balitribune.co.id | Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, yang dikenal juga dengan Bali Tourism Board (BTB), menghelat sebuah acara yang penting yang menghadirkan pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Bali 2025-2030, yakni dengar pendapat dan komitmen paslon terkait pengembangan pariwisata di Bali pada hari Jumat, 25 Oktober 2024 di Jimbaran Grand Ballroom, Badung. Acara tersebut dinilai penting karena Bali bertumpu kepada sektor pariwisata dan bagaimana arah pariwisata lima tahun ke depan sangat ditentukan oleh kebijakan yang dijalankan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih.
Satu hal yang menarik dari acara ini adalah bahwa seluruh asosiasi pariwisata Bali yang berada dalam payung GIPI Bali/BTB ikut mengajukan pertanyaan kepada paslon tentang kebijakan dan strategi yang dijalankan untuk mengatasi persoalan pariwisata Bali yang belakangan ini mulai dicemaskan oleh banyak pihak. Ketua GIPI Bali/BTB, Ida Bagus Agung Partha Adnyana, dalam pengantarnya menekankan pentingnya acara ini bagi para pelaku industri pariwisata karena kebijakan dan strategi yang disiapkan paslon akan menentukan sikap dan arah dukungan mereka dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur nanti. Baginya, pelaku pariwisata Bali memiliki 1,2 juta suara potensial yang belum termasuk anggota keluarga mereka. Ini artinya bahwa suara dari pelaku pariwisata sangat besar dan karena itu arah dan dukungan mereka sangat ditentukan oleh kebijakan dan strategi serta komitmen paslon terhadap pengembangan pariwisata Bali.
Dalam sambutan pengantar itu, Ketua GIPI Bali/BTB juga menyampaikan kekhawatirannya jika kedua paslon tidak memiliki kebijakan dan komitmen yang jelas, maka pariwisata Bali akan mengalami kemunduran, yang tentu saja akan berdampak besar pada pembangunan di berbagai sektor di Bali. Pada akhirnya ia menegaskan bahwa kalangan pariwisata Bali hanya akan memilih paslon yang memiliki visi yang kuat terhadap pengembangan pariwisata Bali.
Kita mengapresiasi apa yang dilakukan oleh GIPI Bali/BTB karena memperlihatkan betapa GIPI Bali/BTB memiliki kepentingan yang konstruktif dengan para paslon yang mereka undang dalam acara itu. Kita juga memahami pesan yang dikirimkan Ketua GIPI Bali/BTB melalui sambutannya bahwa mereka memiliki suara potensial yang sangat besar jumlahnya dan akan memberikan dukungan politiknya hanya kepada paslon yang memiliki kebijakan, strategi, dan komitmen yang kuat terhadap pengembangan pariwisata Bali. Kita melihat bahwa GIPI Bali/BTB ingin menunjukkan betapa kepemimpinan yang memiliki kebijakan dan holistik yang disertai dengan komitmen yang kuat akan mampu menghadapi tantangan di sektor pariwisata di masa mendatang. Bagaimanapun, kita meyakini bahwa Kebijakan holistik yang diambil oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih akan sangat memengaruhi kesuksesan pembangunan di Bali. Oleh karena itu, sekali lagi, kita mengapresiasi apa yang dilakukan oleh GIPI Bali/BTB ini dan berharap agar organisasi ini bisa menjadi rekan yang konstruktif dan strategis bagi Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih dalam memajukan dan mengembangkan pariwisata Bali.
Posisi GIPI Bali/BTB sebagai perwakilan utama para pelaku pariwisata akan memberikan bobot tekanan yang kuat kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih untuk menjalankan kebijakan dengan penuh konsekuen dan memenuhi semua janji yang diucapkan dalam acara itu dengan setia. Acara 'Hearing: Pariwisata Bali Mau Dibawa ke Mana' seakan memiliki makna bahwa GIPI Bali/BTB adalah partner strategis yang bisa diajak bekerjasama dalam pengembangan pariwisata di Pulau Dewata. Bagi kita, GIPI Bali/BTB adalah civil society yang dapat menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuatan pemerintah daerah (pemda), menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemda serta mampu mempengaruhi kebijakan pemda yang berorientasi kepada kepentingan umum, yang dalam konteks ini adalah kepentingan dunia pariwisata yang memang sangat dominan peranannya bagi kemajuan pembangunan di Bali.
Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali nomor urut dua, Koster-Giri, yang tampil pada sesi kedua tampaknya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menyampaikan kebijakan dan strategi yang bakal diambilnya saat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Bali nanti. Di hadapan ratusan praktisi pariwisata, akademisi dan pengamat pariwisata Bali, Koster-Giri memulai pemaparannya dengan menyajikan statistik kunjungan wisatawan, baik domestik maupun asing ke Bali dalam lima tahun terakhir dan pemulihan ekonomi pascaCovid-19. Akibat wabah Covid-19, tahun 2020 hingga 2022, kunjungan wisatawan ke Bali anjlok hampir ke titik nol. Namun tahun 2023 jumlah wisatawan asing, misalnya, mencapai 5.27 juta orang. Jumlah ini belum menyamai jumlah kunjungan wisatawan asing pada tahun 2019 yang mencapai 6.3 juta orang. Namun angka 5,27 juta orang itu bukanlah angka yang sedikit mengingat situasi pasca Covid-19 belumlah pulih sepenuhnya. Di sisi lain, Koster-Giri menunjukkan bahwa 11.68 juta orang wisatawan asing yang ke Indonesia pada tahun 2023, 45.16 persen adalah wisatawan asing yang masuk ke Bali. Sementara wisatawan domestik yang masuk ke Bali pada tahun 2023 berjumlah, 4.7 juta orang, hampir mendekati angka 4.98 sebelum Covid-19 melanda. Artinya, untuk wisatawan domestik ke Bali sudah dianggap normal dan pulih. Secara gamblang Koster-Giri menguraikan bahwa pariwisata Bali telah memberikan devisa yang sangat besar bagi negara. Devisa pariwisata Bali mencapai Rp 98 triliun., setara dengan 45 persen dari devisa pariwisata nasional. Koster-Giri kemudian menyajikan juga potret struktur ekonomi Bali di mana sektor pariwisata berkontribusi terhadap ekonomi Bali mencapai 65.96 persen. Kontribusi yang besar ini, menurut Koster-Giri, membuat pariwisata menjadi sektor unggulan sekaligus menjadikannya sebagai kekuatan untuk melakukan bargaining position dengan pemerintah pusat. Namun demikian, Koster-Giri mengingatkan bahwa kendati pariwisata demikian menonjol sebagai kekuatan pembangunan, pariwisata sangat rentan terhadap gangguan yang bisa menghancurkan, oleh karenanya perlu dijaga dengan baik oleh semua pihak.
Menariknya, dalam pemaparannya, Koster-Giri juga memperlihatkan ketimpangan antara wilayah Sarbagita dan luar Sarbagita jika dilihat dari sektor pariwisata. Jumlah hotel yang berada di Sarbagita mencapai 71 persen, sementara sisanya 29 persen berada di luar Sarbagita. Demikian pula jumlah restoran, 69 persen beroperasi di wilayah Sarbagita, sementara di luar Sarbagita kebagian 31 persen. Akibatnya, pendapatan asli dari pajak hotel dan restoran di Sarbagita mencapai Rp 9.9 triliun, sisanya berada di luar Sarbagita yakni Rp 1.5 triliun. Dari sisi produk domestik regional bruto, sebesar 185 triliun atau setara 67 persen berada di Sarbagita, sementara 90 triliun atau setara 33 persen berada di luar Sarbagita. Perekonomian di wilayah Sarbagita tumbuh 6.4 persen, sementara di luar sarbagita hanya tumbuh 3.7 persen. Bagi Koster-Giri, ketimpangan antara Sarbagita dan luar Sarbagita sangat tinggi dan dapat memicu timbulnya problem sosial dan lainnya di dua wilayah yang dari sisi luas dan jumlah penduduk yang sangat berbeda ini, luas Sarbagita hanya 32 persen dengan jumlah penduduk 2,3 jiwa sementara luar wilayah luar Sarbagita mencapai 69 persen dengan jumlah penduduk 2,1 jiwa.
