Diposting : 5 October 2019 02:22
habit - Bali Tribune
Oleh: Drs IB Putu Sudiarta, SPd, MSi * )
Balitribune.co.id - Sejujurnya, Kita akui ternyata harapan untuk bebas sebebasnya sampah plastik di Bali memang belum bisa tuntas dan cepat, meski sudah diimplementasikan Peraturan Gubernur/Pergub Nomor 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Sampah Plastik Sekali Pakai. Bahkan setiap kabupaten /kota di Bali juga sudah melanjutkan dengan peraturan pengaturan sampah plastik dengan Perwali/Perbub. Kenapa hal itu terjadi? Karena dari amatan secara kasat mata, produksi sampah plastik masih terjadi, baik di warung-warung maupun toko-toko makanan, bangunan, klontong dan pasar-pasar tradisional.
Sedangkan yang sudah terlihat mencolok tanpa produksi sampah plastik khususnya kantong plastik sebagai tempat belanjaan adalah swalayan modern, ritel berjaringan lainnya sudah menggunakan kantong ramah lingkungan. Itu pun kalau membeli barang lebih dari 5 pcs dan juga kalau pembelinya membawa sendiri atau membeli kantong saat berbelanja.
Hal yang perlu dirawat adalah kesadaran masyarakat untuk membebaskan diri dari memproduksi sampah plastik, baik yang ukuran besar maupun kecil. Semisal, sekolah mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA/SMK yang ada kantinnya produksi sampah tidak bisa dihindari, dari makanan atau kemasan plastik yang dibeli anak-anak di kantin juga menjadi sumber produksi sampah plastik. Lalu bagaimana meminimalisir timbulan produksi sampah plastik yang dimaksud sekali pakai? Kalau membuat zero plastik memang tidak mungkin, sebab kemasan makanan dan cemilan yang dijual di warung-warung atau kantin, pasar yang dagangannya bermodal kecil tidak bisa mengindari penggunaan plastik itu, baik sebagai pembungkus/kemasan makanan atau sebagai pembungkus barang belanjaannya.
Di sekolah, setiap kali jam istrahat makan di halaman sekolah masih saja terlihat sisa bungkusan makanan cemilan yang terbuat dari plastik. Kita sering menegur, mengajak menyarankan anak-anak yang melihat ada plastik di depannya, saat berjalan atau habis belanja supaya sampah yang dihasilkannya dibawa pulang ke rumah, dengan cara mengantongi kembali sampah-sampah bekas pembungkus nasi atau plastik bekas pembungkus kerupuk untuk dibawa kembali ke rumahnya.
Di kota Denpasar pernah beberapa kali dilakukan sosialisasi agar sekolah bebas sampah plastik, dan sampah plastik yang dihasilkan supaya dijadikan uang dengan menabungkan sampahnya ke bank sampah yang sudah terdaftar di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan /DLHK . Secara formal ada Surat Edaran Pemerintah Kota Denpasar No 660.2/4628/DLHK yang menegaskan kepada seluruh perangkat daerah/Kabag/Camat/Perbekel/Lurah/Lembaga/Instansi vertikal di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar untuk menjaga lingkungan dari sampah plastik.
Hal ini sekaligus implementasi Peraturan Walikota No 36 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan mendukung pencapaian target pengurangan sampah sebesar 30 persen sampai tahun 2025 yang mengacu pada Perwalikota Denpasar Nomor 50 tahun 2018 tentang Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, maka diharapkan melakukan upaya-upaya pengurangan kantong plastik. Misalnya, ketika menyelenggarakan rapat-rapat/kegiatan agar hidangan yang disediakan (snack, makan dan minum) dihidangkan dengan cara prasmanan untuk mengurangi sisa/sampah plastik kemasan kotaknya.
Pegawai di setiap instansi agar membawa tempat minum (tumbler) sendiri. Bahkan yang lebih serius lagi selain upaya-upaya meminimalisir sampah plastik, agar seluruh pegawai di lingkungan instansi termasuk sekolah agar menjadi anggota bank sampah, menabungkan sampah di bank sampah terdekat secara rutin dan bergabung dalam aplikasi Sistem Informasi Sadar dan Peduli Lingkungan (Si Darling) dengan mengunduh sendiri aplikasinya "Si Darling" itu pada playstore untuk smartphone berbasis android.
Lalu muncul pertanyaan, apakah sesederhana itu bisa menangani masalah sampah plastik? Ternyata memang belum bisa kita wujudkan seratus persen. Hal itu bisa dilihat di lapangan bahwa sejak lama sekolah-sekolah atau instansi berlanggan tukang angkut sampah. Tukang angkut sampah tersebut sudah dikelola oleh desa atau banjar, karena banjar yang tahu persis bagaimana produksi dan proses sampah itu dihasilkan oleh masyarakatnya. Para tukang angkut sampah secara rutin mengangkut sampah langganannya setiap minggu sekali dan pembayarannya ditagih setiap bulan sekali.
Pengakuan para tukang kebersihan di sekolah memang agak sulit mengelola sampah dengan memilah-milahnya. Sebab, murid-murid membuang sampah pada tempatnya, yang langsung dikemas menjadi bungkusan siap diangkut para tukang sampah. Sehingga, ide untuk menjadikan sampah menjadi uang memang membutuhkan kesempatan dan kecermatan, bahkan upaya lain untuk mengurangi sampah di sekolah, anak-anak diarahkan untuk membawa kembali sampahnya pulang ke rumahnya masing-masing. Selanjutnya di rumah, mereka bersama orangtuanya mengelola sampah tersebut entah menjadi uang atau menjadi kompos.
Di sekolah belum ada tenaga khusus bank sampah, petugas pemungut sampah mau ke sekolah hanya ambil sampah, mereka minta sampah yang sudah bersih yang siap diuangkan. Sedangkan pertugas khusus untuk itu tidak ada, guru-guru tidak ada kesempatan untuk melakukan hal itu dengan tuntutan kurikulum yang semakin rumit dipahami.
Semoga upaya yang sudah dilakukan di sekolah-sekolah agar sekolah bebas sampah menjadi lebih efektif sebagai daya dukung peraturan-peraturan yang ada. Namun, diharapkan menjadi pertimbangan bagi para pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan kalau sampah-sampah yang dihasilkan oleh sekolah dan sudah dikelola oleh banjar atau desa kenapa mesti harus dialihkan ke pihak sekolah. Upaya mencari solusi terbaik untuk tanggulangi masalah sampah plastik khususnya sampah yang dihasilkan dari murid-murid di sekolah-sekolah, sehingga menjadi kebiasaan bahwa sampah harus dikawal mulai dari rumah tangganya masing-masing bersama orangtua dan keluarganya.
*) Penulis adalah Kepala SDN 2 Ubung, Denpasar