Kain Bebali Dipercaya sebagai Penjaga Kesucian | Bali Tribune
Diposting : 27 June 2022 05:06
M3 - Bali Tribune
Bali Tribune / KAIN TENUN- Anak Agung Ngurah Anom Mayun Konta Tenaya, memperlihatkan kain tradisional Bali pada Lokakarya di Kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar.

balitribune.co.id | DenpasarBali memiliki berbagai jenis kain tenun tradisional (wastra) dan bermacam motif unik dan fungsi penting dalam keberlangsungan budaya dan tradisi Bali.

Belakangan kain tenun tradisional memberi inspirasi bagi kemajuan zaman khususnya di industri fashion. Dengan begitu, membawa optimisme bagi subsektor fashion dalam hal ekonomi kreatif.

Akademisi Institut Seni Indonesia Denpasar, Anak Agung Ngurah Anom Mayun Konta Tenaya memaparkan jenis-jenis kain tenun tradisional Bali pada Lokakarya Kain Tenun Tradisional di Kalangan Angsoka, Taman Werdhi Budaya, Denpasar, Jumat (24/6) pekan lalu.  

Dalam kesempatan itu pula Anak Agung Ngurah Anom mengajak masyarakat untuk mencintai dan menjaga warisan budaya tersebut. Menurut dia, secara klasifikasi fungsi, kain tradisional Bali dibagi menjadi 12 kelompok yakni: Bebali, Wali, Keling, Endek, Cepuk, Gringsing, Poleng, Songket, Prada, kain Bolong-Bolong, Sembong dan Dobol, serta Blengbong. Umumnya, kata Anak Agung, kain tradisional Bali dibuat melalui proses menenun benang pakan (horisontal) dan benang lungsi (vertikal).

Disebutkan bahwa kain Bebali adalah kain yang dikaitkan dengan upacara kepercayaan masyarakat Bali. Sebagian besar kain Bebali berfungsi sebagai sarana upacara karena dipercaya memiliki kekuatan sebagai pelindung, penolak bala, penjaga kesucian, dan pengendalian diri. Kain Bebali juga dianggap membawa pesan komunikasi tentang kearifan leluhur.

Dalam proses pembuatan kain Bebali biasanya ditenun dengan bahan dasar benang Bali, menggunakan alat tenun tradisional bernama Cag-Cag. Sedangkan motif Bebali umumnya berbentuk garis melintang dengan kombinasi warna disesuaikan berdasarkan jenis dan fungsinya.

Seperti salah satu kain Bebali bernama Atu-atu, biasanya digunakan pada upacara pasca lepasnya tali pusar seorang bayi. Kain Atu-atu memiliki arti kekuatan, dari penggunaanya diharapkan sang bayi menjadi insan yang tangguh dalam menjalani kehidupan.

Kain Wali adalah kain yang digunakan pada upacara akil balik seperti, ngeraja sewala, metatah, munggah deha. Dalam upacara ini kain yang dipakai yaitu kain Wali Padang Derman. Kain ini diperuntukan anak perempuan. Pemakaian kain ini mengandung permohonan agar anak tersebut mendapat dan menebar kasih sayang di keluarga maupun di masyarakat.

Proses prosuksi kain Wali memerlukan kesabaran dan ketelitian dalam mengatur jarak dan warna. Ciri khas kain Wali adalah pada motif silang garis vertikal dan horisontal, yang terbentuk dari pengaturan benang berwarna selain warna dasar.

Selanjutnya yaitu Kain Keling, secara motif, bahan dan fungsi kain Keling sama dengan kain Wali. Pembedanya adalah warna dasar kain Keling yang menggunakan warna merah. Pada masa lampau, kain Keling lebih banyak digunakan di wilayah Bali Utara dan Bali Timur.

Kain Endek merupakan kain tenun ikat, motif yang terbentuk pada kain Endek terjadi akibat hasil pengikatan pola pada benang dasar. Setelah pewarnaan, ikatan pada benang pakan dibuka, kemudian diberi warna tambahan sesuai pola atau motif, proses ini disebut dengan Nyatri.

Kain yang banyak digunakan masyarakat ini, berbahan dasar benang rayon, katun, dan sutra. Dahulu, kain endek sebagian besar digunakan pada upacara adat atau persembahyangan ke Pura. Sedangkan saat ini, kain Endek telah dipakai dalam berbagai keperluan seperti seragam kantor, acara kedinasan, dan berbagai acara non formal.

Kain Cepuk dikatakan bagian dari kain Endek, karena bahan, proses dan teknik pembuatannya masih sama. Keunikan dari kain Cepuk terletak pada warna dan motif yang khas. Menggunakan warna dasar merah dengan garis putih melintang (pangoh taji) pada bagian bawah dan atas memanjang pada kain.