Berbasis data yang dipaparkan di atas, Koster-Giri mencoba mendekati problem pariwisata Bali melalui tiga aspek, yakni alam, manusia dan kebudayaan Bali. Dari aspek alam, Koster-Giri mencatat beberapa hal yang krusial, yakni (1) tingginya alih fungsi lahan produktif sawah dan non sawah sebagai lahan bangunan akomodasi pariwisata; (2) produksi sampah semakin meningkat akibat banyaknya penduduk, pelaku pariwisata dan unsur lainnya yang semua menghasilkan sampah; (3) kerusakan ekosistem lingkungan akibat penggunaan air bawah tanah dan ancaman ketersediaan air bersih berupa penurunan debit dan kualitas air danau sungai dan laut; (4) kemacetan yang semakin tinggi khususnya di wilayah Sarbagita; (5) meningkatnya pelaku usaha dan investasi dari luar ke Bali karena maju pariwisata dan ekonomi Bali, dan ((6) meningkatnya kesenjangan perekonomian dan sosial antara wilayah Sarbagita dengan luar Sarbagita. Dari sisi manusia Bali, terdapat sejumlah masalah, yakni (1) tingginya migrasi penduduk, dari luar Sarbagita ke dalam Sarbagita dan dari luar Bali ke dalam Bali; (2) perubahan prilaku masyarakat Bali akibat pengaruh budaya asing; (3) berkurangnya kesempatan berusaha bagi masyarakat lokal, akibat banyaknya orang asing yang berusaha ilegal di Bali; (4) makin banyak orang asing berkedok wisatawan melakukan pembelian aset di Bali atau nominee; (5) terganggunya ketentraman masyarakat Bali dan rusaknya citra pariwisata Bali akibat perilaku wisatawan asing yang tidak tertib dan kriminal; (6) munculnya ancaman berupa perdagangan dan penggunaan narkoba dan prostitusi kesehatan dan keamanan; (7) munculnya komunitas orang asing yang eksklusif yang merusak keutuhan branding Bali; (8) munculnya orang asing praktek jual properti yang dibangun di Bali ke luar Bali; (9) kapasitas infrastruktur jalan yang tersedia saat ini kurang memadai, karena pembangunan selama ini menggunakan pendekatan jumlah penduduk lokal sehingga sarana prasarananya masih konvensional. Dan aspek budaya Bali muncul persoalan, di antaranya; (1) penodaan tempat suci dan sakral akibat banyak wisatawan yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma dan tradisi di Bali; (2) penodaan terhadap taksu budaya Bali akibat berkembangnya fasilitas pariwisata secara pesat dan tak terkendali; (3) rusaknya pakem dan keorisinilan budaya Bali akibat komersialisasi produk budaya Bali tanpa kendali; dan (4) banyaknya kesenian Bali yang ditampilkan secara tidak patut di hotel restoran dan tempat wisata.
Guna menghadapi dan menyelesaikan problematika di atas, Koster-Giri akan melakukan sejumlah hal, yakni (1) mempercepat dan memperkokoh penyelenggaraan pariwisata berbasis budaya berkualitas dan bermartabat, serta menjadikan pariwisata untuk membangun budaya Bali; (2) memberlakukan kebijakan dengan tegas. Perda RTRW, Perda Bali 10/2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Bali Tahun 2019-2029 dimana Perda ini sebagai road mapnya. Kemudian, ada Perda 5/2020 tentang Standar Penyelenggaraan Pariwisata Budaya Bali dan Pergub Bali 28/2020 tentang Tata Kelola Pariwisata Bali; (3) mendorong masuknya wisatawan yang cinta dan bertanggung jawab terhadap Bali; (4) menindak dengan tegas berbagai pelanggaran pembangunan villa ilegal dan usaha jasa pariwisata lainnya; (5) menindak tegas prilaku wisman yang tidak tertib dan melanggar norma budaya Bali; (6) mengendalikan dengan ketat pembangunan hotel di wilayah Badung Denpasar dan Gianyar; (7) membangun destinasi pariwisata baru berkelas dunia, berkualitas dan berdaya saing, diantaranya Turyapada Tower, Pusat Kebudayaan Bali, dan Taman Wisata KBS Park di Jembrana. Sekaligus menyeimbangkan pembangunan di Bali selatan, timur, utara dan barat; (8) membangun infrastruktur dan mengembangkan sistem transportasi yang berkualitas; (9) menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem alam dan lingkungan. Salah satunya masalah sampah harus selesai juga unsur polusi dan pencemaran lainnya; (10) memperkuat tata kelola kepariwisataan Bali serta melakukan pengaturan terhadap orang asing di Bali disertai tindakan tegas terhadap yang melakukan pelanggaran norma budaya Bali dan hukum.; (11) menjadikan pariwisata penggerak utama perekonomian lokal Bali dengan penggunaan produk lokal Bali; dan (12) meningkatkan keterlibatan masyarakat dan komunitas lokal Bali sebagai pelaku usaha jasa pariwisata.
