BALI TRIBUNE - Ketegasan yang ditunjukkan Panwaslu Gianyar perlu diapresiasi. Demikian juga ketaatan Pejabat Bupati Gianyar, I Ketut Rochineng dalam memenuhi panggilan Panwaslu. Sikap kedua pejabat ini merupakan teladan yang baik.
UU Pemilu memang melarang Rochineng sebagai aparatur sipil negara ikut bermain politik praktis. Berada bersama partai pengusung cagub-cawagub, apalagi mengacungkan salam satu jalur yang merupakan jargon salah satu pasangan calon (Paslon) masuk dalam kategori ikut bermain politik praktis. Dengan menghimpun fakta berupa beberapa helai foto, Panwaslu Gianyar langsung memanggil Rochineng untuk diperiksa.
Masalahnya tidak hanya soal ketegasan sikap Panwaslu, namun tokoh yang dipanggil bukan sembarangan. Dia adalah Pejabat Bupati Gianyar, yang karena kedudukannya, juga adalah Pembina politik dan penguasa wilayah. Dalam posisi itu, umumnya sang pejabat Bupati enggan memenuhi panggilan Panwaslu. Lembaga ini sering dinilai hanya sebuah organ adhoc yang tidakbertaring. Sekali lagi, sikap Rochineng merupakan teladan seorang pamong, dan ketegasan Ketua Panwaslu Gianyar, Wayan Hartawanadalah manifestasi otoritas Panwaslu sebagai penegak hukum Pemilu. Peristiwa di Gianyar itu hanya sebagai titik masuk untuk membahas thema menarik; kedudukan hukum Bawaslu/Panwaslu menurut UU No. 7 Tahun 2017.
Di berbagai Negara di dunia sebetulnya pelaksanaan pemilu yang demokratis tidak mengharuskan adanya lembaga yang kita kenal sekarang dengan sebutan Bawaslu untuk tingkat nasional dan Panwaslu untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota. Lembaga ini dihadirkan untuk menjamin pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil.
Bahkan dalam praktek pemilu di Negara-negara yang sudah berpengalaman melaksanakan pemilu demokratis, keberadaan lembaga Bawaslu/Panwaslu tidak dibutuhkan. Namun, di Indonesia, para perancang undang-undang pemilu sejak Orde Baru sampai sekarang menghendaki lembaga Pengawas Pemilu itu eksis, karena karena posisi maupun perannya dinilai strategis untuk melahirkan Pemilu yang berkualitas. Posisi Basalu/Panwaslu kian kuat dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 2017.
Setelah melalui dinamika yang cukup panjang sejak dibentuknya pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu pada 28 Oktober 2016, akhirnya RUU tersebut baru dapat disahkan secara aklamasi menjadi UU Nomor 2017 tanggal 21 Juli 2017. Beberapa perubahan signifikan yang sempat menjadi isu krusial pembahasan RUU antara lain berhubungan dengan Lembaga Pengawas Pemilu sebagai salah satu unsur penyelenggara pemilu. Kedudukan lembaga ini, semakin kuat dan full power.
Secara structural, kini posisi Bawaslu bersifat permanen, dan sampai ke tingkat kabupaten/kota seperti struktur lembaga KPU yang sejak lama telah bersifat tetap sampai ke tingkat kabupaten/kota. Bersamaan dengan penguatan posisi lembaga tersebut, ada pula penambahan jumlah anggota Bawaslu tingkat provinsi dan kabupaten/kota dari 3 menjadi 5-7 komisioner.
Sementara itu untuk pengawas ad-hoc dari tingkat kecamatan sampai TPS tetap diberlakukan seperti pada undang-udang penyelenggara pemilu yang berlaku sebelumnya. Penguatan kelembagaan pengawas pemilu memang mendesak karena didorong oleh komitmen yang kuat dalam upaya meningkatkan peran dan fungsi pengawas pemilu di setiap level struktur dalam mengawal proses penyelenggaraan pemilu agar benar-benar bertumpu pada asas-asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu.
Pada periode kepemimpinan 2017-2022, Bawaslu RI meluncurkan sebuah tagline baru yakni ‘Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu’. Slogan ini menggambarkan posisi Bawaslu/Panwaslu sebagai lembaga supreme dalam pengawasan proses penyelenggaraan pemilu dan penegakan hukum pemilu. Pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu yang selama ini menjadi core strategy pengawasan yang diterapkan oleh Bawaslu kini menghadapi tantangan yang semakin dinamis dan canggih.
Isu-isu yang sempat santer terdengar tentang bentuk-bentuk pelanggaran pemilu yang makin berkembang akhir-akhir ini bahkan sampai dengan isu pemanfaatan teknologi canggih sebagai modus kecurangan pemilu harus disikapi secara arif oleh Bawaslu untuk terus mengembangkan strategi pengawasannya. Program-program pengawasan yang melibatkan berbagai kelompok dan komunitas masyarakat yang terus menerus digencarkan dalam berbagai event perlu terus digagas dan dikreasikan.
Mengingat masih rendahnya peran serta masyarakat untuk terlibat secara partisipatif dalam pengawasan pemilu yang dibuktikan dengan masih tingginya grafik kesenjangan antara laporan masyarakat dan temuan pengawas pemilu, maka juga sudah sewajarnya Bawaslu perlu mempertegas eksistensi program pengawasan partisipatifnya.
Dengan bertambahnya kewenangan-kewenangan strategis yang diamanatkan undang-undang kepada Bawaslu, seperti kewenangan untuk menerima laporan, memeriksa, dan memutus pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif), tersebut menjadi tantangan bagi lembaga ini untuk memaksimalkan peran dan fungsi yudikatifnya untuk menciptakan sebuah formulasi hukum yang tepat sekaligus mengukur dan mengantisipasi dampak sosial politik atas penerapan sanksi pembatalan calon atau peserta pemilihan ditengah suasana dengan tensi politik yang bergejolak.
Begitupun halnya dengan kewenangan untuk menerima dan memutus permohonan sengketa pemilihan juga menuntut Bawaslu di tengah waktu tahapan yang berhimpit-himpitan untuk segera memastikan hadirnya para pengawas pemilu di daerah yang sanggup berperan sebagai mediator dan adjudikator sengketa pemilihan yang benar-benar terlatih.
Peristiwa di Gianyar, meski pemeriksaan lanjutan masih berlangsung, namun fakta itu membuktikan kepada rakyat bahwa pejabat kepala daerah pun, bisa terjerat sanksi hukum. Panwaslu sebagai penegak hukum pemilu menjadi pemeran kunci di situ.