Denpasar, Bali Tribune
Munculnya ide untuk mendirikan koperasi Grab dan Uber dikhawatirkan hanya dijadikan alat untuk meloloskan layanan angkutan online berbisnis transportasi yang sampai saat ini belum ada izin beroperasi. Sangat disayangkan, koperasi yang hanya ada satu-satunya di Indonesia dan menjadi warisan kebanggaan bangsa, ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan investor asing guna melahap bisnis transportasi lokal, seperti yang sedang diributkan di Bali.
Padahal sesuai UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak semudah itu mendirikan koperasi dengan usaha jasa transportasi. Karena ada sejumlah persyaratan vital yang harus terpenuhi, salah satunya soal kuota izin angkutan yang diatur oleh pemerintah provinsi. “Jadinya tidak semata-mata mendapat izin koperasi, tapi kalau persyaratan bisa terpenuhi ada tahapan setelah dapat badan hukum dari pusat harus mendapat izin usaha angkutan dari Dinas Perhubungan,” ungkap Kadis Koperasi dan UMKM Bali, I Dewa Nyoman Patra, SH, MH, Rabu (6/4).
Selain itu, sangat sulit mewujudkan koperasi yang berlabel Grab atau Uber di Bali, karena mulai 8 April nanti semua pengesahan badan hukum koperasi baik dari kabupaten/kota maupun provinsi akan kembali ditarik ke pusat. Apalagi setelah mendapatkan badan hukum dari pemerintah pusat, juga akan dikaji lagi apakah masih ada kuota izin angkutan taksi atau sewa/pariwisata yang disediakan oleh Dinas Perhubungan di daerah. “ Rasanya sudah overload. Jika tidak ada izin usaha angkutannya, otomatis tidak bisa membentuk koperasi tersebut,” katanya.
Di samping itu, sesuai aturan pendirian koperasi harus dari kumpulan orang-orang yang mempunyai kepentingan sama dan ekonomi usaha yang sama. Asalnya juga harus dari satu komunitas dan modal tidak boleh dimiliki usaha asing. “Sekarang kita liat taksinya seperti sekarang semuanya bentuknya koperasi dan anggotanya orang-orang Indonesia tidak boleh orang asing kecuali anggota khusus. Jadinya badan usaha bisa saja koperasi yang dibuatkan akta notaris, boleh melakukan usaha taksi tapi izin usaha taksinya tetap keperhubungan,” ujarnya.
Oleh karena itu, koperasi yang menaungi Grab dan Uber bisa diakomodasi asalkan jangan hanya untuk legalitas operasionalnya saja, tapi harus jadi memenuhi syarat sebuah koperasi, seperti harus ada pengurus, ada RAT (Rapat Anggota Tahunan) dan anggotanya harus saling bantu dan tolong menolong. “Silakan buat. Itu bagus jika bentuk koperasi, tapi jika usaha angkutan izinnya tetap di Dinas Perhubungan. Karena termasuk kategori jasa sehingga ada semacam kajian berapa layaknya ada taksi, ditambah sekarang angkutan sewa atau pariwisata,” tandasnya.
Dari catatan Diskop UMKM Provinsi Bali, selama ini sudah ada sejumlah koperasi di jasa transportasi yang sudah berbadan hukum, seperti untuk taksi diantaranya Koperasi Ngurah Rai, Kowinu, Wahana dan sisanya angkutan sewa Asep Bali, Aspaba, Lintas Bali Dewata yang merupakan koperasi binaan provinsi. “Yang jelas prinsipnya Grab atau Uber taksi jika membuka usaha koperasi silahkan saja, asal jangan dijadikan alat saja dan harus kembali ke jati diri koperasi. Apapun usaha harus mengikuti aturan yang berlaku. Jika berusaha tidak mengikuti aturan tidak akan tenang berusaha, seperti saat ini terus uber-uberan kan tidak bagus,” jelasnya.
Selain itu, dijelaskan, dari keputusan pemerintah pusat dan Gubernur Bali yang menyetor operasional Grab dan Uber juga harus diikuti sampai ada petunjuk dan keputusan lebih lanjut. “Sekarang Grab dan Uber di Bali diam saja dulu. Supaya nyamanlah dulu, sampai ada keputusan pusat dan petunjuk gubernur yang bisa kita ikuti. Karena faktanya Grab dan Uber tetap bandel beroperasi, meskipun sudah dilarang. Kan kasian penumpangnya yang kena getahnya dan dijalan bisa diberhentikan juga,” imbuhnya.