Partisipasi Politik Remaja Melalui Sekolah sebagai ‘Laboratorium Demokrasi’ | Bali Tribune
Bali Tribune, Sabtu 27 Juli 2024
Diposting : 19 November 2023 18:32
Natalino Muni Nepa Rassi, S.Pd., M.Pd - Bali Tribune
Bali Tribune / Natalino Muni Nepa Rassi, S.Pd., M.Pd - Guru SMA Negeri 8 Denpasar

balitribune.co.id | “Kita hendak mendirikan suatu negara, semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua’’- Ir. Soekarno (dalam Pidato Pancasila, 1 Juni 1945).

Kutipan inspiratif Ir. Soekarno menggarisbawahi tekad kuat untuk membentuk negara yang inklusif dan adil. Dalam visinya, Indonesia haruslah menjadi tempat di mana setiap warga mendapatkan hak yang sama tanpa memandang latar belakang sosial, budaya, ekonomi, kepentingan satu individu, satu golongan, atau kelas sosial tertentu, tetapi untuk kebaikan bersama, merangkul semua lapisan masyarakat. Kata-kata ini mencerminkan semangat persatuan, keadilan, dan kesetaraan yang menjadi dasar filosofi Pancasila, yang pada akhirnya membentuk dasar negara Indonesia yang merdeka. Sehingga kita perlu menyadari bersama bahwa negara ini tidak bergantung pada satu golongan, akan tetapi bergantung pada suara rakyat yang harus dihidupkan oleh api semangat rakyat itu sendiri. Lantas mari kita berkelana pada informasi pemilihan umum 2024 bersiliweran di media sosial, entah itu gelombang arus positif maupun negatif bertebaran tanpa ada filter yang jelas tentunya menjadi konsumsi publik baik itu masyarakat pemilih tetap ataupun remaja pemilih pemula yang diharapkan mampu merepresentasikan semangat Soekarno.

Arus kampanye menjadi santapan segar yang tersaji hampir di setiap platform media sosial. Jurus jitu diterapkan guna mencuri hati masyarakat sehingga memperoleh suara pada pemilu nanti. Pada kasus ini hadir akun-akun ataupun media digital lain yang justru memperkeruh keadaan dengan berita-berita yang hoax yang tentunya bisa dikonsumsi mentah-mentah oleh pemilih pemula. Hal yang menjadi titik poinnya adalah khusus para remaja yang akhirnya berkesempatan memilih calon Presiden impian mereka sebagaimana ditegaskan dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2022 calon pemilih minimal berusia 17 tahun yang berarti di tahun 2024 nanti Pemilu menyambut wajah baru yang diharapkan mampu memilih masa depan Indonesia akan dipimpin siapa pada akhirnya.

“Pemilih Pemula”: Remaja Indonesia Gagal Kritis Berujung Apatis?

Remaja saat ini diasumsikan sebagai seseorang yang tidak memiliki atensi terhadap politik. Remaja lebih tertarik pada isu sosial masyarakat yang dekat dengan kegiatan pribadinya. Hal ini terlihat pada atensi remaja dalam pengunaan media sosial khususnya Instagram, facebook, twitter, dan lain-lain yang lebih menyorot informasi berupa probelematika kehidupan seperti percintaan, komedi, aktifitas kehidupan lainnya dibandingkan dengan isu-isu politik. Sehingga fenomena yang ditakutkan terjadi ketika Pemilu nanti adalah "ikut-ikutan" dimana anak muda/remaja mudah tergiring opini publik dan hoax media sosial tentang Pemilu. Remaja dianggap gagal berpikir kritis. Bagaimana caranya menumbuhkan sikap kritis dan mengubur kegagalan kritis?. Kegagalan kritis merujuk pada situasi di mana seseorang atau suatu sistem mengalami kegagalan dalam mempertimbangkan, menganalisis, atau mengevaluasi informasi dengan cermat sebelum mengambil keputusan atau bertindak. Remaja mudah terpengaruh oleh informasi yang mereka lihat di media sosial tanpa melakukan verifikasi yang memadai. Mereka cepat percaya pada kabar palsu atau informasi yang tidak diverifikasi sepenuhnya karena kurangnya kemampuan untuk memilah informasi yang benar.

Sebagaimana kita tahu bahwa media sosial merupakan ladang aspirasi bagi remaja dimana seharusnya remaja mampu menyuarakan pendapatnya berupa kritik dan opini sebagai bentuk diskusi politik ringan. Akan tetapi yang kita dapati adalah komentar yang justru mengarah pada ujaran kebencian, salah satu contohnya pada video yang baru-baru ini sedang viral yakni wawancara Najwa Shihab dalam segmen Mata Najwa yakni “3 Capres Bicara Gagasan.” Banyak akun yang mengkritik para calon presiden dalam video tersebut tanpa didasari alasan yang jelas dan sangat disayangkan bahwa setelah ditelusuri akun tersebut justru rata-rata dipegang oleh kaum remaja yang ikut-ikutan.

