 kali menyedot air sejak dilanda kekeringan. Bahkan biaya yang harus dikelurkan setiap petani untuk sekali menyedot air mencapai Rp 200 ribu untuk membeli bahan bakar mesin. “Mudah-mudahan saja bisa berhasil hingga panen,” imbuhnya.
Selain di Subak Dauh Jelinjing, subak lainnya, yakni Kawis Budeng yang hanya dibatasi jalan desa dengan Subak Dauh Jelinjing, hektaran sawah tampak mengering. Di sejumlah petak sawah, bibit padi yang sudah mulai disemai juga tampak layu dan mati karena tidak mendapatkan air. Sejumlah traktor tangan dibiarkan begitu saja di tengah persawahan karena sawah yang kering tidak dapat dibajak.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Jembrana, I Wayan Sutama menyatakan dari 64 subak basah di Jembrana saat ini yang melaporkan mengalami kekeringan baru subak Jelinjing Budeng. Sedangkan subak lainnya yang kekurangan air adalah yang di luar pola tanam yang telah ditentukan.