Mangupura, Bali Tribune
Panitia khusus (Pansus) Minuman Beralkohol (Mikol) DPRD Badung terancam ‘pocol’ (sia-sia,-red) menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Penataan Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (Mikol) di Kabupaten Badung.
Pasalnya, ranperda yang sudah terlanjur dibahas hingga konsultasi ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jakarta itu harus dihentikan karena disuruh menunggu terbitnya aturan yang lebih tinggi. Selasa (14/6), Pansus Mikol bahkan menunda rapat lantaran khawatir ranperda yang dibahas mubazir.
Anggota Pansus Mikol, I Wayan Suyasa SH yang ditemui usai rapat pansus membenarkan pembahasan Ranperda Mikol dihentikan karena menunggu terbitnya UU dari pemerintah pusat. “Ya, ditunda sementara karena harus menunggu aturan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Pun demikian, Ketua Komisi I ini membantah kalau pembahasan ranperda ini ‘pocol’. Alasannya, karena ranperda akan tetap dilanjutkan, namun menunggu UU terbit. “Nanti tetap dibahas, tapi menunggu UU terbit dulu,” tegas Suyasa.
Selain itu, politisi asal Penarungan ini juga mengakui hasil konsultasi Pansus ke Kementerian Perdagangan RI beberapa waktu lalu pihak Kementerian memang meminta pansus menunggu terbitnya UU Mikol yang akan segera masuk Prolegnas DPR RI.
“Hasil konsultasi ke Kementerian Perdagangan juga kita diminta menunggu terbitnya UU mikol. Karena sudah akan masuk Prolegnas. Soalnya kalau kita bahas sekarang, takutnya mubazir,” papar politisi asal Penarungan ini.
‘Macetnya’ pembahasan Ranperda Mikol juga dibenarkan oleh rekannya sesama anggota pansus, I Nyoman Dirga Yusa. Menurutnya ranperda Mikol akan dilanjutkan setelah aturan yang lebih pasti ada. “Ya, ditunda sampai terbitnya UU mikol,” tegasnya.
Namun dalam pembahasan berikutnya, Dirga mengaku akan tetap mengatur peredaran Mikol secara adil. Ia bahkan berencana mengusulkan agar mikol tradisional seperti arak dan tuak bisa ‘dilegalkan’ dijual di Badung.
“Mikol ini tetap akan kita atur. Kalau bisa mikol tradisional, seperti tuak agar diangkat gensinya. Sehingga tuak bisa dijual di tempat-tempat bazar. Sehingga mikol produksi masyarakat kita bisa bersaing dengan mikol berlebel seperti bir,” kata Dirga.
Untuk mengangkat gensi tuak ini, pihaknya berencana akan mengusulkan agar diatur dalam Perda. Sehingga 'petani' tuak selain dilindungi juga bisa bersaing dengan mikol-mikol import. “Masak mikol import kita kasih masuk (Badung), tapi mikol buatan rakyat sendiri kita larang. Mana keberpihakan kita pada rakyat sendiri. Oleh karena itu, kami akan usulkan agar petani tuak juga diberi ruang,” jelasnya.
Produksi dan penjualan tuak dan mikol lokal, tegas politisi PDIP ini juga tidak ‘diharamkan’ oleh peraturan bupati (Perbup). Sebab, tuak ini selain lazim dikonsumsi oleh sejumlah kalangan juga merupakan salah satu sarana upakara yang kerap dipakai umat Hindu. “Produk lokal dimungkinkan sesuai Perbup," ucap ketua Komisi II ini.
Lebih lanjut Dirga mengatakan, sambil menunggu Perda Mikol jadi maka peredaran mikol di Badung tetap akan diatur sesuai Peraturan Bupati (Perbup) No 38/2015 tentang penataan, pengendalian dan pengawasan mikol.