BALI TRIBUNE - Keandalan listrik Bali menjadi topik yang menarik dalam diskusi publik yang digelar Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Yayasan Perlindungan Layanan Konsumen Indonesia (YPLKI) di Kantor DPD RI, Denpasar, Jum'at (20/4). Diskusi yang di pandu wartawan Senior, Nengah Muliarta menghadirkan narasumber GM PLN Distribusi Bali, I Nyoman Swarjoni, Kabid ESDM dan Ketenagakerjaan, Putu Agus Budiana, Direktur YLKI, Tulus Abadi, dan seorang akademisi dari Universitas Udayana (Unud), Prof Ida Ayu Giri Antari.
Sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PLN hanyalah sebuah unit usaha dimana sebagai organisasi harus bagus, terhadap masyarakat harus memberikan pelayanan yang baik. Apalagi jika dikaitkan dengan Bali, dimana secara pertumbuhan, ekonomi Bali lebih baik dari daerah lain. Akibatnya kebutuhan listrik pun meningkat dari tahun ke tahun, meskipun Bali bukan daerah industri, tapi kebutuhan listrik patiwisata cukup tinggi. Kebutuhan yang cukup tinggi ini mestinya dibarengi dengan dibangunnya infrastruktur baru dalam mendukung keandalan kelistrikan Bali. "Kalau kita mau menikmati fasilitas yang baik, ya kita juga harus berani menerima," begitu diungkapkan Kabid ESDM Provinsi Bali, Putu Agus Budiana.
Hal itu dikatakan Putu Agus terkait proyek pembangunan Jawa Bali Crossing (JBC) yang hingga kini masih tersendat akibat adanya penolakan dari segelintir orang. "Melalui diskusi macam ini bisa kiranya dicarikan solusi. JBC itu merupakan win win solution, karena kalau membangun sendiri tentunya akan mahal" katanya.
Apalagi ditambahkan Putu Agus, program JBC sebenarnya bagian dari apa yang didorong pemerintah provinsi Bali bagaimana mewujudkan keandalan listrik Bali berwawasan lingkungan, "clean and green". "Pasalnya kalau kita bangun sendiri infrastrukturnya tentu akan mahal sekali, dan tidak efektif, apalagi efisien," ucapnya.
Sedangkan Ketua YLKI, Tulus Abadi menyikapi adanya penolakan itu menegaskan, adanya penolakan ini merupakan pelanggaran hak hak publik. Menurutnya berbicara kelistrikan bukan berarti harus mengurangi konsumsi listrik, tapi memggunakannya secara rasional. "Pun demikian penolakan itu harus didasari hal yang rasional," sebut Tulus.
Lantas senafas dengan apa yang disampaikan Putu Agus, Tulus juga menyatakan JBC bisa menjadi win win solution, pasalnya, sistem interkoneksi bisa jadi kelebihan Bali sebagai "green and clean island", akan menurunkan biaya pokok penyediaan listrik, tidak banyak memakan lahan untuk pembebasan lahan, lebih ramah lingkungan daripada membangun pembamgkit baru, apalagi PLTU. "Jadi pada dasarnya interkoneksi merupakan sebuah keniscayaan untuk peningkatan pelayanan listrik," tandasnya.
Sedangkan Akademisi dari UNUD, Prof Ida Ayu Giri Antari menambahkan, masyarakat jangan terjebak dalam kepentingan kelompok tertentu, pasalnya apapun pembangunan pembangkit baru di Bali akan merusak tatanan pariwisata Bali. "Kalau sampai ada pembangkit besar di Bali, artinya tidak lagi sesuai dengan program clean and green pemerintah," katanya.
Sedangkan GM PLN Distribusi Bali, Nyoman Swarjoni dalam kesempatan ini lebih banyak memaparkan bagaimana menuju keandalan kelistrikan Bali, pertumbuhan, serta suplai. Sedangkan terkait JBC ia katakan masih berproses. "Semua lagi berproses, kita tunggu saja nanti," katanya singkat.