BALI TRIBUNE - Kabar koalisi PDIP dengan Partai Golkar dalam menghadapi Pilgub Bali 2018, boleh jadi bukan isapan jempol. Begitu pula dengan sinyalemen PDIP akan menyodorkan kursi calon gubernur kepada kader di luar PDIP, sebagaimana isu paket Ketut Sudikerta (Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali/Wakil Gubernur Bali) dan Ni Putu Eka Wiryastuti (kader PDIP/Bupati Tabanan), yang beredar beberapa waktu terakhir, kemungkinan akan benar-benar terwujud.
Kondisi ini terjadi, karena PDIP menginginkan kemenangan pada Pilgub Bali mendatang. PDIP tak mau sekali lagi menelan pil pahit, setelah kekalahan menyakitkan pada Pilgub Bali 2013 lalu. Belum lagi, PDIP masih meradang dengan kekalahan di Pilgub Banten dan Pilgub DKI Jakarta 2017, dua daerah yang sesungguhnya menjadi andalan partai berlambang kepala banteng moncong putih itu.
Setidaknya hal ini pula yang dilontarkan pengamat politik Gusti Putu Artha, saat dikonfirmasi melalui saluran telepon, di Denpasar, Selasa (2/5). “Untuk Pilgub Bali mendatang, PDIP tentu bertekad untuk menang. Karena pada 2013 lalu gagal, dan di Pilgub Banten dan DKI Jakarta juga gagal,” tuturnya.
Untuk bisa menang di Pilgub Bali 2018, kata dia, maka PDIP harus mempersiapkan diri dengan baik. PDIP juga tidak akan gegabah dalam menentukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Bali. “Sebelum mengambil keputusan, PDIP akan belajar banyak dari kekalahan tahun 2013 dan juga kekalahan di Pilgub Banten dan DKI Jakarta,” ujar mantan komisioner KPU RI itu.
Ia menilai, apabila saat ini ada kader yang mengklaim hampir pasti mendapatkan restu dari Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarno Putri, maka hal itu sangat diragukan. Pasalnya, PDIP tidak akan dengan mudah menerbitkan rekomendasi untuk Pilgub Bali. Bahkan, bukan tidak mungkin PDIP bisa saja mengusung non kader atau kader partai lain, apabila tak ada kader dari internal yang diyakini mampu memenangkan Pilgub Bali 2018.
“Kalau ada yang mengaku sudah ada sinyal rekomendasi ke satu orang, saya tidak yakin. Kenapa? Karena PDIP pasti akan sangat hati-hati setelah kalah di Banten dan DKI Jakarta,” tandas Putu Artha, yang pada Pilgub DKI Jakarta lalu menjadi konsultan politik Teman Ahok.
Ia menambahkan, faktor elektabilitas figur yang akan menjadi pertimbangan utama PDIP sebelum mengambil keputusan. “Kalau ada kader murni yang potensial, maka pasti itu yang diusung. Tetapi kalau tidak ada, maka akan dipertimbangkan lagi dan mengusung non kader itu bukan mustahil,” ujar mantan komisioner KPU Provinsi Bali itu.
Bahkan, demikian Putu Artha, salah satu pertimbangan penting PDIP adalah terkait Pilpres 2019 mendatang, di samping kekalahan di DKI Jakarta baru-baru ini. “Kekalahan di Jakarta jadi faktor yang signifikan untuk menentukan konstelasi politik di Bali. Dan dalam posisi seperti ini, hak prerogatif Megawati akan digunakan di detik-detik terakhir, tidak dengan otoriter namun tetap mempertimbangkan masukan dari kader tentunya,” kata Putu Artha.