Loloskan 54 Transaksi Bodong, Dirut BPR Jadi Tersangka | Bali Tribune
Diposting : 26 April 2018 15:49
Redaksi - Bali Tribune
bank
Barang bukti berkas terkait kasus penyelewengan di BPR KS Bali Agung Sedana saat rilis di Mapolda Bali, Rabu (25/4).

BALI TRIBUNE - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkoordinasi dengan Dit Reskrimum Polda Bali menetapkan direktur utama BPR KS Bali Agung Sedana, Ni Nyoman Supariani sebagai tersangka atas penyelahan wewenang dalam meloloskan transaksi bodong sebanyak 54 debitur dengan total uang mencapai Rp24 miliar lebih. Puluhan transaksi itu hanya dilakukan oleh seorang direktur perusahaan penyalur tenaga kerja Indonesia ke Jepang.

Saat ini, rekanannya itu masuk dalam target penyidik Polda Bali dalam kasus tindak pidana umum dan pencucian uang. Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan, Irjen Pol Rahmad Sunanto, didampingi Wakapolda Bali, Brigjen Pol, I Gede Alit Widana, menerangkan, terungkapnya kasus tindak pidana perbankan ini berdasarkan hasil investigasi pihak OJK yang menemukan kejanggalan prosedur dalam meloloskan transaksi senilai puluhan miliar.

Sehingga dilakukan penyelidikan mendalam dan ditemukan bahwa Direktur BPR KS Bali Agung Sedana yang juga sebagai pemilik saham menyalahi aturan dengan memerintahkan pegawainya untuk meloloskan dan melakukan transaksi 54 debitur senilai Rp24. 255.000.000 pada periode Maret 2014 silam. “Prosesnya tidak sesuai dengan prosedur, sehingga menyebabkan pencatatan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perbankan,” ungkapnya kepada wartawan di Mapolda Bali.

Atas temuan itulah, OJK mengeluarkan surat pencabutan ijin melalui dewan komisioner dengan nomor KEP-202/D.03/2017 terhitung sejak tanggal 3 November 2017 lalu. Terhadap Direktur Utamanya ditetapkan sebagai tersangka. Meski menyandang stantus itu, sang direktur tidak ditahan dan prosesnya saat ini sudah sampai pada meja pengadilan. “Karena batas waktu 180 hari untuk penyehatan terhadap bank tidak terpenuhi, sehingga kita cabut ijinnya,” terang jendral bintang dua ini.

Wakapolda Bali, Brigjen Pol I Gede Alit Widana, mengatakan, bahwa kasus yang ditangani oleh OJK sejatinya ada keterkaitan dengan laporan yang masuk di Polda Bali. Ada dua pelapor dalam satu laporan, yaitu laporan momor; LP/97/III/2018/Bali/SPKT pada 14 Maret. Dua korbanya adalah Kadek Septian Dwi Cahyadi dan I Putu Arnawa. Dalam laporan mereka, bahwa sertifikat tanah sebagai jaminan keberangkatan mereka ke Jepang sebagai TKI melalui jalur PT IHSC, Jalan Pulau Moyo Gang Merpati nomor 8 Denpasar telah di ajukan oleh perusahaan yang dipimpin oleh pria berinisial JAL.

Oleh JAL inilah, sertifikat digadaikan ke BPR dan uangnya digunakan untuk keperluan keberangkatan dan pelatihan para calon tenaga kerja yang bersangkutan. “Jadi si JAL ini menyarankan untuk menyerahkan sertifikat tanah kalau tidak memiliki uang sebagai syarat keberangkatan ke Jepang sebagai TKI. Karena menurut JAL, ada sejumlah pengeluaran yang akan dikenakan kepada calon TKI dengan kisaran uang dari Rp. 40.000.000 hingga Rp 60.000.000. Tapi, pada dasarnya, sertifikat yang di jaminkan di BPR itu diatas nominal yang ditentukan itu,” terangnya.

Dalam perjanjian dengan JAL dan calon tenaga kerja itu, bahwa jika tidak jadi diberangkatkan, uang jaminan dan uang pelatihan akan dikembalikan secarautuh. Tapi, kenyataannya hingga saat ini uang tersebut belum dikembalikan. Sebaliknya, sertifikat 54 debitur masih berada di BPR yang kini sudah dibekukan oleh OJK. Terhadap JAL, penyidik Dit Reskrimum Polda Bali masih mendalami keterangan sebanyak 10 orang saksi untuk menetapkannya sebagai tersangka.

“Saat ini status JAL masih sebagai terlapor. Kita masih kembangkan karena dokumen lain untuk menaikan statusnya masih dugunakan oleh OJK dalam perkara Dirut BPR di pengadilan. Dalam waktu dekat, kita akan meminta dokumen untuk melengkapi alat bukti untuk penentapan tersangka,” terangnya. Terlapor diduga melanggar pasal 378 KUHP dan 372 KUHP tentang tindak pidana penipuan dengan ancaman 4 masing-masing 4 tahun penjara.