
balitribune.co.id | Denpasar - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini resmi mengambil alih tongkat estafet pengawasan aset kripto dan inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK) dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Peralihan kewenangan ini mulai berlaku sejak 10 Januari 2025, sesuai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Hal ini disampaikan oleh Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, Ludy Arlianto, dalam kegiatan “Journalist Class” Angkatan ke-11 yang diikuti oleh jurnalis media massa dari Bali dan Nusa Tenggara, Selasa (27/5).
OJK mengklasifikasikan sektor ITSK dalam beberapa kategori, antara lain: Agregator Jasa Keuangan, yaitu platform yang mengumpulkan, menyaring, dan membandingkan informasi produk dan layanan jasa keuangan. Innovative Credit Scoring (ICS), sistem penilaian kredit menggunakan data alternatif selain data perbankan tradisional.Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (AKD-AK).
Saat ini, ekosistem kripto di Indonesia sudah cukup matang dengan hadirnya lima pedagang fisik aset kripto (PFAK), 30 calon pedagang, satu bursa kripto (PT Bursa Komoditi Nusantara), satu lembaga kustodian (PT Kustodian Koin Indonesia), dan satu lembaga kliring (PT Kliring Berjangka Indonesia).
Data OJK per Maret 2025 menunjukkan: Aset ITSK mencapai Rp608 miliar. Kemitraan ITSK berjumlah 925 entitas. Total transaksi mitra agregator jasa keuangan (PAJK) mencapai Rp2,245 triliun. Konsumen aset kripto sebanyak 13,71 juta, dengan 1.396 jenis aset kripto. Nilai transaksi kripto mencapai Rp109,3 triliun (YTD). Kapitalisasi pasar kripto Indonesia sebesar Rp29,47 triliun.
Sementara itu, laporan Indonesia Crypto and Web Industry Report 2024 dari Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) menyebut Indonesia menempati peringkat ke-3 global dalam adopsi kripto, dengan jumlah investor tembus 22,91 juta orang hingga 2024.
OJK juga mengatur skema sandbox, yakni mekanisme uji coba untuk produk inovatif, melalui POJK Nomor 3 Tahun 2024. Hingga kini, ada 93 peserta yang berkonsultasi untuk masuk ke sandbox sejak April 2024.
Model bisnis yang sedang diuji antara lain: Tokenisasi aset nyata (Real World Asset/RWA) seperti emas dan properti, Identitas digital, serta Open banking, stablecoin, dan crypto fund yang sedang dalam pipeline.
Menariknya, menurut CoinGecko, Indonesia menempati posisi kedua global dalam minat terhadap tokenisasi aset kripto.
Untuk memperkuat sektor ini, OJK telah melakukan beberapa langkah strategis, seperti:
Menerbitkan Roadmap IAKD 2024–2028. Menyusun POJK, SEOJK, SOP, dan pedoman pengawasan. Mengatur dan memproses perizinan untuk ITSK, sandbox, dan penyelenggara AKD-AK.
Mengeluarkan berbagai panduan teknis seperti keamanan siber, anti-fraud, perlindungan data pribadi, dan kode etik AI.
OJK juga membangun sinergi melalui konsep pentahelix dengan menggandeng lima elemen: pemerintah, pelaku usaha, akademisi, media, dan komunitas.
“Kami memiliki sistem informasi SPRINT untuk perizinan, E-Reporting untuk pelaporan industri, serta SIP IAKD untuk pengawasan berbasis risiko (RBS),” kata Ludy.
Beberapa asosiasi juga telah ditunjuk untuk memperkuat peran industri, seperti AFTECH (untuk fintech) dan AFSI (untuk syariah), yang turut menyelenggarakan edukasi publik melalui media interaktif seperti gim digital dan komik.
Ke depan, OJK berharap Indonesia dapat jadi negara Crypto-Friendly, dengan pengawasan dan regulasi yang kian kokoh, serta dukungan semua pihak, sektor aset keuangan digital di Indonesia diharapkan menjadi lokomotif baru pertumbuhan ekonomi nasional.