Kemudian Kain Gringsing, adalah satu-satunya kain tenun tradisional yang menggunakan teknik ikat ganda. Ditijau dari namanya, terbentuk dari dua kata yaitu "gring" yang berarti sakit dan "sing" berarti tidak. Jadi secara harfiah kain Gringsing mengandung makna penolak bala, mengusir berbagai penyakit jasmani dan rohani.

Bahan kain Gringsing merupakan benang yang dipintal sendiri dengan alat tradisional sederhana. Benang itu terbentuk dari serat kapuk berbiji satu asal Nusa Penida. Motif kain Gringsing hanya terdiri dari tiga warna yang disebut Tridatu.

Pewarnaan pada kain Gringsing menggunakan bahan-bahan alami seperti babakan kepundung putih (kelopak pohon menteng putih) yang dicampur kulit akar mengkudu sehingga menciptakan warna merah. Minyak kemiri berusia kurang lebih 1 tahun dicampur dengan air abu kayu menghasilkan warna kuning. Serta daun taum yang menghasilkan warna hitam.

Kain Poleng adalah kain bermotif kotak-kotak sederhana dari pengelompokan warna hitam dan putih. Persilangan benang hitam dan putih juga akan menghasilkan corak warna abu-abu.

Kain Poleng melambangkan keseimbangan dua sisi yang bertolak belakang. Warna abu-abu hadir sebagai penyelaras dikotomi yang disebut dengan Rwabhineda.

Kain Songket merupakan produk budaya Bali yang merefleksikan cara hidup masyarakat melalui motif atau hiasannya. Kain songket menggunakan bahan benang emas, perak, dan sutra berwarna. Dalam proses menenun, digunakan prinsip "sungkit" atau mengimbuhkan benang tambahan. Ragam jenis Songket dikelompokan berdasarkan motif seperti, hias geometri, flora, fauna, figuratif (manusia), prembon dan kekarangan.

Selanjutnya Kain Prada, kain satu ini sempat booming beberapa tahun lalu, banyak diterapkan pada pakaian maupun keperluan upacara. Kain prada adalah kain yang dihiasi lembaran emas di satu sisi permukaan kain yang mengikuti pola hias.

Dahulu pada zaman kerajaan, kain Prada menjadi kain yang sangat digemari para raja dan kalangan bangsawan. Kala itu, sering dikenakan sebagai busana tingkat utama untuk upacara penobatan dan upacara penting lainnya.

Kain Bolong-Bolong adalah lembar kain dengan kombinasi lobang-lobang yang terbentuk dari teknik menenun, mengatur jarak kerapatan benang lungsi dan pakan. Secara umum, kain bolong-bolong  dikelompokan menjadi tiga, berdasarkan ukuran dan pola lombangnya, yaitu "Brahmara", "Cecawangan", dan "Rang-rang atau Tirtanadi".

Kemudian Kain Sembong dan Dobol, proses pembuatan kain Sembong dan Dobol dengan cara mengatur variasi warna benang secara berulang dengan pola sama pada benang lungsi, begitu juga pada benang pakan. Kain dengan motif kotak kecil dinamakan Sembong, sedangkan bermotif kotak besar bernama Dobol. Diantara motif kotak-kotak yang ada pada kain Sembong Dobol, terdapat variasi garis kecil menyilang disebut "rerincikan".

Terakhir yaitu Kain Blengbong, merupakan lembar kain dengan motif garis-garis horisontal. Teknik pada proses menenun, benang berwarna merah dibuat sebagai motif dengan disusun selang-seling pada benang pakan, sehingga menghasilkan pola garis-garis polos maupun bermotif. Pada umumnya kain Blengbong digunakan sebagai "saput" atau "kampuh", busana tradisional pria.

Dalam sesi akhir lokakarya, Tuaji Mayun menyampaikan jika berbagai macam kain ini sejatinya diwariskan oleh leluhur. Hanya saja masyarakat banyak yang tidak tahu jenis-jenis dan kegunaannya. Bagaimana tentang menilai kain dari proses pembuatan dan maknanya. Sehingga ketika di masyarakat penggunaan atau pemanfaatan kain tersebut tidak menjadi keliru.

"Dengan diangkatnya topik ini di PKB, diharapkan masyarakat minimal tahu dulu tentang kain-kain yang beragam ini, setelah tahu lantas mau mengenali dan paham, setelah paham barulah perlahan diterapkan. Langkah ini juga menjadi bagian dari promosi terhadap produk-produk lokal," tandasnya.