Terdakwa Perdin Fiktif Rugikan Keuangan Negara | Bali Tribune
Bali Tribune, Kamis 28 November 2024
Diposting : 23 June 2016 14:59
soegiarto - Bali Tribune
dispenda,
Doso Sukendro ketika bersaksi untuk 9 terdakwa perdin fiktif Dispenda Gianyar.

Denpasar, Bali Tribune

Sidang perjalanan dinas (perdin) fiktif Dispenda Kabupaten Gianyar dengan sembilan terdakwa kembali digelar di Pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu (22/6). Sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Putu Gde Hariadi didampingi hakim anggota Miptahul Holis dan Hartono ini, selain mengagendakan keterangan dua saksi ahli, yakni ahli hukum pidana Dr Ketut Ariawan dan Doso Sukendro dari Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) wilayah Bali, ternyata langsung dilanjutkan pemeriksaan sembilan terdakwa.

Saksi ahli pidana dari Universitas Udayana (Unud), Dr Ariawan menjelaskan perbuatan para terdakwa ini memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam hukum pidana, karena mengakibatkan kerugian negara. Hal ini terjadi, akibat perbuatan para terdakwa maka maksud dan tujuan diadakannya kegiatan perjalanan dinas tidak tercapai sedangkan keuangan negara terlanjut dikeluarkan.

Hal senada disampaikan ahli dari BPKP Prewakilan Bali, Doso  Sukendro. Dijelaskan bahwa perbuatan para terdakwa ini jelas-jelas mengakibatkan kerugian negara, karena tugas negara yang diberikan tidak dilaksanakan sementara itu uang negara justeru digunakan untuk keperluan pribadi. Kendati kerugian keuangan negara itu, kemudian dikembalikan para terdakwa, perbuatannya tidak dapat dihapuskan. “Mereka ditugaskan ke Dispenda Bogor, tapi justeru jalan-jalan ke Kuala Lumpur Malaysia,” terangnnya.

Sementara itu, ketika mamasuki agenda pemeriksaan terdakwa, dua terdakwa yakni Dewa Made Putra dan I Ketut Ritama saling tuding terkait pembuatan laporan fiktif perjalanan dinas ke Dispenda Kabupaten Bogor. Pun dalam sidang, delapan terdakwa kompak menyatakan kepada majelis hakim, bahwa yang merencanakan plesir ke Malaysia adalah Dewa Made Putra yang ditunjuk sebagai ketua studi banding atau perjalanan dinas.

Dalam jalannya sidang, terdakwa Dewa Made Putra menerangkan, dirinya mendapat surat tugas studi banding ke Dispenda Bogor. Dari penugasan tersebut, ia memperoleh uang saku Rp7,6 juta. “Tanggal 14, kami berangkat dari Bali ke Jakarta. Sampai di Jakarta lanjut berangkat ke Malaysia selama dua hari. Saya ke Kuala Lumpur saja, tidak kemana-mana,” ucapnya.

Selanjutnya, hakim Gde Hariadi menanyakan, apakah usai melakukan perjalanan dinas membuat laporan. Dengan suara pelan, Dewa Made Putra menyatakan ya. Mendengar jawaban terdakwa, hakim Gde Hariadi pun menunjukan hasil laporan yang ternyata dibuat dengan tulisan tangan. “Saya hanya melapor bahwa sudah datang dari kegiatan studi banding,” ujar Dewa Made Putra. “Terus saudara buat laporan yang ditujukan kepada Kepala Dispenda dibuat dengan tulisan tangan. Hebat sekali saudara. Siapa yang membuat laporan ini, saudara,” kejar Hakim Gde Hariadi sambil menunjukan laporan fiktif tersebut.

“Yang ngonsep laporan pak Ritama, saya yang menadatangani,” jawab Dewa Made Putra. “Saudara ini berbelit-belit, saudara kan ketuanya. Ini laporannya kok begini. Ini akal-akalan saudara,” bentak hakim Gde Hariadi, sembari mengingatkan uang yang dipakai ke Malaysia adalah uang negara. “Saudara kok mengorbankan jabatan, kalau dibilang kecil ya kecil tapi ini uang negara. Kerja 20 tahun hanya uang Rp7,6 juta saudara mengorbankan jabatan," ujar Gde Hariadi.

Selanjutnya, terdakwa I Ketut Ritama memberikan keterangan dan langsung membantah jika dirinya bukan yang membuat laporan fiktif yang dilontarkan Dewa Made Putra. Bahkan dirinya mengaku tidak mengetahui jika akan diajak jalan-jalan ke Malaysia bukan melakukan studi banding ke Dispenda Bogor.

“Apa yang dibilang terdakwa (Sewa Made Putra) saya yang mengonsep itu tidak benar. Saya baru tahu sekarang. Saya dan teman-teman awalnya tahu hanya menemani saudara Dewa Made Putra  ke Bogor, dan dia menyuruh menyiapkan pasport,” ujar Ritama.

Diceritakan Ritama, dirinya mengira akan ke Bogor melakukan studi banding sesuai surat penugasan. Saat terbang dari Bandara Ngurah Rai dan tiba di Bandara Soekarno Hatta dia mengaku kaget, bukannya ke Bogor malah diperintahkan untuk mengurus tiket ke Malaysia. “Kami lama menunggu di bandara Soekarno malah disuruh ngurus tiket ke Malaysia. Saat itu hati saya bergejolak, merasa dibohongi. Ini antara tugas dan senang-senang. Saya takut jika terjadi apa-apa,” terangnya.

Sempat menolak dan sempat silang pendapat dengan terdakwa Dewa Made Putra, akhirnya Ritama pun mengikuti dan mengaku takut karena perintah. “Kalau ada masalah dia (Dewa Made Putra) bilang yang bertanggungjawab. Ternyata kejadian seperti ini. Saya sangat menyesal,” ujarnya pelan.

Terdakwa Cok Istri Sri Siswarini menyatakan hal yang sama. Dirinya mengaku sempat menolak untuk berangkat ke Malaysia. Karena ketakutan akan ditinggal rombongan di Jakarta, akhir ya Sri pun ikut ke Malaysia. “Sampai di Jakarta, lama kok nggak berangkat-berangkat. Kemudian saya disuruh menyiapkan pasport untuk mengurus tiket ke Malaysia. Saya ikut saja, saya takut ditinggal di jakarta, saya tidak tahu apa-apa,” terangnya.

Selanjutnya, terdakwa Ketut Puja, Made Darmaja, Nyoman Sulendra, Dewa Putu Mudana, Dewa Putu Suarnama, dan Sang Ayu Ika Kencana Dewi membenarkan jika tidak pergi ke Bogor melakukan studi banding, namun justeru pergi ke Malaysia. Usai memeriksa para terdakwa sidang pun akan dilanjutkan dengan agenda tuntutan dari Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikoordinir Jaksa Hari Soetopo.