Perpaduan Hindu - Budha di Griya Kongco Tanah Kilap | Bali Tribune
Bali Tribune, Kamis 30 Januari 2025
Diposting : 30 January 2025 10:45
JRO/ANT - Bali Tribune
Bali Tribune / IMLEK - Umat Hindu dan Budha di Bali ikuti persembahyangan Tahun Baru Imlek di Griya Kongco Dwipayana Tanah Kilap, Denpasar, Rabu (29/1).

balitribune.co.id | DenpasarRatusan umat terus mengalir sejak pagi hari memadati Griya Kongco Dwipayana kawasan Tanah Kilap, Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, saat perayaan Imlek 2576, Rabu (23/1). Tidak hanya etnis Tionghoa yang datang bersembahyang, namun umat Hindu juga banyak yang hadir menghaturkan bhakti. 

Pengempon Kongco menyiapkan ratusan dupa untuk keperluan persembahyangan bagi umat yang datang. Sebagian umat mengenakan pakaian adat Bali, seperti kamen, kebaya, dan selendang, sementara yang lain memakai busana berwarna merah, khas perayaan Imlek. 

Selain dupa, sarana sembahyang lainnya seperti canang dan bija juga disediakan di Kongco ini. "Akulturasi budaya di Tanah Kilap ini telah terbangun sejak 500 tahun silam, berawal dari ditemukannya batu berhuruf China di depan Pura Candi Narmada,” ujar Atu Mangku di Gria Kongco Dwipayana, Tanah Kilap. 

Menurutnya, di area kongco terdapat ratusan rupang dan pelinggih, dengan puluhan titik persembahyangan. Tidak ada aturan khusus bagi umat yang datang, sehingga mereka bebas beribadah sesuai keyakinan masing-masing. 

Kongco di sini memang mencerminkan akulturasi budaya yang sangat kental. "Perpaduan Hindu dan Budha dapat dilihat dalam simbol-simbol persembahyangan di kongco ini. Orang Budha, Hindu, maupun Tionghoa merasa nyaman beribadah di sini,” kata Atu Mangku

Pemucuk Griya Kongco Dwipayana, Ida Bagus Adnyana di Denpasar, Rabu (29/1), mengatakan selain persembahyangan, pada malam hari pukul 22.00 Wita akan berlangsung pementasan barongsai yang rutin diikuti umat Hindu dan Budha.

Ia menjelaskan bahwa akulturasi budaya di Tanah Kilap telah terbangun sejak 500 tahun silam, dimulai dari ditemukannya batu berhuruf China di depan Pura Candi Narmada.

“Di tempat ini ada batu tertulis berhuruf China yang ditinggalkan, hanya disebut nama dewanya pada Dinasti Qing, peristiwa itu kurang lebih 500 tahun lalu, jadi beliau (dari keturunan Tionghoa) sudah ada di sini,” kata Ida Bagus Adnyana yang akrab dipanggil Atu Mangku.

Ia menjelaskan di area kongco terdapat ratusan rupang dan pelinggih, seluruh titik persembahyangan berjumlah 31, namun tak ada aturan khusus bagi umat yang hendak bersembahyang.

Pada sisi depan, pengurus Griya Kongco Dwipayana Tanah Kilap menyiapkan ratusan dupa untuk digunakan umat beribadah, mereka yang datang sejak pukul 7.00 Wita sebagian menggunakan pakaian adat Bali, seperti kamen, kebaya, dan selendang, sebagian lainnya dengan pakaian bebas bernuansa merah dilengkapi selendang.

Selain dupa, canang atau kumpulan bunga dalam wadah janur serta bija atau beras di kepala dan leher menjadi sarana persembahyangan menyambut Tahun Baru Imlek.

“Kongco di sini memang akulturasi budaya kental sekali, di sini Hindu dan Budha, terlihat dalam bentuk simbol-simbol persembahyangannya, jadi untuk orang Budha, Hindu, dan Tionghoa harusnya tidak terbebani datang ke tempat ini, sarana juga ada perpaduannya seperti orang China pun isi canang dia bawa,” kata Atu Mangku.

Atu Mangku mengatakan tiap peringatan Tahun Baru Imlek akan datang ratusan warga Etnis Tionghoa maupun umat Hindu dan Budha di Bali dengan puncaknya paling padat pada malam hari sekaligus untuk menyaksikan pementasan barongsai.

Salah satu umat Hindu yang hadir di Tanah Kilap, I Made Gede Widiasa mengatakan bersembahyang di sini merupakan hal rutin meskipun dirinya tak memiliki darah Tionghoa.

Ia mengaku merasa damai karena saling menghormati dengan berdoa di kongco sebelum melanjutkan persembahyangan di Pura Candi Narmada.

“Disini kan ada Pura Candi Narmada, jadinya saling menghargai saja, kami sekalian mampir juga berdoa, seringnya seperti itu, ikut kata hati, jadinya merasa nyaman saja,” ujarnya.

Dari 31 titik persembahyangan, keluarganya hanya bersembahyang di empat area, baik pelinggih Hindu maupun area rupang-rupang.

Widiasa meyakini ketika bersembahyang yang utama adalah rasa tulus dan ikhlas, mempersembahkan buah atau bunga sesuai keikhlasan dan mengarah bersembahyang ke titik-titik menurut kata hati.

Akulturasi budaya yang kental ini turut menjadi alasan WNA Kolombia Maria Catalina Bonilla Varon merayakan Tahun Baru Imlek di Tanah Kilap.

“Saya sudah tinggal di Bali selama 5 tahun dan mereka menyambut semua agama di dunia, sangat indah untuk dihormati dan menghormati, meskipun kita tidak berlatih agama yang sama, kita hanya berdoa dengan diri sendiri, dan menghormati semuanya yang kita dapat di Bali,” ujarnya.