balitribune.co.id | Denpasar - Sidang kasus sengketa tanah di Pulau Serangan, Denpasar Selatan, antara ahli waris Daeng Abdul Kadir dengan PT Bali Turtle Island Development (BTID) berlanjut sampai ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Sebab tergugat PT BTID dan turut tergugat Pemkot Denpasar yang kalah dalam putusan di Pengadilan Negeri Denpasar (PN) Denpasar, Senin (5/8) lalu melakukan upaya banding. Namun dalam putusan majelis hakim pimpinan Dr. Frida Ariyani di Pengadilan Tinggi Denpasar, Senin (2/10) lalu menguatkan putusan majelis hakim PN Denpasar. Dengan demikian, PT BTID kembali dinyatakan kalah dan diminta untuk mengembalikan tanah sengketa itu kepada penggugat serta membayar kerugian materiil sebesar Rp. 10.500.000.000 (Sepuluh Miliar Lima Ratus Juta Rupiah).
Dalam putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Denpasar, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1161/Pdt.G/2023/PN Denpasar tanggal 5 Agustus 2024 yang dimohonkan banding. Dengan demikian, putusan majelis hakim PN Denpasar menyatakan para tergugat yang telah menyerahkan tanah milik penggugat seluas 647 m2 adalah perbuatan melawan hukum. Surat - surat yang dipakai atau dibuat oleh para tergugat dan turut tergugat yang dipergunakan untuk jalan umum oleh tergugat II adalah cacat hukum. Selain itu, menghukum tergugat I dalam hal ini PT BTID untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp 10, 5 miliar, menghukum para tergugat untuk segera mengosongkan atau mengembalikan atau menyerahkan kepada penggugat secara sukarela tanpa syarat.
Siti Sapurah, SH alias Ipung selaku kuasa hukum yang sekaligus ahli waris penggugat Sarah alias Hj Maisarah menyampaikan, puji dan syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kembali memenangkan perkara karena majelis hakim pengadilan tinggi Denpasar menguatkan putusan PN Denpasar. Ia pun mengapresiasi para majelis hakim yang netralitasnya tidak tergoyahkan oleh intervensi pihak mana pun.
"Tentunya saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan karena kembali menangkan perkara ini ditingkat banding. Kedua, saya mengapresiasi majelis hakim yang mengakomodir fakta - fakta persidangan," ungkapnya ditemui di Denpasar, Sabtu (19/10).
Wanita yang akrab disapa Ipung ini berharap pihak tergugat dalam hal ini PT BTID tidak melakukan upaya hukum lagi. Upaya hukum yang tersisa hanya Peninjauan Kembali karena untuk kasasi sudah tidak dilakukan oleh para tergugat karena batas waktunya sudah selesai. Jadi ia berharap agar eksekusi segera dilakukan. "Saya sudah cek di online sampai dengan batas akhir permohonan kasasi tanggal 16 Oktober malam, tergugat tidak ada melakukan kasasi. Upaya hukum yang tersisa sekarang hanya tinggal Peninjauan Kembali, tetapi tidak akan menghalangi proses eksekusi. Untuk itu, kami berharap agar eksekusi segera dilakukan," ujarnya.
Wanita yang akrab disapa Ipung ini mengatakan, ia akan tetap menghadapi apabila ada upaya hukum lainnya yang dilakukan oleh PT BTID. Ia mengaku mempunyai 15 putusan dan sekarang tambah 2 putusan lagi yang menguatkan 15 putusan sebelumnya, yang semuanya saya di pihak yang menang yang menjadi kekuatannya. Kemenangan penggugat atau saya lawan PT BTID dalam gugatan ini juga membuka pintu masuk bagi warga Pulau Serangan lainnya yang akan berjuang yang tanahnya dicaplok.
"Sudah ada beberapa orang yang menelepon saya setelah mengetahui saya menang atas gugatan ini waktu di pengadilan tingkat pertama. Mereka konsultasi, bahwa sebagian tanah mereka dicaplok. Dan informasi yang saya dengar, banyak warga Pulau Serangan yang tanahnya dicaplok," katanya.
Diuraikan Ipung, selama proses persidangan, pihaknya menghadirkan enam orang saksi. Seluruh gugatan yang disampaikan di persidangan sudah terbukti. Ini didukung oleh dalil-dalil, alat bukti, surat dan saksi yang kami sampaikan kepada majelis hakim. Pada sidang terakhir 1 Juli 2024 lalu, pihak penggugat menghadirkan tiga saksi, yaitu satu orang dari pihak Tahura yang dengan jelas mengatakan bahwa objek sengketa itu tidak bagian dari tanah kehutanan. Sementara PT BTID sebelumnya mengklaim tanah objek sengketa tersebut berasal dari SK MLH itu awalnya tahun 2015. Akhirnya pihak Tahura turun tangan melakukan cek lokasi pada tanggal 22 Februari 2022 – 25 Februari 2022 di objek sengketa. “Di sanalah dijelaskan ada surat dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali tanggal 9 Maret 2022 bahwa objek sengketa ini jauh dari kawasan PT BTID, atau bukan bagian dari tanah kehutanan,” terangnya.
Saat persidangan juga sudah dibenarkan oleh saksi, namun setelah surat itu keluar, tiba-tiba berubah narasi PT BTID bahwa objek sengketa itu bagian dari tambak. Dijelaskan oleh dua saksi, bahwa tambak itu berada jauh dari tanah objek sengketa dan tidak semuanya sebelah Timur adalah laut dan tambak. Dan tambak berada paling Selatan yang berbatasan langsung sedikit dari tanah Daeng Abdul Kadir. “Sepengetahuan saksi pertama dan kedua, tambak tersebut direklamasi terlebih dahulu baru dijadikan kanal yang berfungsi sebagai pemisah antara warga lokal dengan kawasan PT BTID. Jadi kalau dikatakan tambak itu masuk ke objek sengketa, itu sangat lucu karena jarak tambak dengan tanah sengketa itu jauh di Selatan dan tidak masuk ke lahan penggugat, karena tambak berada paling Selatan sebelah Timur tanah Daeng Abdul Kadir,” pungkas Ipung.