Tidak hanya berhenti di sana, di era menuju Pemilu ini suara remaja atau golongan muda justru dimanfaatkan oleh sejumlah oknum di media sosial (oknum yang berpihak pada salah satu kubu) untuk memanaskan jagat media sosial. Konten-konten yang dianggap kritik cerdas oleh kaum remaja menanggapi Pemilu ini justru mengarah pada delik ujaran kebencian. Jika ditelisik lebih dalam hal ini bertolak belakang dengan maksud dan tujuan yang diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 28E ayat 3 yakni “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jadi kebebasan berpendapat bukan berarti kebebasan menyampaikan sesuatu tanpa memikirkan dampak negatif dari kebebasan berpendapat. Penyalahgunaan berpendapat dapat terjerat Pasal 22 ayat 2 UU ITE menyebarkan informasi yang didasari oleh perspektif pribadi (subjektif) dengan tujuan untuk menghasut dan memprovokasi oknum tertentu melalui konten di media sosial.

Di sisi lain, segelintir remaja ada yang mampu menyampaikan opini dan pemikirannya perihal latar belakang dari masing-masing calon dan mengkritik bagaimana para calon presiden ini berusaha memikat masyarakat Indonesia, akan tetapi sangat disayangkan bahwa aspirasi ini tertutup isu-isu dan informasi yang sengaja disebarakan melalui media digital yang mengiring opini untuk menyudutkan atau mengaburkan kebenaran tentunya dengan memanfaatkan minimnya literasi di Indonesia. Belum lagi masih ada anggapan bahwa remaja belum paham betul terkait situasi politik jadi dianggap hanya ikut arus saja.

Partisipasi Politik Remaja Melalui Sekolah sebagai ‘Laboratorium Demokrasi’

Partisipasi remaja dalam pemilihan umum merupakan hal yang krusial dalam demokrasi dan politik negara. Hal ini dikarenakan remaja memiliki pandangan segar dan inovatif terhadap masalah-masalah zaman sekarang. Partisipasi mereka membawa gagasan baru dan perspektif yang bisa menjadi solusi untuk tantangan-tantangan politik dan sosial. Kemudian partisipasi remaja dapat merangsang keterlibatan masyarakat secara keseluruhan sehingga terciptalah budaya politik yang lebih kuat.

Sila keempat Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” menjadi dasar dari negara demokrasi yang diwujudkan dalam bentuk adanya pelaksanaan Pemilu. Sehingga dalam mendorong adanya partisipasi politik kaum remaja diperlukan sekolah sebagai ‘Laboratorium Demokrasi’ yang berarti sekolah bukan hanya sebagai tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, akan tetapi juga sebagai tempat bagi siswa untuk mempelajari prinsip dasar demokrasi. Sekolah sering kali dianggap sebagai laboratorium demokrasi di mana prinsip-prinsip demokrasi diajarkan dan diimplementasikan dalam situasi kehidupan nyata. Contoh kongkrit seperti pemilihan ketua OSIS yang dikemas seperti miniatur politik demokrasi yang salah satu cara di mana sekolah mengajarkan siswa tentang proses demokratis. Dalam konteks ini, siswa memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam kampanye, merancang platform, berdiskusi dengan siswa lain, Calon ketua OSIS dan wakilnya mengajukan program-program atau ide-ide yang ingin mereka wujudkan jika terpilih. Mereka melakukan kampanye publik, mempresentasikan visi, misi, dan program-program yang mereka usung kepada para pemilih, yaitu siswa lainnya. Ini menciptakan kesempatan bagi para calon untuk berbicara, berinteraksi, dan mendengarkan pandangan dari rekan-rekan sejawat mereka. Tidak hanya itu sekolah juga dapat menjadi wadah penyaluran pengetahuan yang dituang dalam pendidikan kewarganegaraan. Sehingga hal ini mampu meningkatkan ketertarikan remaja untuk berpatisipasi dalam politik.

Selain itu, pengimplementasian pendidikan kewarganegaraan juga merupakan salah satu strategi jitu menumbuhkan partisipasi politik remaja. Tentunya perlu dengan kemasan yang fresh seperti modifikasi model pembelajaran, penyesuaian kebutuhan belajar, hingga analisis tantangan belajar.  Selanjutnya membentuk organisasi siswa yang mampu merealisasikan sila ketiga dan dan keempat dan pendidikan demokrasi, sehingga aktualisasikan nilai pancasila melalui partisipasi politik remaja dapat berjalan sesuai harapan.