Tentu saja, kebijakannya yang sangat pro pada sektor pariwisata ini membutuhkan biaya yang sangat besar, dan oleh karen itu Koster-Giri merancang skema untuk meningkatkan kapasitas fiskal Bali agar dapat membiayai pelaksanaan semua kebijakannya tersebut. yakni (1) mengoptimalkan pungutan asing sesuai Perda Bali 6/2023. Koster mengatakan saat ini penerapannya belum optimal; (2) melaksanakan program kontribusi perlindungan budaya dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat; (3) mengoptimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR); (4) mempercepat penyelesaian dan pengoperasian kawasan pariwisata Turyapada Tower yang akan menjadi sumber pendapatan bagi Provinsi Bali dan Kabupaten Buleleng; (5) mempercepat penyelesaian dan pengoperasian kawasan pusat kebudayaan bali (PKB) dengan kerja sama pihak ke ketiga; dan (6) pembiayaan melalui Bali Development Fund sebagai skenario jangka panjang agar Bali tidak hanya bergantung dari pendapatan asli daerah. Bali Development Fund mengelola dana hibah internasional, kemudian CSR, dana-dana filantropi dari berbagai negara atau pinjaman lunak yang dapat diputar, yang akan menjadi sumber pendapatan di luar sumber konvensional PAD. Dalam pandangan Koster-Giri, pariwisata merupakan sektor yang sangat penting, di samping bagi pertumbuhan ekonomi, juga bagi pemajuan budaya Bali. Khusus pemajuan budaya Bali ke depan, Koster-Giri akan mendorong agar masyarakat Bali menggunakan sektor pariwisata ini untuk membangun budaya Bali, dan sebaliknya, budaya Bali pulalah yang membangun pariwisata Bali. Bagi Koster-Giri, pariwisata Bali benar benar harus dijaga karena pariwisata adalah sumber ekonomi dan budaya yang tak akan habis dieksploitasi sampai kapanpun, apalagi sektor itu terus ditumbuh-kembangkan. Oleh karena itu, melalui jalur pariwisata, Koster-Giri berjanji akan membangun Bali secara lebih baik sehingga bisa mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat Bali.
Hemat kita, apa yang dipaparkan Koster-Giri di hadapan stakeholder pariwisata memperlihatkan kesungguhan mereka untuk membangun Bali menjadi lebih maju melalui pemajuan sektor pariwisata. Data-data yang diungkapkan berikut kebijakan dan strategi yang disiapkannya mencerminkan kecermatan mereka di dalam membaca dan memetakan persoalan serta kemampuan mereka untuk mengoperasikan kebijakan dan strategi tersebut. Koster-Giri juga memaksimalkan kehadiran mereka dalam forum itu menegaskan banyak hal, termasuk komitmennya untuk menaikkan derajat manusia Bali melalui pariwisata. Dan tanpa ragu, Koster-Giri mengaku siap bersinergi dengan para pelaku pariwisata untuk membangun sektor pariwisata demi memajukan Bali. Di sini, Koster-Giri memperhitungkan betul posisi pelaku pariwisata Bali yang dianggapnya sebagai kekuatan yang sangat strategis untuk bersama-sama membangun Bali. Koster-Giri memastikan bahwa jika mereka terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Bali 2025-2030 akan ada kelompok ahli (pokli) yang berasal dari pelaku pariwisata Bali agar bisa merumuskan kebijakan dan melakukan pengawasan secara bersama-sama. Koster-Giri pun merasa percaya diri bisa membangun Bali karena telah bertatap muka langsung dengan stakeholder pariwisata Bali dalam acara tersebut dan menegaskan bahwa jika Koster-Giri diberikan mandat untuk memimpin Bali maka mereka akan memastikan semua masukan dari stakeholder akan dijalankan semuanya dengan baik.
Akhirnya, kita sangat menaruh harapan kepada Koster-Giri untuk membawa Bali lebih maju lagi dengan cara mendorong sektor pariwisata menjadi kekuatan utama pemajuan Bali itu. Itu sebabnya mengapa Ketua GIPI Bali/BTB, Ida Bagus Agung Partha Adnyana, mengapresiasi secara khusus Koster-Giri yang disebutnya sebagai paslon yang sudah memahami betul ekosistem pariwisata Bali. Bahkan Ketua GIPI Bali/BTB secara eksplisit menyebut Koster-Giri sebagai paslon yang memiliki peta persoalan pariwisata Bali yang lebih konkret dan telah dengan gamblang menjelaskan apa yang harus mereka lakukan. Intinya, Koster-Giri dianggapnya lebih memahami kondisi pariwisata Bali karena keduanya adalah petahana pada posisi masing-masing. Sebagai publik, tentu kita ingin agar semua urusan kita dilakukan oleh ahlinya, oleh orang yang memiliki kemampuan memecahkan masalah kita, seperti kata orang bijak, berilah suatu persoalan kepada ahlinya, jika tidak, kita akan menyesal, Wallahu a'alamu bish-shawab...
Tabanan, 29 Oktober 2024.