
balitribune.co.id | Mangupura - Perang Untek yang selama ini ada di Desa Adat Kiadan, Kecamatan Petang, Badung akan menjadi duta kesenian Kabupaten Badung pada pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 tahun 2025.
Yang menarik, perang Untek yang dijadwalkan tampil saat Peed Aya atau pawai bukan sekadar pertunjukan biasa. Namun, telah menjadi nafas hidup bagi petani dan masyatakat Kabupaten Badung, khususnya yang ada di Desa Adat Kiadan, Petang.
Meski pariwisata mendominasi daerah berlambang Keris ini, namun kehidupan agraris tetap eksis.
Menariknya lagi, dalam kesenian ini Perang Untek dari Desa Adat Kiadan, Petang akan dikolaborasikan dengan para turis dan warga negara asing (WNA) yang tinggal di Badung. Turis dan WNA ini akan ikut menari dan memainkan musik.
Namun untuk diketahui bahwa Perang Untek ini sejatinya adalah ritual agraris yang hanya digelar sekali dalam setahun di Desa Adat Kiadan. Tradisi ini dilaksanakan tepatnya saat Purnama Sasih Kapitu.
Saat itu para pemuda dan pemudi akan berkumpul di halaman desa, saling melempar untek atau bola kecil dari dedaunan dan tanah liat, dalam suasana tawa dan canda yang sarat makna.
Untek bukan sekadar alat permainan, ia adalah simbol kosmik, ikatan antara purusha (langit/laki-laki) dan pradana (bumi/perempuan).
Melalui permainan itu, masyarakat menyatu dengan alam, saling menyucikan jiwa, dan mensyukuri hasil bumi yang menghidupi mereka.
Nah, dengan tampilnya Perang Untek di PKB tahun 2025 ke depan diharapkan warisan seni budaya ini tak sebatas dipajang. Namun, turut dilestarikan dan dirayakan bersama.
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung I Gede Eka Sudarwitha menyatakan bahwa Perang Untek merupakan sebuah tradisi yang ada di Badung khususnya di Desa Adat Kjadan Petang.
"Perang Untek yang akan ditampilkan di PKB merupakan sebuah garapan yang mengejawantahkan nilai-nilai Jagat Kerthi, khususnya aspek Pawongan," ujarnya.
Menurut filosofinya Perang Untek adalah penyucian jiwa melalui permainan. Di ajang PKB tradisi ini akan dibalut dalam tema Pusaka Agraris Desa Kiadan Kabupaten Badung.
"Tradisi ini mengajarkan kita bahwa warisan bukan untuk dipajang, tapi untuk dirayakan bersama,” kata Sudarwitha.
Mantan Camat Petang ini menyatakan bahwa dalam penampilannya Perang Untek akan melibatkan para turis dan WNA. WNA ini bukan tamu, bukan penonton, melainkan peserta aktif dalam tarian kehidupan ini.
"Mereka belajar bahasa gerak Bali, memaknai filosofi untek, dan menari bukan demi pertunjukan, tapi demi pemahaman. Kehadiran mereka bukan tempelan. Ini bentuk keterbukaan budaya Badung," jelasnya.
Sementara untuk desain kostum para penari dan pemusik terinspirasi dari simbol keris, lambang Kabupaten Badung yang dipadukan dengan unsur agraris Kiadan.
"Dalam kesenian ini para seniman-seniman muda Badung memberi sentuhan kontemporer tanpa mencederai akar tradisional. Sehingga tampilah Perang Untek ini," tukasnya.